PENYADAPAN DAN KEDUDUKANNYA SEBAGAI ALAT BUKTI ELEKTRONIK
Oleh BAMBANG PRATAMA (Mei 2020)
Ketentuan tentang penyadapan/perekaman, alat rekaman dan bukti CCTV sepertinya masih menjadi perdebatan bagi sebagian kalangan. Diantaranya adalah perdebatan soal hak pemilik perangkat elektronik untuk merekam sesuatu yang dinyatakan sebagai bagian dari kebebasan pemilik barang, hingga perdebatan soal kedudukan bukti CCTV yang dianggap sebagai salah satu bentuk perekaman tanpa ijin, hingga menimbulkan pendapat bahwa pemasangat CCTV harus dilakukan oleh aparat penegak hukum (APH).
Apabila dicermati secara seksama, ada dua konsep kunci yang harus dilihat, yaitu: (1) penyadapan/perekaman, (2) kedudukan alat bukti elektronik dari penyadapan/perekaman. Untuk menjawab kedua konsep di atas, maka rujukan normatinya ada di dalam Undang-undang NO. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang No. 19 Tahun 2016 (UU-ITE).
Secara konseptual untuk membaca tentang bukti elektronik adalah dimulai dari definisi tentang informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik (IE/DE), kemudian dilanjutkan dengan bagaimana cara mendapatkan IE/DE, dan terakhir kedudukannya di dalam hukum sebagai bukti di persidangan alat bukti.
Definisi kunci dari UU-ITE adalah IE/DE, yang mana secara sederhana dapat diartikan bahwa IE/DE adalah sekumpulan data elektronik yang hanya bisa dibaca dengan menggunakan perangkat elektronik. Saya menggunakan terminologi “data elektronik” karena terminologi yang paling umum dari IE/DE adalah “data elektronik” sebagaimana telah diatur di dalam pasal 1 angka 30 Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Atas definisi di atas, maka harus disepakati bahwa seluruh data elektronik merupakan objek dari UU-ITE. Dengan adanya suatu objek hukum yaitu data elektronik maka UU-ITE dapat diberlakukan.
Penyadapan/perekaman di dalam UU-ITE secara jelas disebutkan dalam penjelasan pasal 31 ayat (1) UU-ITE, yaitu:
“Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.”
Berdasarkan penjelasan pasal 31 UU-ITE, terlihat bahwa segala macam bentuk pemantauan (surveillance), gangguan (intrusi), pendokumentasian (merekam) yang dilakukan “tanpa ijin” merupakan tindakan yang dilarang. Kondisi ini menunjukkan bahwa bukan berarti pemilik perangkat elektronik memiliki hak untuk penyadap/merekam orang lain tanpa ijin dengan alasan perangkat elektronik yang dimilikinya maka hak untuk melakukan perekaman berada padanya. Dalam konteks perekaman/penyadapan objek yang direkam/disadap adalah orang lain, sehingga di dalamnya ada hak hukum orang lain pula.
Terkait sanksi atas tindakan penyadapan diatur di dalam pasal 47 UU-ITE, rumusan normanya adalah sebagai berikut:
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Dengan mengacu pada rumusan normatif di atas, maka secara konsep penyadapan/perekaman oleh pembuat undang-undang dikumpulkan menjadi satu dan ditentukan sebagai tindakan yang dilarang jika dilakukan tanpa ijin. Artinya juga bahwa tindakan penyadapan/perekaman diperbolehkan jika mendapat ijin, misalnya bagi aparat penegak hukum (APH), dan bagi orang perseorangan (non APH) jika diberi ijin oleh orang yan direkamnya. Jika penyadapan/perekaman dilakukan tanpa ijin, maka terdapat sanksi pidana sebagaimana diatur di dalam pasal 47 UU-ITE.
Dalam kaitannya pemberian ijin, maka terdapat dua konsep yang bisa digunakan yaitu: (1) konsep privasi, dan (2) konsep hak cipta. Dalam konsep privasi, maka ijin dari orang yang direkam menjadi faktor kunci sebagai legitimasi untuk melakukan tindakan perekaman. Sedangkan pada konsep hak cipta, legitimasi kepemilikan dari rekaman tersebut ditentukan oleh undang-undang (numerous clausus). Penjelasan di atas menunjukkan bahwa konsep perekaman tanpa ijin memiliki dimensi hukum yang kompleks, sehingga tidak hanya sebatas pada masalah “tanpa ijin” semata, tetapi ada juga konsep kepemilikan di dalamnya.
Hasil penyadapan/perekaman sebagai alat bukti
Di dalam hukum acara konvensional telah diatur tetang alat bukti pada umumnya, diantaranya: surat, petunjuk, ahli, saksi, dan sebagainya. Dengan diundangkannya UU-ITE pada tanggal 21 April 2008, bukti elektronik diakui kedudukan sebagai alat bukti sebagaimana umumnya bukti di dalam hukum acara. Dalam hal bukti elektronik terjadi dualisme pandangan, yaitu:
- Pandangan pertama: memandang bukti elektronik sebagai bukti baru yang menambahkan bukti di dalam KUHAP atau perluasan dari alat bukti di dalam KUHAP dengan berpegangan pada UU-ITE sebagai dasarnya, dan
- Pandangan kedua: bukti elektronik merupakan perluasan dari alat bukti “petunjuk”. Dalam pandangan ini, maka bukti elektronik tidak lebih dari bukti petunjuk, sehingga tidak menambahkan bukti sebagaimana diatur di dalam KUHAP.
Terlepas dari silang pendapat di atas, hal yang paling penting adalah pengakuan bukti elektronik di dalam hukum adalah tetap sama-sama diakui. Akan tetapi dilakukan dengan syarat bahwa bukti elektronik harus di dapat dengan cara legal, bukan dengan cara melanggar hukum seperti penyadapan/perekaman tanpa ijin. Dikatakan demikian karena putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2006 ditegaskan oleh hakim MK bahwa bukti elektronik tetap diakui kedudukanya di dalam hukum acara sepanjang didapatkan dengan cara yang sah. Berikut ini petikan putusan MK No. 20/PUU-XIV/2006
Frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
Berdasarkan putusan MK di atas maka secara jelas bisa terlihat bahwa bukti elektronik diakui kedudukannya dan diakui sebagai alat bukti yang sah di pengadilan selama didapatkan dengan cara yang sah juga.
Sebagai penutup, beberapa hal yang bisa disimpulkan adalah sebagai berikut: Pertama: Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik beserta cetakannya sebagaimana diatur di dalam pasal 5 UU-ITE merupakan alat bukti yang sah selama didapat dengan cara yang sah; kedua: tindakan penyadapan/perekaman tanpa ijin adalah tindakan yang dilarang sebagaimana diatur di dalam pasal 31 ayat (1) UU-ITE. Akibat hukum dari penyadapan/perekaman tanpa ijin ada dua, yaituL (1) adanya sanksi atas perekaman tanpa ijin sebagaimana diatur di dalam pasal 47 UU-ITE, dan (2) hasil rekaman tanpa ijin tidak diakui sebagai bukti yang sah di pengadilan. Ketiga: mengartikan tindakan penyadapan jika pengacu pada UU-ITE bentuknya sangat luas, akan tetapi prinsip utamanya adalah tindakan tanpa ijin berupa: pemantauan (surveillance), ganggunan (intrusi), dan pendokumentasian (perekaman).
Sumber Hukum
Undang-undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016
Published at :
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...