WORKSHOP JARAK JAUH UNTUK PARA HAKIM
Pada tanggal 1 dan 2 Juli 2020, Komisi Yudisial RI mengadakan workshop Jarak Jauh Peningkatan Kapasitas Hakim. Salah satu narasumber yang memberikan paparannya adalah dosen Jurusan Hukum Bisnis BINUS Dr. Shidarta, S.H., M.Hum., yang menjadi narasumber untuk topik penalaran dan metode penemuan hukum. Dua narasumber yang lain adalah Dr. Rudolf W. Matindas (topik “Mengatasi Perubahan Situasi tanpa Meninggalkan KEPPH”) dan Dr. Albertina Ho, S.H., M.H. (topik “Etika Komunikasi dalam Persidangan”).
Tiga pembicara ini difasilitasi untuk menyampaikan materi dari Kantor Komisi Yudisial di Jakarta, yang kemudian terhubung dengan para peserta dari lokasi mereka masing-masing dari berbagai daerah di Indonesia.
Para peserta dari workshop ini adalah hakim-hakim pengadilan tingkat pertama dari lingkungan peradilan umum, tata usaha negara, agama, dan militer, berjumlah 40 orang. Pada hari pertama mereka mendiskusikan masing-masing topik tersebut, dan kemudian berkesempatan mempresentasikan hasil diskusi kelompok masing-masing, untuk mendapat tanggapan dari rekan-rekan peserta dan narasumber.
Dalam sesi yang dibawakan oleh Shidarta, para hakim banyak mengelaborasi penalaran hukum sesuai dengan tugas-tugas mereka di lapangan. Misalnya, ada yang mengkhawatirkan jika hakim aktif melakukan penalaran hukum dalam rangka menemukan hukum, akan muncul apa yang dsebut judicial activism. Kekhawatiran ini dapat dimaklumi karena dalam tradisi sistem civil law, hakim memang kerap mengandalkan peraturan perundang-undangan dalam ranah hukum publik, atau menggunakan dalil-dalil yang disajikan para pihak dalam ranah hukum privat. Padahal, di dalam penalaran hukum, hakim-hakim sebenarnya punya keleluasaan membuat proposisi yang memposisikan premis mayor tanpa harus mengacu pada undang-undang. Unsur-unsur perbuatan hukum itu memang diderivasi dari norma hukum positif, tetapi makna dari tiap-tiap unsur itu harus didefinisikan sendiri. Kemampuan mendefinisikan ini merupakan potensi yang harus terus terbuka agar hakim dapat menyiasati peraturan hukum itu agar lebih relevan diterapkan pada peristiwa konkret. Potensi seperti ini harus dimanfaatkan, tetapi tidak harus dimaknai sebagai judicial activism. (***)