People Innovation Excellence

MEMPERJELAS HAK NON-EKSKLUSIF KARYA CIPTA MAHASISWA

Oleh AGUS RIYANTO (Mei 2020); Rexy H. Hutabarat (Binusian 2001587675), dan Aidan Surya. S (Binusian 2001576690)

Di Indonesia, setiap perguruan tinggi mewajibkan mahasiswa untuk membuat suatu karya ilmiah dalam bentuk penelitian sebagai syarat kelulusan. Kewajiban tersebut juga merupakan syarat penentu bagi mahasiswa untuk memperoleh gelar akademik. Penelitian dilakukan sesuai dengan jenjang gelar, baik dalam bentuk skripsi untuk tingkat sarjana, tesis untuk tingkat magister, maupun disertasi untuk tingkat doktor. Semakin tinggi jenjang gelar, maka semakin tinggi pula bobot ilmiah, orisinalitas penelitian dan kemandirian penulis. Bobot ilmiah ditentukan dan berdasarkan tinggi rendahnya sifat ilmiah dari penelitian tersebut. Kemudian, orisinalitas penelitian tentukan dengan sifat orisinal atau keaslian pembuatan penelitian tanpa adanya tiruan (originalitas), salinan dan plagiasi. Sedangkan, kemandirian penulis ditentukan berdasarkan bobot persentase peran dari Penulis dan Pembimbing dalam penulisan penelitian tersebut.[1] Persentase peran penulis dan pembimbing pada jenjang Skripsi berbobot 60% peran Penulis dan 40% peran Pembimbing. Pada jenjang Tesis ada pada bobot 80% peran Penulis dan 20% peran pembimbing. Sedangkan, pada jenjang Disertasi ada pada bobot 90% peran Penulis dan 10% peran Pembimbing.[2] Dapat disimpulkan bahwa peran pembimbing sangat besar dalam membantu dan mengarahkan pembuatan sebuah penelitian, khususnya dalam penelitian skripsi untuk Strata 1 dan penelitian tesis untuk Strata 2. Kondisi berbanding terbalik atau berbeda untuk program Strata S3 dimana peran Pembimbing tidak sama dibandingkan dengan Strata 1 dan Strata 2.

Penelitian, dalam bentuk skripsi, tesis maupun disertasi, yang dihasilkan oleh mahasiswa/i merupakan Hak Cipta yang berupa Ciptaan dalam wujud yang telah nyata berupa karya tulis untuk memperoleh gelar akademik[3] dan untuk memperoleh kebenaran material karya tulis tersebut harus diujikan dalam majelis persidangan. Keputusan persidangan yang meluluskan (dan mungkin dapat sebaliknya) mahasiswa/i akan ditindaklanjuti dengan penyerahan hasil penelitian (dalam penulisan ini adalah skripsi) kepada pihak Universitas dimana mahasiswa/i menempuh pendidikannya. Dalam penyerahan skripsi itu terdapat lembar Surat Pernyataan Pencipta (SPP) yang ditandatangani oleh mahasiswa dan harus menjadi satu kesatuan penuh yang tidaklah terpisahkan dengan skripsinya. Hal yang menarik untuk dikaji dan didalami dari skripsi beberapa di perguruan tinggi di Depok, Jakarta dan Tangerang adalah kesamaan dalam mencantumkan klausul Hak ekslusif. Namun perbedaannya ada pada unsur Hak Non-Eksklusif. Terdapat perguruan tinggi yang mengaturnya secara umum Hak Non-Eksklusif saja dan tanpa menambahkan Hak Non-Eksklusif/Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif kepada pihak Universitas. Bahkan ada perguruan tinggi yang menambahkannya ketentuan  bahwa Univeritas yang berhak menyimpan, memperbanyak, menyebarluaskan, mengalihmedia/ formatkan, mengelola dalam bentuk pengkalan data (database), merawat dan mempublikasikan penelitian tanpa meminta izin dari penulis selama tetap mencantumkan nama penulis/pencipta sebagai pemilik Hak Cipta. Dengan demikian dalam garis besarnya SPP memuat dua hal penting yakni mengenai Hak Eksklusif dan Hak-Non-Eksklusif atas Hak Cipta yang dimiliki Penulis. Sejatinya, Hak Eksklusif sudah cukup jelas diatur dalam pasal 4 UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”). Namun, berbeda hal dengan Hak Non-Eksklusif yang belum diatur UU Hak Cipta, sehingga pertanyaannya adalah bagaimana dengan kejelasan Hak Non-Eksklusif yang diberikan kepada universitas dan implikasinya terhadap hak mahasiswa sebagai Pencipta karya cipta penelitiannya?

