PERLINDUNGAN ANAK DARI EKSPLOITASI SEKSUAL ONLINE SELAMA COVID-19
Oleh AHMAD SOFIAN (Mei 2020)
COVID 19 menghasilkan sejumlah konsekuensi yang tidak terduga dan tidak disengaja. COVID-19 berkembang dengan cepat sehingga menciptakan perubahan dalam bentuk-bentuk eksploitasi seksual anak daring. Di seluruh dunia, banyaknya anak-anak yang menghabiksn waktu di ruang internet membuat lebih banyak anak-anak rentan terhadap eksploitasi dan pelecehan seksual. Kekerasan dan Eksploitasi Seksual Anak di Ranah Daring merupakan salah satu bentuk kejahatan siber moderen yang sangat berbahaya. Di masa COVID 19 teknologi telah dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan dan atau komunitas pelaku kejahatan dalam mengakses dan bahkan meningkatkan kapasitas kejahatan mereka atau kepercayaan mereka dalam melakukan kekerasan dan eksploitasi dalam skala yang lebih besar.
Pemerintah Indonesia mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk merespon masalah ini. Salah satu kebijakan tersebut adalah PP No. 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB), kemudian disusul dengan penerbitan INPRES dan sejumlah paket kebijakan untuk merespon dampak COVID-19 secara makro terhadap kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat. Adapun, dampak pernyataan keadaan darurat kesehatan dan pembatasan sosial ini adalah ditutupnya sejumlah sekolah dan diberlakukannya metode belajar dari rumah terhadap seluruh siswa di Indonesia, sehingga anak akan menghabiskan waktu yang lebih banyak di depan komputer, handphone atau tablet yang terhubung dengan jaringan internet.
Oleh karena pandemi ini tidak kunjung usai Menteri Kesehatan telah menerbitkan protokol kesehatan dalam rangka menghadapi new-normal (tatanan kehidupan normal yang baru). Meskipun new-normal diberlakukan di beberapa tempat sesuai dengan karakter pandemik covid-19 di daerah masing-masing, namun kegiatan belajar mengajar tetap masih berlangsung dari rumah, artinya sekolah masih tetap ditutup, sampai covid-19 bisa dientaskan atau vaksin ditemukan.
Berkaitan dengan ditutupnya sekolah, akses ke dunia online akan mengalami peningkatan dan berpotensi timbulnya risiko pada anak/siswa dari segala ancaman baik yang disengaja maupun tidak. Sejumlah kasus eksploitasi seksual dalam skala kecil sudah ditemukan di Thailand dan Philipina. Kasus grooming (bujuk rayu seksual), penyebaran konten pornografi anak, bahkan ajakan untuk sexting (mengirimkan gambar yang tidak senonoh) sudah terjadi di kedua negara tersebut. Thomson Reuters Foundation telah menemukan kasus live streaming sexual abuse pada anak-anak di Philipina.
Sumber : ICMEC (International Center form Missing and Exploitation Children), 2020
Situasi di Indonesia
Lalu bagaimana situasinya di Indonesia ? apakah kasus-kasus eksploitasi dan kekerasan seksual pada anak secara online memiliki trend meningkat ? lalu bagaimana polanya ? ECPAT Indonesia, sebuah organisasi nirlaba yang memfokuskan dirinya dalam menanggulangi kekerasan dan eksploitasi seksual anak, baru-bauru ini melakukan penelitian cepat terkait dengan masalah eksploitasi seksual anak dalam jaringan (daring) atau online. Temuan ini mengejutkan karena pelaku kejahatan menggunakan skema webcam melibat para pedofil di dari Indonesia maupun luar Indonesia. Mereka membayar ke fasilitator untuk melecehkan anak. Mereka menonton dan membantu menyiarkan pelecehan itu disiarkan di layanan live streaming.
Ketersedian koneksi internet dan sistem pembayaran internasional ditambah dengan kemiskinan dan akses terhadap anak-anak yang rentan membuat pelecehan anak sering terjadi di rumah.
Penelitian ini dilakukan dengan menyebarkan kuesioner secara online kepada anak-anak yang berada di usia 6 hingga 17 tahun. Terdapat 1203 responden yang terlibat di dalam penelitian awal yang disebarkan pada tanggal 15 April hingga 26 April 2020. Mereka berasal dari 13 provinsi dengan 74,3 persen berasal dari DKI Jakarta.Penelitian ini menemukan bahwa 67 persen anak mengalami peningkatan penggunaan internet dibandingkan sebelum pandemi COVID-19. Bahkan, sebagian besar anak mengakui bahwa mereka menghabiskan lebih dari enam jam dalam sehari untuk menggunakan internet.
