DISEMINASI HASIL PENELITIAN PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DAN HAK UNTUK DILUPAKAN
Komisi Yudisial Republik Indonesia (KY-RI) pada tanggal 21 Oktober 2020 secara daring mengundang dua dosen peneliti dari Jurusan Hukum Bisnis BINUS untuk melakukan diseminasi hasil penelitian mereka dalam acara workshop jarak jauh peningkatan kapasitas hakim. Untuk itu, berbeda dengan biasanya dua dosen tersebut, yaitu Dr. Bambang Pratama dan Dr. Shidarta disediakan satu sesi khusus pada pukul 14:30-16:30 wib memaparkan dan mendiskusikan hasil penelitian mereka tentang perlindungan data pribadi dan hak untuk dilupakan.
Para peserta acara diseminasi ini adalah hakim-hakim yang tengah mengikuti acara workshop yang berlangsung sejak tanggal 20 s.d. 22 Oktober 2020. Dengan demikian, topik tentang perlindungan data pribadi dan hak untuk dilupakan ini sengaja diselipkan sebagai materi tambahan.
Para peneliti ini ingin memperkenalkan sejumlah pemikiran dan hal-hal yang dapat dilakukan oleh hakim apabila menghadapi kasus-kasus seputar perlindungan data pribadi dan hak untuk dilupakan. Menurut Bambang Pratama yang tampil pertama kali di diseminasi ini, diperkirakan kasus-kasus tentang sengketa perlindungan data pribadi bakal meningkat dalam lima tahun ke depan. Hal itulah yang menyebabkan beberapa hakim yang antusias mengikuti acara ini meyakini bahwa topik seperti ini seharusnya dibawakan dalam pelatihan tersendiri.
Bambang Pratama tidak hanya memberi contoh kasus-kasus di sejumlah negara, melainkan juga menyebutkan beberapa kasus yang bersinggungan dengan perlindungan data pribadi di Indonesia. Kasus-kasus ini sebenarnya dapat diselesaikan dengan lebih baik apabila Indonesia telah memiliki undang-undang di bidang perlindungan data pribadi. Menurutnya, keberadaan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dalam beberapa sisi sebenarnya dapat digunakan.
Shidarta yang ikut hadir dalam paparan secara daring ini menekankan kepada para hakim agar tidak ragu-ragu untuk tidak mengabulkan permohonan terkait hak untuk dilupakan jika permohonan itu bermotifkan untuk menghapus catatan-catatan kriminal di sebuah mesin pencari. Ia mengambil contoh motif seseorang yang ingin maju dalam pemilihan pejabat publik dan ingin agar rekam jejaknya tidak bisa dilacak lagi di dunia maya. Hal ini, menurut Shidarta, harus diwaspadai karena di banyak negara, permohonan seperti itu juga tidak dapat dikabulkan. Pada satu sisi seseorang dapat saja mengklaim memiliki hak untuk dilupakan atas rekam jejaknya di masa lalu, tetapi di sisi lain publik juga punya hak untuk tahu riwayat dari pejabat publik yang akan dipilihnya.
Penelitian tentang perlindungan data pribadi dan hak untuk dilupakan ini pada tahun 2020 ini telah melewati tahun ketiga atau terakhir. Sebelumnya beberapa rangkaian penelitian telah didesiminasi di beberapa negara, antara lain di Singapura dan Malaysia. (***)