Hak Eksklusif

Penelitian yang dibuat oleh mahasiswa/i masuk ke dalam rezim Hak Cipta berupa Ciptaan dalam wujud karya tulis dalam sistem Hak Kekayaan Intelektual (HKI).[4] Ciptaan merupakan setiap hasil karya cipta pada bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.[5] Ciptaan yang dilindungi dapat meliputi ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan seni dan sastra yang termasuk semua karya tulis atau dalam hal ini yaitu penelitian.[6] Undang-Undang Hak Cipta membedakan subjek hukum yang disebut sebagai Pencipta dan Pemegang Hak Cipta. Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi.[7] Sedangkan, Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah.[8] Hak cipta merupakan hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[9] Sedangkan, hak eksklusif merupakan hak yang hanya diperuntukkan bagi Pencipta, sehingga tidak ada pihak lain yang dapat memanfaatkan hak tersebut tanpa izin dari Pencipta. Pemegang Hak Cipta yang bukan Pencipta hanya memiliki sebagian dari hak eksklusif yaitu hak ekonomi.[10] Hak ekonomi adalah merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaannya.[11] Pencipta atau Pemegang Hak Cipta memiliki hak ekonomi untuk melakukan hal-hal seperti :[12] (a) penerbitan Ciptaan; (b) penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; (c) menterjemakan Ciptaan; (d) mengadaptasi, mengaransemen, atau mentransformasi Ciptaan; (e) mendistribusikan Ciptaan atau salinannya; (f) mempertunjukan Ciptaan; (g) mengumuman Ciptaan; (h) komunikasi Ciptaan; dan (i) menyewakan Ciptaan. Hak-hak ekonomi tersebut hanya dapat dilakukan oleh Pencipta atau Pemegang Hak Cipta, kecuali di perjanjikan lain. Sehingga apabila ada pihak lain selain Pencipta atau Pemegang Hak Cipta bermaksud memanfaatkan hak ekonomi atas suatu Ciptaan (yang dalam hal ini Penelitian mahasiswa/i), pihak berkehendak tersebut wajib menerima Lisensi atau izin dari Pencipta sebagai pemegang Hak Eksklusif berupa Hak Ekonomi tersebut. Tanpa hal tersebut, maka dapat dikategorisasikan sebagai pelanggaran hak eklusif dan penciptanya dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga atas perbuatan yang melanggar hak ekonomi sebagai Pencipta yang sesungguhnya.

Hak Non-Eksklusif

Hak Non-Eksklusif ditemukan di dalam perjanjian. Taylor Wessing LLP, sebuah International Law Firm di London, Inggris mendefinisikan Hak Non-Eksklusif sebagai :[13]

” A Non-Exclusive Licence grants to the licensee the right to use the intellectual property, but means that the licensor remains free to exploit the same intellectual property and to allow any number of other licensees to also exploit the same intellectual property.

Terjemahan bebas: “Lisensi Non-Eksklusif memberikan kepada pemegang lisensi hak untuk memanfaatkan kekayaan intelektual, tetapi pemberi lisensi tetap bebas untuk mengeksploitasi kekayaan intelektual yang sama dan memungkinkan memberikan izin lisensi lain untuk dieksploitasi.

A non-exclusive licence does not grant the licensee the right to enforce the intellectual property right in relation to a claim for infringement. Whereas, an exclusive licence or a sole licence, does allow the licensee to pursue a claim for copyright infringement.

Terjemahan bebas: Lisensi non-eksklusif tidak memberikan pemegang lisensi hak untuk menegakkan hak kekayaan intelektual dalam kaitannya dengan klaim pelanggaran. Sedangkan, lisensi eksklusif atau lisensi tunggal, memang memungkinkan pemegang lisensi untuk mengajukan klaim atas pelanggaran hak cipta.

