KEDARURATAN DALAM HUKUM PIDANA
Oleh AHMAD SOFIAN (April 2020)
Saya mengawali tulisan ini dengan mengutip sebuah postulat dari seorang filsuf dan juga seorang pengacara terkemuka bangsa Romawi, yaitu Marcus Tullius Cicero. Postulat yang dikemukannya belakangan ini menjadi sangat popular di tengah wabah pendemi covid-19 yang berbunyi “Solus Populi Suprema Lex Esto”. Dalam Bahasa Inggris diterjemahkan dengan “the safety of the people should be the supreme law,” atau “the welfare of the people shall be the supreme law“. Dalam Bahasa Indonesia lebih kurang diartikan sebagai keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi. Cicero berpandangan, ketika ada situasi darurat yang dihadapkan antara pilihan keselamatan manusia dan ketaatan pada hukum, maka pilihannya adalah keselamatan pada manusia. Dalam konteks pendemi covid-19, maka hak-hak hukum masyarakat harus dikesampingkan, dahulukan kesehatan yang berujung pada keselamatan manusia.
Pandangan Cicero sangat relevan dengan hukum pidana yang kita perbincangkan. Saat pendemik covid-19 datang, hukum pidana berada dalam dua sisi. Sisi pertama, ketika hukum pidana konsisten ditegakkan, maka berpotensi penularan wabah korona bagi sejumlah penegak hukum dan sejumlah narapidana yang saat ini berada di dalam sel. Jika hukum pidana tidak ditegakkan muncul ketegangan di dalam masyarakat yang berpotensi akan melakukan pengadilan jalanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, hukum pidana harus bisa beradaptasi secara cepat dalam merespon situasi darurat yang luar biasa yang belum pernah terjadi di negeri ini. Pembahasan kedaruratan hukum pidana mendalami dua aspek yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.
Kedaruratan dalam Hukum Pidana Materiil
Pasal 48 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, mengatur masalah kedaruratan ini, yang berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.”
Pasal di atas merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda, yang bunyinya: “Niet strafbaar is hij die een feit begaat waartoe hij door overmacht is gedrongen.”
Keadaan memaksa dalam hukum pidana dikenal dengan sebutan overmacht, merupakan kondisi seseorang melakukan tindak pidana karena dalam keadaan yang benar-benar terpaksa. Keadaan terpaksa itu, bisa disebabkan oleh karena kekuasaan yang tidak bisa dihindarinya atau keadaan dari luar yang menyebabkan seseorang melakukan perbuatan yang melawan hukum.
Overmacht dalam beberapa literatur hukum pidana ternyata kaya akan tafsir, sehingga bisa dapat dapat juga dikategorikan sebagai situasi kedaruratan yang saat ini sedang kita hadapi yaitu kedaruratan wabah covid-19.
Hazawinkel Suringa mengartikan overmacht sebagai : “Apa sebenarnya overmacht itu, apa sebabnya ia telah membuat sesuatu hukuman menjadi tidak dapat dijatuhkan, dan apakha yang dimaksudkan terakhir ini berkenaan dengan perbuatannya atau berkenaan dengan pelakunya ? Adalah tetap tidak jelas”. Sementara itu J.E memberikan tafsir overmacht menjadi tiga bagian yaitu overmacht yang absolut, overmacht relatif dan keadaan darurat dari luar atau disebutnya dengan noodtoestand. Overmacht yang absolut adalah orang tersebut tidak memiliki kuasa menghindarkan diri dari perbuatan orang lain sehingga perbuatan melawan hukumnya harus dihapus. Misalnya seseorang diikat, lalu orang tersebut dilemparkan ke sebuah kaca, sehingga merusak kaca tersebut. Rusaknya kaca tersebut bukanlah kehendaknya, tetapi kehendak dari orang lain yang mengikatnya. Overmacht relatif, diartikannya orang yang berada dalam situasi ini masih bisa memilih untuk tidak melakukan perbuatan, namun hampir mustahil orang tersebut memilih untuk tidak melakukan perbuatan tersebut, karena akan membahayakan dirinya atau keluarganya. Misalnya seseorang dipaksa untuk mengantarkan narkoba, jika tidak melakukan maka anak dan isterinya dibunuh yang sebelumnya telah disekap di suatu tempat. Overmacht relatif menjadi alasan pemaaf dan dihapuskannya pidana pada orang tersebut. Satu jenis lagi overmacht yang dikemukakan J.E. Jonkers adalah noodtoestand atau keadaan darurat yang datangnya dari alam, atau situasti lain yang menyebakan orang tersebut melakukan tindak pidana. Karena itu, jika hal ini