SEPUTAR PENGERTIAN MERGER, KONSOLIDASI, DAN AKUISISI
Oleh SHIDARTA (Mei 2020)
Kompleksitas terminologi acapkali menjadi permasalahan tersendiri dalam pembelajaran hukum. Untuk maksud yang sama terkadang di dalam peraturan perundang-undangan digunakan beberapa istilah yang berbeda dan/atau sama-sama digunakan dan eksis di dalam sistem hukum positif. Atau, bisa terjadi juga satu istilah yang sama, ternyata diberikan pengertian yang berbeda. Hal ini menunjukkan pembentuk peraturan perundang-undangan kita terkadang lalai untuk mencari referensi dan saling berkoordinasi guna menghadirkan terminologi yang seragam.
Contoh permasalahan tersebut muncul dalam peraturan-peraturan mengenai merger, konsolidasi, dan akuisisi. Ada dua peraturan pemerintah mengenai hal ini, yang kebetulan ditetapkan dengan nomor yang berurutan, tetapi diterbitkan pada tahun yang berbeda, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999 yang menyasar sektor perbankan memberikan definisi sebagai berikut.
Merger adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank-bank lainnya tanpa melikuidasi terlebih dahulu. Konsolidasi adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara mendirikan bank baru dan membubarkan bank-bank tersebut tanpa melikuidasi terlebih dahulu. Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan suatu bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap bank.
Pengendalian yang dimaksud dalam konteks akuisisi tersebut adalah kemampuan untuk menentukan, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan cara apapun, pengelolaan dan/atau kebijakan bank. Jika diperhatikan, pengaturan di sektor perbankan itu masih menggunakan terminologi yang berasal dari kata serapan berbahasa Inggris, yakni merger, consolidation, accussision (take-over), padahal Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 sudah memakai terminologi berbahasa Indonesia.
Terminologi berbahasa Indonesia sesungguhnya sudah digunakan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang diikuti oleh Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peraturan pemerintah ini mengatur hal yang sama dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999, tetapi kali ini ia menjangkau seluruh sektor badan usaha. Istilah yang digunakan dalam peraturan tersebut adalah penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan. Sayangnya, pada judul peraturan ini ada kata sambung “atau” yang cukup mengganggu diletakkan di antara kata penggabungan dan peleburan, sehingga sekilas menimbulkan kesan kedua istilah ini identik. Padahal peraturan ini membedakan pengertian keduanya.
Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu badan usaha atau lebih untuk menggabungkan diri dengan badan usaha lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari badan usaha yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada badan usaha yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan usaha yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua badan usaha atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu badan usaha baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari badan usaha yang meleburkan diri dan status badan usaha yang meleburkan diri berakhir karena hukum. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk mengambilalih saham badan usaha yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas badan usaha tersebut.
Dari sisi konsistensi penggunaan dalil-dalil pembuatan definisi, batasan untuk semua terminologi di atas kurang baik perumusannya. Kata yang didefinisikan (definiendum) muncul beberapa kali di dalam frasa definisi (definiens). Namun, kita dapat menangkap maksudnya bahwa penggabungan itu sama maknanya dengan merger; peleburan itu sama dengan konsolidasi; dan pengambilalihan itu sama dengan akuisisi. Khusus untuk kata “pengambilalihan” ternyata Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 juga tidak konsisten. Sebab, di dalam Bab II peraturan ini, digunakan istilah yang lebih spesifik, yaitu “pengambilalihan saham perusahaan” dan bukan “pengambilalihan” secara umum; mengingat selain saham, sebenarnya ada juga pengambilalihan aset. Kekeliruan ini juga diikuti dalam judul Peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Untuk lebih memudahkan pemahaman kita, maka secara skematis ketiga perbuatan hukum itu dapat diilustrasikan seperti di bawah ini. Dalam lampiran Peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2012 juga diberikan skema (grafis) serupa, namun dalam tulisan ini sengaja ditunjukkan model skema yang sedikit berbeda, dengan harapan akan lebih informatif.
Lahan usaha dari masing-masing perusahaan yang terlibat dalam merger, konsolidasi, dan akuisisi bukanlah variabel dalam konteks peristilahan di atas, tetapi hal ini justru bakal sangat diperhatikan oleh KPPU karena merger, konsolidasi, dan akuisisi oleh perusahaan-perusahaan yang semula adalah sesama pesaing, pasti berdampak pada penguasaan pangsa pasar. Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga terdapat kata “integrasi vertikal” yang juga sering menjadi motif dalam merger, konsolidasi, dan akuisisi, karena lahan usaha mereka yang berangkaian dari hulu ke hilir, akan berimplikasi pada iklim persaingan usaha.
Dalam praktik tentu ada varian dari perbuatan-perbuatan hukum di atas, khususnya pada akuisisi atau pengambilalihan saham. Misalnya, muncul pertanyaan, bagaimana jika pada contoh di atas PT Abadi dan PT Cahaya masing-masing memiliki jumlah saham yang sama? Menurut Peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2012, bentuk seperti itu disebut sebagai joint venture. Lazimnya perusahaan hasil joint venture itu adalah perusahaan yang baru didirikan dalam rangka menjalankan proyek kerja sama di antara mereka. Selain itu juga dikenal ada take-over dan public take-over. Perbedaannya tidak signifikan, bahkan kerap dirancukan. Pada take-over, dinyatakan bahwa pembeliannya langsung dilakukan kepada pemilik perusahaan, sehingga perusahaan yang semula adalah anak perusahaan lain, sekarang diambil alih menjadi anak perusahaan dari perusahaan yang mengambil alih. Dalam skema di atas, misalnya, PT Budiman yang semula anak perusahaan dari PT Cahaya, kini menjadi anak perusahaan PT Abadi. Jika pembelian saham itu dilakukan terhadap perusahaan yang sudah go-public, maka akuisisi model ini disebut public take-over. Kata kunci di sini adalah adanya peralihan kepemilikan saham yang merepresentasikan peralihan pengendalian perusahaan karena pembelian itu identik dengan pembelian hak suara (voting stock) di dalam rapat umum pemegang saham.