Berpegangan kepada tersebut di atas, maka Hak Non-Eksklusif yang terdapat dalam SPP itu sebenarnya adalah merupakan turunan dari Hak Eksklusif. Sifat Non-Eksklusif sejatinya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Hak Eksklusif. Secara sederhana dalam UU Hak Cipta, Hak Eksklusif itu merupakan hak atau objek atau barang yang tidak terlihat, namun dapat dimiliki dan tidak dimiliki. Non-Eksklusif yang dibahas disini tidak dapat di interpretasikan sebagai hak, tetapi merupakan sifat dari suatu hak (Hak Eksklusif) yang tidak eksklusif. Sebab, konsep dasarnya adalah Non-Eksklusif melekat pada konsep Hak Eksklusif yang merupakan pemberian yang bersifat lahiriah dan hak istimewa atas karya Pencipta. Bersifat lahiriah artinya ketika sebuah karya intelektual dilahirkan, maka secara otomatis akan melahirkan hak-hak eksklusif pencipta yang secara istimewa diatur dalam UU Hak Cipta. Istimewa, sebab Hak Eksklusif hanya dapat dimiliki Pencipta.[14] Terminologi Hak Non-Eksklusif memang tidak diatur dalam UU Hak Cipta, namun dalam praktik sering digunakan. Hak Eksklusif itu berbicara mengenai keistimewaaan, sedangkan Hak Non-Eksklusif lebih mengarah kepada aspek pembatasan. Konsep dasarnya yang perlu dipahami terlebih dahulu adalah bahwa pemilik Hak Cipta berhak atas Hak Eksklusif dan keuntungan ekonomi dalam pemanfaatan karya ciptanya menurut UU Hak Cipta. Konsep ini juga yang berlaku pada SPP yaitu berupa persetujuan pemberian Hak Non-Eksklusif kepada pihak Universitas terhadap sebuah Penelitian, yang ditandatangani Penulis.[15] Sehingga, sebenarnya pemilik Hak Cipta walaupun telah memberikan sifat Hak Eksklusifnya dalam bentuk Hak Non-Eksklusif kepada Universitas, tetapi tetap Pencipta yang berhak menerima hak ekonomi atas pengeloalaan hasil karya tersebut, baik di dalam bentuk royalti maupun kompensasi, kecuali di perjanjikan lain.

UU Hak Cipta memberikan ruang agar Hak Eksklusif dapat digunakan oleh pihak lain tetapi tetap dengan izin (lisensi) pencipta dalam bentuk perjanjian lisensi.[16] Perjanjian lisensi ini dapat memberikan izin kepada penerima lisensi untuk menggunakan hak atas Hak Ciptanya. Sehingga, orang lain dapat melakukan hal-hal yang menjadi Hak Eksklusif Pencipta. Hak yang tidak eksklusif inilah yang dalam praktik seringkali disebut sebagai Hak Non-Eksklusif. Hak Non-Eksklusif dapat diberikan kepada pihak yang adalah bukan Pencipta untuk dapat melakukan Hak Eksklusif pencipta. Namun, tetaplah mempertahankan kepemilikan Hak Eksklusif yang melekat kepada Pencipta. Artinya, pemberian Hak Non-Eksklusif tidak dapat menghilangkan Hak Eksklusif Pencipta. Pencipta juga berhak untuk memberikan Hak Non-Eksklusif lainnya kepada pihak lain atau ke beberapa pihak. Konsekuensinya, maka Penerima Hak Non-Eksklusif (dalam arti pihak Universitas) tidak dapat atau berhak melakukan upaya hukum atas pelanggaran hak cipta yang dilakukan pihak manapun.[17] Hal ini karena, sesungguhnya yang berhak untuk mengajukan gugatan atau upaya hukum hanya Pencipta. Sehingga, ketentuan Hak Non-Eksklusif dalam SPP tidak dapat menghilangkan Hak Eksklusif yang melekat pada Penciptanya.

