ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM UU-ITE
Oleh BAMBANG PRATAMA (Mei 2020)
Dalam perspektif hukum, salah satu hal baru yang diatur oleh UU-ITE adalah bukti elektronik. Pembaruan tentang alat bukti elektronik sebenarnya telah dijelaskan di dalam penjelasan UU-ITE Tahun 2008 dan kembali ditegaskan di dalam amandemen UU-ITE tahun 2016. Namun demikian, terjadi silang pendapat tentang kedudukan bukti elektronik karena menimbulkan pertanyaan sentral apakah kedudukan bukti elektronik ini merupakan perluasan dari alat bukti yang diatur di dalam hukum formil (KUH Perdata dan KUH Pidana)?
Apabila mengacu pada hukum formil, maka dapat digambarkan sebagai berikut:
KUH Pidana |
KUH Perdata |
Pasal 184 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
– Keterangan saksi; – Keterangan ahli; – Surat; – Petunjuk; – Keterangan terdakwa |
Pasal 164 HIR:
Alat-alat bukti, yaitu: – Bukti tertulis; – Bukti saksi; – Persangkaan; – Pengakuan; – Sumpah |
Ketentuan hukum formil di atas adalah alat bukti yang selama ini dikenal di dalam hukum positif. Dengan adanya UU-ITE, maka bukti elektronik mengundang silang pendapat apakah keberadaannya adalah perluasan dari alat bukti atau kedudukannya memang benar-benar baru. Silang pendapat tentang bukti elektronik berpotensi untuk terjadi karena di dalam kedudukan bukti baru (selain yang diatur di dalam KUHAP dan HIR) diatur di dalam undang-undang sektoral lainnya, dan kedudukannya sama-sama di posisi undang-undang. Salah satu perdebatan tentang bukti elektronik yang terjadi terlihat di dalam putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016, yang mana putusan MK tersebut dimasukan ke dalam amandemen UU-ITE tahun 2016.
Melihat lebih lanjut pada putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 terlihat bahwa salah satu tafsir bukti elektronik adalah ketika dibenturkan dengan undang-undang tindak pidana korupsi. Dalam permohonan uji materi yang diajukan, terlihat bahwa bukti elektronik telah lebih dahulu dikenal didalam pasal 26A Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan rumusan normanya sebagai berikut:
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:
- Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu; dan
- Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Tafsir tentang bukti elektronik apabila mengacu pada putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 oleh hakim konstitusi diputuskan bahwa setiap bukti elektronik dapat diakui sebagai bukti elektronik di mata hukum selama didapat dengan cara yang tidak melanggar hukum. Jika bukti elektronik di dapat dengan cara melanggar hukum maka tidak dapat dijadikan sebagai bukti elektronik di hadapan hukum. Pandangan ini sebenarnya terlihat dari adanya dissenting opinion terkait bukti elektronik dari hakim Konstitusi, Suhartoyo yaitu sebagai berikut:
Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) yang justru mengakomodir dan memberi perlindungan setiap warga negara yang dilanggar hak privasinya, karena ada dua esensi mendasar yang secara materiil terkandung dalam pasal a quo, yaitu ketentuan yang mengatur mengenai alat bukti informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya, di satu sisi merupakan perluasan alat bukti sebagai bukti petunjuk dan di sisi lain merupakan bukti yang berdiri sendiri di luar alat bukti yang diatur dalam hukum acara perdata dan hukum acara pidana. Sehingga ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE justru memberi kepastian hukum bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya adalah alat bukti yang sah.
Berdasarkan putusan hakim konstitusi di atas terlihat bahwa bukti elektronik dapat dilihat menjadi dua bentuk, yaitu: (1) bukti elektronik yang bisa dijadikan sebagai bukti hukum yang sah, dan (2) bukti elektronik yang tidak bisa dijadikan sebagai bukti hukum yang sah. Mengacu pada sumber hukum, di atas maka bukti elektronik seharusnya dilihat sebagai bukti hukum pelengkap dari alat bukti yang selama ini dikenal di dalam hukum acara. Sedangkan dalam hal pengambilan bukti elektronik yang perlu diperhatikan bahwa alat bukti elektronik haruslah diambil oleh pihak yang berwenang, yaitu penegak hukum agar dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah.
Referensi:
- Undang-undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Trasaksi Elektronik
- Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
- Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016
- Koesparmono Irsan dan Armansyah, Panduan Memahami Hukum Pembuktian dalam Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Gratama Publishing, Bekasi, 2019
Published at :
Leave Your Footprint
-
JHIMESTIN SAGALA 030054645 sangat bermanfaat karena mengacu pada hukum formil