Pada tahun 2019, KPPU mengeluarkan Peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Penilaian Terhadap Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat. Perlu dicatat, bahwa walaupun judul Peraturan KPPU ini secara eksplisit menyebut kata-kata “pengambilalihan saham perusahaan” ternyata di dalam tolok ukur notifikasi dikatakan pula bahwa pengambilalihan juga dapat berupa aset. Perumus peraturan mempersempit makna di bagian judul (boleh jadi karena mengikuti kekeliruan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010), tetapi memperluasnya di bagian indikator. Ini berarti bahwa kata akuisisi pada peraturan ini tidak tepat jika sekadar dimaknai sebagai “pengambilalihan saham”. Pengambilalihan aset juga punya konsekuensi pada kemampuan untuk menentukan pengelolaan dan atau kebijaksanaan perusahaan (dalam hal ini suatu bank) yang diakuisisi. Dengan demikian, akuisisi dapat terdiri dari tiga bentuk: (1) pengambilalihan saham, (2) pengambilalihan aset, dan (3) pengambilalihan saham dan aset.
Apa perbedaannya? Dalam akuisisi saham dan akuisisi saham plus aset, maka tentu saja perusahaan yang diambil alih selalu harus berbentuk perseroan terbatas (PT) karena bukti kepemilikan suatu PT diwujudkan dalam bentuk saham. Untuk akuisisi aset, perusahaan yang diambil alih boleh berupa badan usaha lainnya, seperti perusahaan perseorangan/UD/PD, persekutuan, CV, firma, koperasi, dan badan usaha/hukum lain-lain yang dikenal dalam perundang-undangan.
Dalam perspektif hukum persaingan usaha, aspek yang paling dikhawatirkan dari perbuatan-perbuatan hukum tersebut adalah potensi penyalahgunaan posisi dominan. Dalam hal ini perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam merger, konsolidasi, dan akuisisi akan dinilai penguasaan pangsa pasar mereka dan bagaimana akibatnya setelah proses penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan dilakukan. Karena kata kuncinya adalah potensi terjadinya posisi dominan, maka hanya perbuatan-perbuatan hukum yang secara signifikan mengubah dominasi pangsa pasar sajalah yang akan menjadi fokus perhatian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Penilaian terhadap Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha atau Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat, menyatakan bahwa semua perbuatan hukum di atas yang berakibat nilai aset dan/atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu wajib diberitahukan secara tertulis (notifikasi) kepada Komisi. Kewajiban pemberitahuan tersebut adalah apabila:
- nilai aset badan usaha hasil penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan saham perusahaan melebihi Rp2.500.000.000.000,00 (dua triliun lima ratus miliar rupiah); atau
- nilai Penjualan Badan Usaha hasil Penggabungan, Peleburan,atau Pengambilalihan Saham Perusahaan melebihi Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah).
Di bidang perbankan, tokok ukurnya adalah bahwa transaksinya berupa aset yang melebihi Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh triliun rupiah). Dalam hal hanya salah satu pihak yang melakukan perbuatan-perbuatan hukum itu bergerak di bidang perbankan dan pihak lain bergerak di bidang lainnya, maka pelaku usaha itu wajib melakukan notifikasi apabila nilai aset badan usaha hasil penggabungan, peleburan,atau pengambilalihan saham dan/atau aset perusahaan melebihi Rp2.500.000.000.000,00 (dua triliun lima ratus miliar rupiah) atau nilai penjualan badan usaha hasil penggabungan, peleburan,atau pengambilalihan saham dan/atau aset perusahaan melebihi Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah).
KPPU selama ini menerapkan notifikasi merger, konsolidasi, dan akuisisi dilakukan setelah perbuatan-perbuatan tersebut selesai dilaksanakan. Hal ini kerap menyulitkan karena pelaku usaha sudah terlanjur mengeluarkan biaya tinggi. Untuk itu KPPU menyediakan fasilitas konsultasi mengenai merger, konsolidasi, atau akuisisi sebelum perbuatan-perbuatan itu dilangsungkan. Di masa yang akan datang, notifikasi memang seharusnya dilaksanakan sebelumnya karena konsekuensi dari pembatalan merger, konsolidasi, dan akuisisi tidaklah kecil bagi semua pihak. Belum lagi jika dicermati dari segi legal, mengingat merger, konsolidasi, dan akuisisi pasti melewati prosedur hukum terlebih dulu. Apabila pendapat dari KPPU diwajibkan ada sebelum perbuatan-perbuatan hukum itu dilakukan, maka komplikasi dari sisi legal dapat dicegah. Misalnya, notaris yang memproses akta otentik atas perbuatan hukum itu sudah ikut berperan karena ia akan meminta ditunjukkan dokumen dari pendapat KPPU sebagai prasyarat lahirnya akta notaris. Hal ini akan menjadi filter yang baik untuk proses pengesahannya di Kemenkumham.
Oleh karena merger, konsolidasi, dan akuisisi ini adalah suatu strategi bisnis, maka pengambilalihan dapat saja berlangsung secara baik-baik dan bersahabat (friendly take-over) atau secara paksa (hostile take-over). Dengan notifikasi di awal proses, akan membuat KPPU dapat mencermati gelagat yang tidak baik dalam pengambilalihan perusahaan secara paksa. (***)
Published at :