 SPP sebagai sebuah Perjanjian Lisensi

SPP dapat diartikan memberikan persetujuan penyerahan penelitian atau publikasi penelitian untuk kepentingan akademis (bukan untuk komersial) kepada pihak Universitas dapat juga dikatakan sebagai perjanjian antara Penulis dengan pihak Univeritas. Sebab, setidaknya SPP ini memuat muatan yang termasuk dan tidak terbatas kepada Nama Penulis, Nomor Induk Mahasiswa, Program Studi, Fakultas, Jenis Penelitian, Judul/Topik Penelitian, Klausul persetujuan memberikan sifat dari Hak eksklusif (Non-Eksklusif) beserta cakupan haknya, Klausul pernyataan untuk mempertahankan Hak Eksklusif, Tanggal persetujuan dan Tanda persetujuan dengan dibubuhkanya tanda tangan Penulis. Maka, jika memperhatikan muatan dari SPP ini sebenarnya dapat memenuhi unsur untuk dikatakan sebagai sebuah perjanjian. Hal ini karena, perjanjian (verbintenis) mengandung pengertian yaitu suatu hubungan Hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus juga mewajibkan kepada pihak lain untuk menunaikan prestasi.[18] Sehingga, dapatlah dikatakan bahwa SPP merupakan perikatan yang lahir dari eksistensi kebebasan berkontrak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).[19] Kebebasan berkontrak atau perbuatan membuat perjanjian secara yuridis tetap memiliki syarat sebagai pembatasan atas kebebasan tersebut. Syarat ini merupakan syarat sahnya sebuah perjanjian. Terdapat 4 (empat) syarat sahnya sebuah perjanjian yakni (1) adanya kesepakatan para pihak yang mengikatkan dirinya, (2) adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan, (3) adanya suatu pokok persoalan tertentu dan (4) adanya suatu sebab yang tidak terlarang.[20] Dua syarat yang pertama dinamakan sebagai syarat subjektif, dikarenakan berkaitan dengan pihak-pihak dalam suatu perjanjian atau subjek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat terkahir dinamakan sebagai syarat objektif, dikarenakan berkaitan dengan perjanjian itu sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan.[21] SPP tersebut setidaknya harus memenuhi ke-4 (empat) syarat sahnya perjanjian ini, untuk memenuhi sebagai suatu perjanjian yang sah menurut hukum.

Apabila SPP ini dikaji lebih dalam menurut ketentuan syarat sahnya perjanjian maka, syarat pertama adanya kesepakatan akan terpenuhi dengan adanya tanda tangan penulis sebagai pernyataan persetujuan. Walaupun pihak yang menandatangani surat ini hanya satu pihak yaitu Penulis, SPP ini tetap dapat dikatakan memenuhi unsur adanya kesepakatan. Sebab, dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak mengharuskan Perjanjian ditanda tangani oleh dua belah pihak untuk memenuhi unsur adanya kesepakatan.[22] Syarat kedua, adanya kecakapan para pihak yakni Penulis dan Pihak Universitas. Syarat ketiga, adanya suatu pokok persoalan tertentu atau objek perjanjian harusl jelas, yang dalam hal ini merupakan karya cipta mahasiswa/i dalam bentuk Penelitian, Hak Eksklusif dan Hak Non-Eksklusif. Syarat keempat, adanya suatu sebab yang tidak terlarang atau kausa halal. Unsur ini merupakan kewajiban yang mensyaratkan bahwa Surat Pernyataan ini tidak dapat bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karena, SPP ini telah memenuhi unsur sebagai sebuah perjanjian maka para pihak wajib untuk menghormatinya sebagai Undang-Undang yang mengikat bagi kedua belah pihak.[23] Dasar keterikatan kedua belah pihak ini dalam bentuk perjanjian yang berhubungan dengan Hak Cipta adalah Perjanjian Lisensi. Karena, sebenarnya dalam SPP ini, Penulis sebagai pemegang Hak Ciptamemberikan Lisensi kepada pihak Universitas sebagai penerima lisensi untuk menggunakan hak atas kekayaan intelektualnya.[24] Secara yuridis lisensi berarti suatu perjanjian antara pemberi lisensi (licensor) dan penerima lisensi (licensee) di mana licensor dengan pembayaran dan kondisi tertentu yang memberikan izin kepada licensee untuk dapat menggunakan hak atas kekayaan intelektualnya (intellectual property rights).[25] Lisensi juga merupakan izin tertulis yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemilik Hak Terkait kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas Ciptaannya atau produk Hak Terkait dengan syarat tertentu.[26] Untuk itu, maka, jelas adanya bahwa SPP Penulis ini termasuk dalam Perjanjian Lisensi. Hal ini juga senada dan sebangun dengan isi dari Pasal 81 UU Hak Cipta yang menyatakan, bahwa kecuali diperjanjikan lain, Pemegang Hak Cipta atau pemilik Hak Terkait dapat melaksanakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 24 ayat (2), dan Pasal 25 ayat (2) dalam UU Hak Cipta.

