People Innovation Excellence

PROBLEMATIKA KEWENANGAN BPSK YANG “TIDAK” PROBLEMATIS?

Oleh SHIDARTA (September 2020)

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Demikian definisi yang diberikan oleh Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Sengketa antara pelaku usaha dan konsumen kerap disebut sebagai sengketa konsumen. Kata kuncinya adalah “konsumen” yang dalam Pasal 1 butir 2 UUPK dimaknai sebagai “Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Posisi konsumen ini dihadapkan dengan pelaku usaha, yakni “Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi” (Pasal 1 butir 3 UUPK). Dengan demikian, sengketa konsumen adalah sengketa “between business actor to consumer (B2C)” bukan antara sesama pelaku usaha (B2B).

BPSK dengan demikian adalah badan resmi yang keberadaannya ditetapkan oleh undang-undang untuk menangani dan menyelesaikan sengketa B2C. Tidak jelas apa perbedaan antara “menangani” dan “menyelesaikan” di sini karena UUPK sama sekali tidak memberikan penjelasan. Patut diduga bahwa kedua kata ini berkaitan dengan proses dan luaran (output) dari proses tersebut. Jika Pasal 52 UUPK dijadikan acuan, maka tampak ada 13 tugas dan wewenang BPSK, yang tidak semuanya ternyata berkaitan dengan penanganan dan penyelesaian sengketa. Artinya, batasan tugas dan wewenang BPSK sebagaimana dapat ditarik dari ketentuan Pasal 1 butir 11 UUPK, telah diperluas oleh Pasal 52 UUPK.

Dalam penyelesaian sengketa B2C ini, BPSK diberi tugas dan wewenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan UUPK. Jadi, sanksi ini hanya satu arah saja, yakni hanya ditujukan kepada pelaku usaha. BPSK tak diberi wewenang menjatuhkan sanksi kepada konsumen, sekalipun misalnya, konsumen itu dinyatakan keliru dalam pengaduan/permohonan/gugatannya[1] dan untuk itu pelaku usaha telah menderita kerugian secara material atau imaterial.

Menurut Pasal 37 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, penjatuhan sanksi administratif hanya dapat dilakukan untuk proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase (selanjutnya disebut Kepmenperindang 350/2001). Jika prosesnya bukan arbitrase, yaitu mediasi atau konsiliasi, putusan[2] dari majelis tersebut hanya berupa perjanjian tertulis dan tidak memuat sanksi administratif. Sanksi administratif di sini pun dibatasi dalam bentuk penetapan ganti rugi paling banyak Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Kata “ganti rugi” yang dipadankan dengan kata “sanksi administratif” ini tercantum dalam Pasal 40 ayat (3) huruf b. Di luar itu ada “sanksi ganti rugi” yang tidak termasuk dalam “sanksi administratif” yakni apabila pelaku usaha dinilai oleh majelis arbitrase telah menyebabkan kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa. Besaran sanksinya tidak ditetapkan, namun disebutkan rinciannya dalam Pasal 12 ayat (2) Kemenperindag Nomor 350/2001, yaitu: (1) pengembalian uang; (2) penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau seara nilainya; atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan. Selain pilihan secara alternatif, sanksi ganti rugi dan sanksi administratif ini dapat diterapkan secara kumulatif, sebagaimana terlihat dari kata “dan/atau” yang tercantum dalam Pasal 40 ayat (3) huruf a Kepmenperindag Nomor 350/2001.

Persoalan tentang sanksi administratif dalam kaitannya dengan tugas dan wewenang BPSK ini bertambah menarik untuk ditelaah, mengingat Pasal 60 UUPK memang sudah membatasi kewenangan BPSK itu. Pasal itu menyatakan bahwa BPSK berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3),[3] Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26. Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi itu paling banyak Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Dapat dikatakan di sini bahwa Kemenperindag Nomor 350/2001 adalah [salah satu] peraturan perundang-undangan yang dimaksud.

Pasal 60 UUPK ini jelas mencantumkan secara restriktif kewenangan BPSK dalam penjatuhan sanksi, yaitu hanya sebatas sanksi administratif. Itupun hanya berkenaan dengan empat pasal UUPK yang disebutkan di atas, yaitu apabila:

  1. pelaku usaha tidak memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan; atau
  2. pelaku usaha tidak mengembalikan uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  3. pelaku usaha tidak memberikan ganti rugi dalam tenggang waktu tujuh hari setelah tanggal transaksi (terkait nomor 1 dan 2 di atas);
  4. pelaku usaha memproduksi iklan yang berakibat kerugian terhadap konsumen;
  5. pelaku usaha memproduksi barang yang pemanfaatannya tidak berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya satu tahun (tidak menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purnajual dan tidak memenuhi jaminan atau garansi sesuai yang diperjanjikan);
  6. pelaku usaha di bidang jasa tidak memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.

Dari uraian di atas, tampak bahwa empat pasal ini, yaitu Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26 harus menjadi dasar pengaduan/permohonan/gugatan yang diajukan ke BPSK. Apabila tidak, maka akan ada pertanyaan tentang seberapa tafsir restriktif terhadap Pasal 60 UUPK ini masih dapat dipertahankan.

