SHIDARTA DALAM WEBINAR TENTANG PEMIKIRAN HUKUM PROGRESIF
Pada tanggal 9 November 2020, Perhimpunan Mahasiswa Program Studi Doktor Hukum Universitas Diponegoro telah mengadakan webinar nasional dengan topik “Menyelami Pemikiran Hukum Progresif, Merangkai Jalan Mewujudkan Hukum yang Berkeadilan”. Tampil sebagai pembicara adalah dua guru besar Undip Prof. Erlyn Indarti, S.H., M.A., Ph.D., Prof. Dr. Esmi Warassih P., S.H., M.S., Jaksa Dr. Yudi Kristiana, S.H., M.H., dan dosen Jurusan Hukum Bisnis BINUS Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. Webinar ini dimoderatori oleh Aditya Yuli Sulistyawan, S.H., M.H.
Dalam kesempatan itu, Shidarta membawakan pokok-pokok pikiran yang dipahaminya dari berbagai referensi karya Prof. Satjipto Rahardjo (Pak Tjip), penggagas pemikiran hukum progresif. Beliau menyatakan bahwa pemikiran Pak Tjip dapat diposisikan ada dalam wilayah hilir dari konstelasi aliran-aliran pemikiran hukum, sebagaimana dihuni oleh para penganut realisme hukum. Sekalipun demikian, Shidarta mencermati pemikiran Pak Tjip terkesan kuat bersifat eklektisistis karena ingin mendapat pengukuhan dari berbagai aliran pemikiran, kendati secara fundamental aliran-aliran itu memiliki fondasi yang sangat bertentangan. Pada konteks ini, menurut Shidarta, ada sisi kelemahan dari pemikiran hukum progresif tersebut karena berarti hukum progresif sebagai gagasan harus mendamaikan begitu banyak prinsip yang berada pada kutub yang berseberangan.
Namun, Shidarta yang juga mengajar di Program Doktor Hukum Undip ini mengingatkan bahwa Pak Tjip sendiri sebenarnya tidak ingin merumuskan pemikirannya secara final, sehingga tidak mudah untuk dapat membaca pemikiran Pak Tjip secara persis. “Apalagi untuk orang-orang seperti saya yang hanya sempat bertemu beliau secara formal dalam beberapa kali sesi perkuliahan dan lebih banyak berkenalan dengan ide-ide beliau secara tertulis,” kata Shidarta. Selama ini pemikiran Pak Tjip kerap sekadar dipahami sebagai penerobosan terhadap hukum positif. Jika ada hakim yang berani membuat putusan yang berbeda dengan kelaziman, misalnya, maka disebutlah hakim itu sebagai hakim progresif. Oleh sebab itu, Shidarta yang pernah mempublikasikan beberapa buku bunga rampai (antologi) terkait hukum progresif ini lalu mencoba memberi tafsir dengan memvisualisasi pemikiran itu dengan meletakkan beberapa kata kunci yang sering muncul dalam tulisan-tulisan Pak Tjip, seperti pro-rakyat, pro-keadilan, responsif, rule-breaking, breakthrough, bahagia, sejahtera, dan jargon-jargon: “hukum adalah berperilaku yang baik,” “hukum untuk manusia,” dan “biarkan itu hukum mengalir”.
Ketika menanggapi pertanyaan dari peserta webinar tentang hukum progresif apakah sebatas konsep atau gerakan, maka Shidarta dengan tegas mengatakan, “Maunya Pak Tjip jelas, yaitu sebagai gerakan!” Hal ini ditunjukkan melalui beberapa kutipan dari buku-buku Pak Tjip. Beberapa di antaranya, guru besar yang pernah menjadi Komisioner Komnas HAM tersebut pernah menyimpulkan: “Secara singkat bisa dikatakan, kekuatan hukum progresif adalah kekuatan yang menolak dan ingin mematahkan keadaan status quo. Mempertahankan status quo adalah menerima normativitas dan sistem yang ada tanpa ada usaha untuk melihat aneka kelemahan di dalamnya lalu bertindak mengatasi.” Pak Tjip juga mengamanatkan pentingnya dibuat agenda akademis dan agenda aksi. Agenda akademis itu antara lain: jangan mengutamakan atau mengunggulkan ilmu hukum analitis; arahkan tujuan dan makna sosial hukum melampaui hukum itu sendiri; perlakukan hukum bukan sebagai produk final, tetapi law in the making; juga gunakan kecerdasan spiritual melebihi tradisi kerja IQ dan EQ. Sementara itu untuk agenda aksi, beliau meminta: berani lakukan interpretasi, jangan mau dibelenggu UU; namun jangan membuat interpretasi secara liar, berprinsiplah pro-rakyat, pro-keadilan; bangunlah fakultas hukum yang berhati nurani (ajarkan compassion, commitment, empathy); ubah kultur dalam menjalankan hukum (bringing justice to the people); rekrut fungsionaris hukum yang memenuhi kecerdasan spiritual; dan jalankan prinsip reward and punishment.
Shidarta menutup paparannya dengan memberi apresiasi pada Begawan Hukum Indonesia tersebut dengan menyatakan bahwa Prof. Tjip telah memberi kontribusi besar bagi pemikiran hukum agar hukum di Indonesia tidak terjebak pada krisis ilmu hukum sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari krisis sains di era posmodernisme. Beliau telah menggugah kepedulian ini melalui contoh-contoh anomali dalam pengusahaan hukum (istilah yang dipakai Pak Tjip untuk kata ‘rechtsbeoefening‘). Ketika pemikiran hukum progresif ingin diposisikan sebagai pisau analisis, penggunanya wajib untuk menelusuri dan mengkritisi landasan pemikiran beliau (terlepas sespekulatif apapun hasilnya). Hal inilah yang [barangkali] ingin dipesankan oleh Pak. Tjip tentang law in the making dan “biarkan hukum itu mengalir!”
Terakhir, dalam paparannya Shidarta mengajukan pertanyaan: (1) jika pemikiran hukum progresif ini dapat/ingin diteoretisasi, maka ia mengarah ke teori hukum yang mana (teori reflektif-kontemplatif atau teori empiris)?; (2) apakah pemikiran hukum progresif itu sesungguhnya juga pemikiran positivistis (empirico-positivist)?; (3) apabila dikaitkan dengan siklus empiris, maka pemikiran hukum progresif itu memfokuskan kritiknya pada konteks penemuan atau justifikasi? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini membutuhkan kajian lebih lanjut, yang sayangnya karena keterbatasan waktu tidak sempat dielaborasi. (***)
Beberapa tautan yang bisa ditelusuri:
Download: Buku Penerapan Hukum Progresif di Tengah Perubahan Masyarakat (2019)