SPP adalah persetujuan sebagai Perjanjian Lisensi selain itu tidak boleh bertentangan dengan syarat sahnya perjanjian, juga harus memperhatikan 3 (tiga) hal:[27] Pertama, dilarang memuat ketentuan mengakibatkan kerugian perekonomian Indonesia. Kedua, dilarang bertentangan dengan ketentuan bahwa peraturan perundang-undangan. Ketiga, Perjanjian Lisensi dilarang menjadi sarana untuk menghilangkan atau mengambil alih seluruh hak Pencipta terhadap Ciptaannya.Meskipun demikin, klausul yang memberikan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif atau klausul yang berarti memberikan hak kepada pihak Universitas tanpa adanya kewajiban pemberian royalti kepada pemilik Hak Eksklusif tidak dilarang sehingga mungkin dilakukan. Sebab, dasarnya persetujuan para pihak.[28] Selain itu, Perjanjian Lisensi harus dicatatkan oleh Menteri dalam daftar umum perjanjian Lisensi Hak Cipta dengan dikenai biaya. [29] Perjanjian Lisensi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 UU Hak Cipta tidak dapat dicatat dalam daftar umum perjanjian Lisensi.[30] Namun, pada praktiknya sering kali SPP sebagai Perjanjian Lisensi ini tidak di daftarkan. Oleh karena itu berlakulah ketentuan bahwa jika perjanjian Lisensi tidak dicatat dalam daftar umum, perjanjian Lisensi tersebut maka tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga.[31]Tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga ini artinya, penerima Hak Non-Ekslusif (dalam hal ini dengan pihak Universitas) dalam Perjanjian Lisensi tidak dapat melakukan tindakan hukum apapun kepada pihak ketiga. Contohnya, pihak Universitas tidak dapat atau dilarang untuk memberikan Sub Lisensi kepada pihak lain, dan tidak dapat bekerjasama dengan penerbit (apabila penelitian ingin dikonvensi menjadi sebuah buku yang bernilai komersial) atas karya cipta Pemilik Hak Eksklusif.[32], kecuali telah ada persetujuan terlebih dahulu.

Implikasi Ketidakjelasan Hak Non-Eklusif

SPP sebagai persetujuan, di dalam praktiknya, menjadi lampiran wajib dalam pengumpulan skripsi. Kewajiban pelampiran tersebut tentunya bukan tanpa tujuan dan alasan. Tujuan dari adanya SPP ini biasanya termuat dalam klausul dari SPP itu sendiri yang kemudian disetujui oleh Penulis. Klausul tersebut memuat tentang cakupan hak yang boleh dilakukan oleh pihak Universitas terhadap penelitian, misalnya, dalam klausul dinyatakan bahwa cakupannya hak yang dapat dilakukan pihak universitas yakni termasuk dan tidak terbatas pada menyimpan, memperbanyak, menyebarluaskan, mengelola dan mempublikasikan. Selain tujuan, ada juga alasan. Alasannya yakni agar ketika suatu saat pihak Universitas ingin melakukan tindakan yang menjadi tujuan dari SPP tersebut demi kepentingan akademis, maka pihak Universitas tidak perlu lagi menghubungi penulis kembali. Karena sudah ada persetujuan di awal. SPP tersebut merupakan hal yang wajar diterapkan pada berbagai Universitas. Sebab, beberapa Universitas menyediakan open access penelitian-penelitian mahasiswa terdahulunya untuk memperbanyak refrensi dalam upaya mendukung penelitian-penelitian selanjutnya. Atau yang lainnya, seperti mendokumentasikan dan mempublikasikan karya tulis hasil penelitian mahasiswanya di online repository Universitas. Dokumentasi dan publikasi penelitian juga akan menjadi represetasi Universitas disamping kebutuhan branding Universitas. Oleh karena itu, dibuatlah SPP sebagai bukti persetujuan Penulis atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pihak Universitas tersebut. Lagipula ada juga pembatasan pelanggaran hak cipta yang telah diatur di dalam Pasal 44 UU Hak Cipta, itu juga perlu di perhatikan.[33] Namun demikian berimplikasi terhadap mahasiswa sebagai Pencipta karena ketidakjelasan Hak Non-Eksklusif yang tidak terjawabkan dalam UU Hak Cipta dan SPP. Implikasi itu terdiri dari:

Jangka Waktu Hak Non-Eksklusif. Sebagaimana telah bahas sebelumnya, pemberian Hak Non-Eksklusif telah di muat dalam Perjanjian Lisensi. Maka, berarti pemberian Hak Non-Eksklusif harus tunduk pada syarat berlakunya Perjanjian Lisensi. Perjanjian Lisensi menurut Pasal 80 ayat (2) dapat berlaku selama jangka waktu tertentu dan tidak boleh melebihi masa berlaku Hak Cipta. [34] Perlindungan Hak Cipta atas ciptaan hasil karya tulis atau penelitian berlaku selama hidup pencipta dan terus berlangsung selama 70 (tujuh puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia, terhitung tanggal 1 Januari tahun berikutnya.[35] Dengan demikian juga sesungguhnya masa berlaku dari Hak Non-Eksklusif itu dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan. Namun, baik tertulis maupun tidak tertulis masa berlakunya tetap tidak tidak dapat melebihi masa berlaku Hak Cipta. Setelah masa keberlakuan Hak Cipta berakhir maka, secara otomatis menghilangkan keberlakuan Perjanjian Lisensi tersebut.[36] Akan tetapi dalam SPP tidak dicantumkan secara jelas tentang batas waktu apakah ketentuan 70 (tujuh puluh) tahun dapat dijadikan dasar dan diterima oleh Pencipta? Bagaimana apabila sebelum jangka waktu tersebut Pencipta bermaksud mencabutnya. Apakah hal itu dapat diterima oleh pihak Universitas? Kedua pertanyaan dasar tersebut tidak ada jawaban yang dapat memperjelas, sehingga potensi sengketa dapat saja terjadi apabila tidak diaturnya.

Hak Ekonomi atas pemberian Hak Non-Eksklusif. Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan.[37] Setiap orang termasuk pihak Universitas sebenarnya dapat melaksanakan hak ekonomi Pencipta, tetapi harus mendapatkan Izin (tertulis) dari Pencipta atau pemegang Hak Cipta yang dalam hal ini adalah Penulis.[38] Tanpa izin penulis maka pihak manapun dilarang untuk melakukan penggandaan dan/atau penggunaan karya cipta secara komersil.[39] Hak Ekonomi pencipta dalam kaitannya dengan Perjanjian Lisensi adalah dapat berupa Royalti. Royalti merupakan imbalan atas pemanfaatan Hak Ekonomi suatu Ciptaan atau Produk Hak Terkait yang diterima oleh pencipta atau pemilik hak terkait.[40] Lantas, apakah pihak Universitas sebagai penerima atas pemberian Hak Non-Eksklusif berhak atas Hak Ekonomi berupa royalti atas pemanfaatan karya ciptanya? Maka, dapatlah dijawab bahwa hal ini kembali disesuaikan kepada kesepakatan kedua belah pihak atau dengan memperjelas terhadap isi klausul SPP yang diwujudkan dengan perjanjian Lisensi.

Jika pada SPP itu hanya tertulis “memberikan Hak Non-Eksklusif kepada pihak Universitas…” dan tidak mencantumkan ketentuan tentang royalti dan besaran royalti. Maka, atas pemanfaatan hak yang diberikan kepada pihak Universitas tersebut melekat kewajiban pemberian royalti kepada Penulis sebagai pemilik karya cipta. Kewajiban pemberian royalti ini tidak berlaku jika tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta. Serta, jika penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau pengubahan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial yang sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap digunakan untuk keperluan:[41] a) pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta; b) keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan; c) ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau d) pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta. Namun, apabila pada SPP tertulis “memberikan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif kepada pihak Univesitas..”, maka itu berarti pemanfaatan Hak Non-Eksklusif yang diberikan kepada pihak Universitas tesebut dibebaskan dari kewajibanpemberian royalti kepada Penulis sebagai pemilik karya cipta. Sebab, pada dasarnya Penentuan besaran Royalti dan tata caranya pemberian Royalti terbuka untuk dilakukan berdasarkan kesepakatan pada perjanjian Lisensi antara Pemegang Hak Cipta atau pemilik Hak Terkait dan penerima Lisensi.[42] Mengenai besaran royali ditentukan berdasarkan besaran Royalti dalam perjanjian Lisensi dan harus ditetapkan berdasarkan kelaziman praktik yang berlaku dan memenuhi unsur keadilan.[43] Royalti tidak terbatas dalam bentuk pembayaran dan uang.[44] Namun yang terjadi sekarang, Pencipta hanya menyerahkan SPP kepada pihak Universitas tanpa mahasiswa tahu dan mengerti konsekuensi lanjutan tentang yang ada klausula Hak Non-Eksklusif tanpa Hak Bebas Royalti atau Hak Non-Eksklusif dengan Hak Bebas Royalti kepada pihak Universitas. Ketidakjelasan ini tentu dapat merugikan mahasiswa (terutamanya yang dengan Hak Bebas Royalti), karena itu sama saja menyerahkan seluruh karya cipta kepada pihak Universitas. Hal ini merugikan mahasiswa di dalam jangka panjang, karena dengan klausula demikian ini dapat saja digunakan Universitas untuk kepentingan komersial dimana Pencipta tidak dapat memperoleh hak ekonominya.