Untuk memastikan bagaimana kondisi di lapangan, penulis telah menawarkan kajian ini kepada para mahasiswa yang tertarik meneliti problematika seputar perlindungan konsumen. Untuk itulah, penulis kemudian membimbing dua orang mahasiswa untuk menelaah hal ini. Seingat penulis, para mahasiswa yang pernah dibimbing adalah Ruping Lolo Alias Vince dari Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Jakarta (2008),[4] yang menyimpulkan bahwa sejumlah anggota BPSK yang ditemuinya memahami Pasal 60 UUPK ini secara ekstensif. Dengan alasan UUPK sudah berusia makin tua dan sudah cukup tersosialisasi, maka penelitian serupa penulis minta untuk diulangi lagi oleh mahasiswa bimbingan spenulis di Universitas Bina Nusantara, yakni oleh Nabila Finietya (2016)[5] dan hasilnya juga kurang lebih sama, bahwa BPSK juga [sadar atau tanpa sadar] telah melakukan penafsiran ekstensif.

Perlu dicatat bahwa apabila BPSK memperluas wewenang penjatuhan sanksinya, tentu hal itu harus berangkat dari argumentasi hukum yang kuat. Untuk itu, pasal-pasal yang ada dalam UUPK perlu dicermati seberapa jauh telah memberikan pelimpahan (atribusi) dan pendelegasian kekuasaan kepada BPSK untuk memperluas kewenangannya sendiri. Lalu, menarik untuk mempertanyakan seberapa jauh pula perluasan wewenang penjatuhan sanksi ini  dapat diterima menurut kaca mata hukum. Dalam konteks ini, perspektif yang digunakan adalah sudut pandang hukum administrasi negara. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penulis lalu merintis lagi satu proyek penelitian dengan menjangkau lebih banyak BPSK di wilayah Indonesia Bagian Barat dan Tengah. Ada enam mahasiswa yang terlibat sebagai data collectors; juga kemudian sebagian hasilnya diolah untuk materi skripsi mereka.

Rangkaian penelitian di atas meyakinkan penulis bahwa bentuk-bentuk tafsir dalam putusan-putusan BPSK ini bisa saja diambil secara tanpa disadari. Bentuk-bentuk tafsir itu memang baru dapat dilacak apabila penelitian sudah sampai pada penelaahan lebih dalam terhadap putusan-putusan majelis arbitrase di BPSK. Untuk itulah maka pertimbangan yang hadir di dalam putusan-putusan tersebut sangat penting untuk diteliti, tidak cukup hanya mengidentifikasi pasal-pasal di luar Pasal 19, 20, 25, dan 26 UUPK.

Singkatnya kesimpulan yang berhasil ditemukan oleh para mahasiswa menunjukkan bahwa para anggota BPSK di beberapa tempat tidak cukup mamahami komplikasi yang ada di dalam UUPK dan potensi terjadinya perbenturan norma dalam menerapkan kewenangan mereka tatkala menjatuhkan sanksi. Beberapa di antara mereka bahkan tidak mempunyai sikap yang jelas terkait bagaimana harus memahami substansi Pasal 60 UUPK ini. Artinya, boleh jadi perluasan kewenangan yang melampaui Pasal 60 UUPK itu memang dilakukan secara tanpa sengaja karena tokh tidak/belum pernah ada yang mempermasalahkan, termasuk oleh Mahkamah Agung.

Jika demikian halnya,kita tentu bertanya apakah problematika hukum yang kita ungkapkan dalam tulisan singkat ini memang benar-benar problematis dalam arti sesungguhnya? (***)


REFERENSI:

[1] Ada banyak istilah digunakan secara membingungkan untuk menyebut keluhan konsumen ini, misalnya “pengaduan” (lihat Pasal 52 huruf e UUPK), “permohonan” (lihat Pasal 15 Keputusan Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen), lalu kata “permohonan gugatan” (lihat Pasal 17 huruf b Keputusan Menperindag di atas), dan kata “gugatan” (lihat Pasal Pasal 34 dan 40 Keputusan Menperindag di atas). Pasal 25 ayat (2) UUPK menggunakan dua istilah yang juga tidak jelas, yaitu: “tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen”.

[2] Pasal 37 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tersebut menyebut kata “keputusan majelis” bukan “putusan majelis”, sekalipun judul Bab VIII dari Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan ini berjudul “Putusan”.

[3] Seharusnya Pasal 19 ayat (1) UUPK ikut dicantumkan karena ketentuan ayat (2) dan (3) bersumber dari ayat (1) tersebut.

[4] Penelitian ini di bawah dosen pembimbingnya: Shidarta. Penelitian untuk keperluan skripsi tersebut berjudul “Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Menjatuhkan Sanksi Administratif”dengan mengambil lokasi studi di BPSK Bandung.

[5] Penelitian ini juga di bawah dosen pembimbingnya: Shidarta. Penelitian untuk keperluan skripsi ini berjudul “Potensi Pembatalan Klausula Baku Perjanjian Pengangkutan Penumpang pada Tiket Maskapai Penerbangan Lion Air dan Peran BPSK dalam Pengawasannya.”



Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close