terjadi, maka noodtoestand ini menjadi alasan untuk dihapuskannya penuntutan kepada orang tersebut. Contohnya, adalah ketika terjadi kebakaran sebuah kapal di tengah laut, ada dua orang memperebutkan satu pelampung, oleh karena pelampung tersebut mustahil dipergunakan dua orang, maka mereka saling berebut dan dimenangkan oleh A, sementara B karena tidak berhasil mendapatkan pelampung tersebut mati tenggelam. Dalam kejadian ini, maka perbuatan A disebut dengan noodtoestand dan menjadi alasan untuk tidak dituntut. Jadi, ada perbedaan yang signifikan, antara overmacht yang absolut dan relatif dengan noodtoestand. Pada noodtoestand ada situasi alam dan dihapusnya penuntutan, sementara dalam overmacht (absolut dan relatif) masih ada proses penuntutan namun perbuatan melawan hukumnya dihapuskan oleh pengadilan, sehingga tidak dipidana.
Pandangan J.E Jonkers jika dikaitkan dengan situasi pendemik covid-19, maka situasi darurat yang relavan adalah noodtoestand, karena keadaan daruratnya berasal dari alam. Namun tentunya bukan menjadi alasan untuk melakukan tindak pidana ketika pendemik datang, jika pendemik itu tidak membahayakan dirinya. Kembali ke contoh kapal yang terbakar di tengah luatan, jika ternyata alat pelampung cukup, maka tentu tidak perlu terjadi rebutan pelampung, sehingga tidak perlu ada yang mati. Baru bisa dikatakan keadaan darurat, ketika terjadinya pandemik covid-19 , terjadi kelaparan yang akut, karena alasan lapar untuk menyelamatkan dirinya dan keluarganya lalu mengambil bahan makanan milik orang lain, situasi ini bisa memenuhi unsur noodtoestand seperti yang digambarkan J.E. Jonkers. Namun harus diperhatikan bahwa wabah covid-19 tidak serta merta menjadi alasan untuk menghapus semua perbuatan pidana, anasir kesalahan (culvabilitas) tetap harus dipertimbangkan, sehingga orang yang melakukan delik dimasa pandemik covid-19 berdasarkan teori J.E Jonkers, mempertimbangkan sikap batin orang yang melakukan delik tersebut, apakah sikap batin jahat atau sikap batin untuk menyelamatkan dirinya dari situasi kedaruratan. Yang hanya bisa dihapuskan penuntutannya jika sikap batin pembuat adalah untuk menyelamatkan dirinya dari situasi ini bukan karena sikap batin jahat untuk menimbun barang-barang atau mengambil keuntungan.
Sementara itu E. Utrecht memberikan tafsir tentang noodtoestand yang hampir sama dengan J.E. Jonkers, namun dilengkapi dengan contoh putusan pengadilan. Menurutnya noodtoestand adalah ketika seseorang melakukan delik namun disebabkan adanya paksaan dari luar dirinya. Pembuat dipaksa oleh keadaan yang buruk untuk memilih melakukan delik daripada dirinya tergilas atau mengalami kerugian besar oleh keadaan (paksaan) dari luar tersebut. Oleh karena itu, noodtoestand ini menjadi alasan untuk menghapus perbuatan melawan hukum tersebut yang kemudian menghapus pertanggungjawaban pidananya. Contoh yang dikemukakannya adalah seseorang yang dikejar oleh anjing gila, karena ingin menyelamatkan dirinya dia melompat pagar, sehingga memasuki pekarangan orang lain dan menginjak tanaman yang ada di pekarangan tersebut sehingga rusak. Perbuatannya melompat pagar, memasuki pekarangan dan menginjak tanaman hingga rusak adalah delik. Namun karena untuk menyelamatkan dirinya dari kejaran anjing gila, maka delik tersebut dihapuskan sehingga tidak bisa diminta pertanggungjawaban pidana. Contoh lain yang dikemukan oleh E. Utrecht adalah yang mengutip putusan HR. 15 Oktober 1923. Seorang pemilik took dihadapkan pada dua pilihan, membuka tokonya dari jam malam yang ditentukan untuk izin membuka toko, atau melayani seorang bapak tua yang membutuhkan kaca mata, karena kaca matanya hilang, dan saat itu dia datang ke toko itu sudah melampaui batas buka toko. Demi menyelamatkan si bapak tua, itu akhirnya dia melayani bapak tua itu, karena tanpa kaca mata si bapak tua itu, akan kesulitan pulang ke rumahnya karena matanya sudah rabun. Kasus ini dibawa ke pengadilan, dengan tuduhan melanggar ketentuan membuka toko di malam hari. Namun Mahkamah Agung membebaskan pemilik toko karena dia menyelamatkan si bapak tua, sementara pelanggaran membuka toko di malam hari tidak sebesar dari upayanya menyelamatkan orang lain yang membutuhkan pertolongan.