Risiko Hukum Memberikan dan Menerima Hak Non-Eksklusif Tanpa Ketentuan ‘Bebas Royalti’. Dalam praktiknya, berdasarkan hasil review beberapa universitas, di Jabodetabek terhadap SPP yang dipublikasikan dalam skripsinya, persetujuan penyerahan penelitian atau publikasi penelitian untuk kepentingan akademis kepada pihak universitas. Ada universitas yang dalam SPP mencantumkan kata ‘Bebas Royalti’ dan ada yang tidak. Sehingga, dalam surat tersebut ada yang mencantumkan klausul “memberikan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif” dan ada yang mencantumkannya klausul “memberikan Hak Non-Eksklusif” saja tanpa mencantumkan kata Bebas Royalti. Meskipun sederhana, namun hal ini menimbulkan konsekuensi hukum. Tidak hanya konsekuensi hukum terhadap Hak Ekonomi sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya. Tetapi juga menimbulkan resiko hukum sebagai bagian dari konsekuensi hukum tidak mencantumkan klausul Bebas Royalti. Resikonya hukum yang timbul adalah akan muncul ketika baik sengaja maupun tidak sengaja, penelitian yang didokumentsikan dan dipublikasikan oleh pihak Universitas dapat saja dikomersilkan. Untuk itu, maka peneliti sebagai pemegang Hak Ekonomi berhak menggugat pihak Universitas untuk meminta royalti atas karya cipta penelitiannya yang di komersilkan. Sebab, royalti merupakan Hak Ekonomi Pencipta. Sehingga meskipun ketentuan yang tercantum adalah “memberikan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif”, hal ini tidak akan menutup kemungkinan jika sewaktu-waktu pencipta ingin mencabut Hak Bebas Royalti yang diberikannya kepada pihak Universitas. Namun, pihak universitas dapat saja menolak tindakan pencabutan Pencipta tersebut. Hal ini menimbulkan potensi terjadinya sengketa di antara Pencipta (telah menjadi alumni) dengan pihak Universitas di mana yang telah berhasil membesarkannya. Sengketa yang tidak dikehendakinya, tetapi tetap implikasinya harus dihadapinya apabila ingin memperjuangkan hak ekonomi yang seharusnya didapatkannya.

Klausul Hak Non-Eksklusif /Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif yang terdapat pada SPP itu adalah persetujun penyerahan penelitian atau publikasi penelitian dalam rangka kepentingan akademis kepada pihak Universitas, seharusnya memiliki penjelasan agar tidak menimbulkan kesalahan penafsiran akibat klausul terlalu abstrak. Kausul ini juga harus memuat alasan, maskud, tujuan, cakupan hak, serta jangka waktu yang tertulis dengan jelas. Hal ini semata-mata agar SPP tidak hanya dijadikan sebagai sebuah lembaran formalitas. Tetapi SPP juga pada hakekatnya berlaku sebagai sebuah perjanjian yang akan dapat menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi pihak yang bersepakat. Oleh karena itu harus terdapat kejelasan yang idealnya diatur dalam UU Hak Cipta, tetapi setidak-tidaknya diatur di dalam perjanjian yang tersendiri (tidak hanya SPP yang ditandatangani mahasiswa saja), tetapi dibutuhkan elaborasi lebih detail dan mendalam hak-hak dan kewajiban mahasiswa dan pihak Universitas dengan keseimbangan di antara kedua belah pihak. Perjanjian tersebut harus mengedepankan aspek win win solution (sama-sama diuntungkan) sebagai pedomannya dan tidak yang merugikan salah satu pihak. Ketidakjelasan hanya menambah permasalahan baru (sengketa) yang pada dasarnya tidak dikehendaki mahasiswa maupun pihak Universitas. Semoga hal ini tidaklah terjadi dan oleh karena itu kejelasan menjadi pilihan yang harus segera dilakukan dan untuk diperbaiki SPP tersebut. (***)