Koordinator Penelitian ECPAT Indonesia yaitu Deden Ramadani mengatakan bahwa aktivitas yang tinggi di internet ini membuat anak-anak menjadi lebih rentan terhadap eksploitasi seksual di media online. “Dari 1203 responden, ternyata ditemukan adanya 287 bentuk pengalaman buruk saat berinternet di masa pandemi ini. Bentuk-bentuk pengalaman buruk yang paling sering dialami meliputi dikirimi tulisan/pesan teks yang tidak sopan dan senonoh (112 responden), dikirimi gambar/video yang membuat tidak nyaman (66 responden) hingga dikirimi gambar/video yang menampilkan pornografi (27 responden).” Demikian uangkap Deden kepada media, baru-baru ini.
Selanjutnya ditemukan bahwa tidak semua anak mau mengatakan ketika mengalami hal pelecehan seksual secara online. Sekitar 65,4 persen mengatakan tidak pernah menceritakan perlakuan pelecehan seksual atau kekerasan seksual online yang dialaminya. Hanya 35,5 persen yang mengatakan pengalaman buruk tersebut kepada orang lain. Dari presentase tersebut, orang tua dan teman menjadi sosok yang mereka pilih sebagai teman bercerita dari pengalaman buruk tersebut.
Sumber : ECPAT (Ending te Sexual Exploitaitation of Children) Indonesia, 2020
Peningkatan kekerasan seksual anak secara online ini menunjukkan bahwa Kementerian Pendidian dan Kebudayaan tidak mampu mengantisipasi kekerasan seksual anak online yang dihadapi oleh anak-anak. Mekanisme pelaporan juga tidak disiapkan secara baik, sehingga kasus-kasus terus meningkat. Belajar dari rumah dengan menggunakan internet seharusnya diikuti dengan protokol perlindungan anak secara online sehingga mereka terbebas dari kekerasan yang berbasis internet ini.
Ketentuan Pidana
Setidaknya ada tiga undang yang bisa digunakan sebagai dasar bagi pelaku tindak pidana seks anak online di masa COVID 19. Ketiga undang-undang tersebut adalah Undang-Undang No. 23/2002, juncto Undang-Undang 35/3014, juncto Undang-Undang 17/2016 tentang Perlindungan Anak; Undang-Undang No. 11/2008 juncto Undang-Undang 19/2016 tentang Informasi Transaksi Elektronik; serta Undang-Undang No 44/2008 tentang Pornografi.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, kategori perbuatan yang dilarang dan ancaman hukumannya dapat diringkas sebagai berikut :
Dari tabel di atas jelas bahwa kejahatan eksploitasi seksual anak online tidak secara khusus dinyatakan sebagai tindak pidana yang dapat dipidana, namun demikian masih membuka ruang untuk ditafsirkan dari delik “eksploitasi seksual anak” sebagaimana diatur dalam Pasal 76 huruf I dan Pasal 88. Sementara itu, dalam UU ITE, beberapa pasal yang bisa digunakan untuk menjerat pelaku tindak pidana eksplotiasi seksual anak online adalah Pasal 27 ayat 1, Pasal 29 dan Pasal 30, dan Pasal 31 (2) yang secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut :
Undang-Undang Pornografi dimaksudkan untuk melindungi setiap orang dari objek pornografi termasuk melindungi dari berbagai bentuk eksploitasi yang diwujudkan dalam bentuk gambar, video, serta media lain yang mengandung unsur pelanggaran terhadap kesusilaan termasuka di dalamnya pornografi anak. Undang-Undang Pornografi ini diatur dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008.
Berikut ini ditampilkan secara singka perbuatan-perbuatan yang dilarangn dan ancaman hukumannya:
Rekomendasi
Untuk memecahkan masalah ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Komunikasi dan Informasi serta Kepolisian Republik Indonesia perlu membuat kebijakan yang komprehensif dan mudah dimengerti serta murah dalam mencegah dan melindungi anak-anak dari bahaya eksploitasi seksual online dimasa pandemik COVID-19 ini. Hal yang dapat dilakukan meliputi peningkatan pengetahuan anak tentang bagaimana berinternet yang aman serta risiko-risiko yang dihadapi ketika beraktivitas secara online, serta peningkatan pengetahuan dari orang tua agar dapat mendampingi anak-anaknya ketika mereka beraktivitas menggunakan internet di masa pandemi. Sehingga, risiko dari penggunaan internet di masa pandemi ini bagi anak-anak dapat diminimalisir. Pengawasan terhadap platform yang selama ini digunakan oleh anak dalam berinternet juga penting, bahkan membuat platform e-learning menjadi kebutuhan yang mendesak untuk segera dilakukan sehingga ada model pembelajaran online satu pintu yang diterapkan oleh pemerintah. Penegak hukum juga penting melakukan respons cepat terhadap para predator seks anak, meskipun upaya ini terkendala ketika ada pelaku yang tidak berdomisili di Indonesia, atau menggunakan account palsu, sehingga dibutuhkan dukungan teknologi dan kerjasama dengan INTERPOL dalam menyelidiki kasus tersebut. Lembaga keuangan juga dilibatkan karena pembayaran kerap kali dilakukan secara virtual.
Published at :