REFERENSI:

[1] Susanto Leo, Kiat Jitu Menulis Skripsi, Tesis, dan Disertasi, Erlangga, Jakarta, hal 3-4.

[2] Ibid.

[3] Alfin Sulaiman, Hak Kekayaan Intelektual Mahasiswa Atas Karya Ilmiah yang Dibuatnya (Online), tersedia https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt57c407a664f2e/hak-kekayaan-intelektual-mahasiswa-atas-karya-ilmiah-yang-dibuatnya/#_ftn4(16 Mei 2020).

[4] Alfin Sulaiman, “Hak Kekayaan Intelektual…”, Op. Cit.

[5] Lihat ketentuan Pasal 1 angka (3) UU Hak Cipta

[6] Lihat ketentuan Pasal 40 ayat (1) (a) UU Hak Cipta

[7] Lihat ketentuan Pasal 1 angka (2) UU Hak Cipta

[8] Lihat ketentuan Pasal 1 angka (4) UU Hak Cipta

[9] Lihat ketentuan Pasal 1 angka (1) UU Hak Cipta

[10] Lihak ketentuan Penjelasan Pasal 4 UU Hak Cipta

[11] Lihat ketentuan Pasal 8 UU Hak Cipta

[12] Lihat ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU Hak Cipta

[13] https://www.taylorwessing.com/synapse/commerical_exclusive_nonexclusive.html (15 Mei 2020).

[14] Bhredipta Socarana, SH, mahasiswa LLM di UC Berkeley School of Law, USA, adalah paraktisi Hukum Kekayaan Intelektual (HKI) dan Teknologi dari K&K Advocates Indonesia, wawancara via telepon dengan penulis (17 Mei 2020).

[15] Ibid.

[16] Ibid.

[17] Ibid.

[18] M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni, 1986, hal 6.

[19] Lihat ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata

[20] Lihat ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata

[21] R. Soebekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1979), hal 17.

[22] Bhredipta Socarana, Op., Cit.

[23] Lihat ketentuan Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata

[24] Bhredipta Socarana, Op., Cit.

[25] Soemantoro, Masalah Pengaturan Alih Teknologi, Bandung, Alumni, 1993, hal. 53.

[26] Lihat ketentuan Pasal 1 angka (20) UU Hak Cipta

[27] Lihat ketentuan Pasal 82 UU Hak Cipta

[28] Lihat ketentuan Pasal 80 ayat (3) UU Hak Cipta

[29] Lihat ketentuan Pasal 83 ayat (1) UU Hak Cipta

[30] Lihat ketentuan Pasal 83 ayat (2) UU Hak Cipta

[31] Lihat ketentuan Pasal 83 ayat (3) UU Hak Cipta

[32] Bhredipta Socarana, Op., Cit.

[33] Ibid.

[34] Lihat ketentuan Pasal 80 ayat (2) UU Hak Cipta

[35] Lihat ketentuan Pasal 58 UU Hak Cipta

[36] Bhredipta Socarana, Op., Cit.

[37] Lihat ketentuan Pasal 8 UU Hak Cipta

[38] Lihat ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Hak Cipta

[39] Lihat ketentuan Pasal 9 ayat (3) UU Hak Cipta

[40] Lihat ketentuan Pasal 1 angka (21) UU Hak Cipta

[41] Lihat ketentuan Pasal 44 ayat (1) UU Hak Cipta

[42] Lihat ketentuan Pasal 80 ayat (4) UU Hak Cipta

[43] Lihat ketentuan Pasal 80 ayat (5) UU Hak Cipta

[44] Bhredipta Socarana, Op., Cit.



Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close