Meskipun demikian E.Utrect memberikan batasan nooedtoestand ini agar tidak melampaui batas. Namun batasan yang dikemukannya tidak terlalu kongkrit, yaitu dengan memberikan pembatasan agar pembuat tidak melakukan perbuatan yang seharusnya dilakukan ketika keadaan darurat itu terjadi. Ukuran kedua yang dibuatnya adalah apakah perbuatan tersebut dapat diterima oleh masyarakat atau tidak. Dia mencontohkan ketika terjadi kebakaran di dalam gedung bioskop, pihak pengelola gedung bioskop menyedikan cukup banyak pintu darurat untuk melarikan diri, namun ada sejumlah orang yang merusak dinding untuk keluar dari gedung tersebut. Perbuatan ini dia nilai telah melampaui batas dari yang seharusnya.
Dalam tulisan ini saya juga mengutip pendapat dari Wirjono Prodjodikoro. Menurutnya noodtoestand adalah keadaan gawat, dimana seseorang harus memilih antara dua kepentingan yaitu kepentingan yang salah untuk dikorbankan atau kepentingan lain untuk menyelamatkan dirinya. Ukurannya adalah nilai dari kepentingan yang dikorbankan dan nilai dari kepentingan yang diselamatkan. Secara sederhana fikiran Wirjono saya gambarkan sebagai berikut:
Jika x adalah kepentingan yang dikorbankan dan y adalah kepentingan yang diselamatkan dan p adalah pidana, maka dapat digambarkan sebagai berikut :
Jika x > y tidak ada keadaan memaksa maka tidak ada p
Jika x </= y ada keadaaan memaksa, maka tetap ada p
Uraian Wirjono ini bisa gambarkan dengan kasus yang terjadi di Medan saat wabah pendemik covid-19. Seorang pemulung memasuki rumah seseorang sebut saja Mr. X. Rumah tersebut dalam keadaan kosong. Si Pemulung tadi masuk ke rumah tersebut lalu mengambil beberapa potong makanan dan sebuah kompor. Perbuatan pemulung diketahui warga dan akhirnya dibawa ke kantor polisi. Polisi melakukan introgasi, mengecek lokasi tempat tinggal pemulung dan akhirnya membebaskan sang pemulung tersebut dan malah memberikan beberapa paket sembako. Meskipun polisi tidak membaca fikiran Wirjono, tetapi dia memahami perbuatan sang pemulung untuk menyelamatkan dirinya, karena selama beberapa hari si pemulung tidak mendapatkan lagi barang-barang bekas, dan meskpiun menemukan barang bekas, dalam situasi saat ini sulit menjualnya. Artinya langkah yang ditempuh sang polisi tadi adalah ingin menyelematkan kepentingan yang lebih besar, daripada perbuatan yang dikorbankannya yaitu “memasuki rumah orang lain tanpa izin” dan “mengambil barang orang lain tanpa hak”
Hukum Pidana Formil dalam Pandemi Covid 19
Dalam pandemi covid-19 ini ada beberapa terminilogi yang dapat mempengaruhi proses penegakan hukum pidana formil yaitu ODP (Orang Dalam Pemantauan), PDP (Pasien Dalam Pemantauan) , pasien positif, isolasi, karantina, lockdown, social distancing (physyical distancing), PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Terminologi ini mempengaruhi proses hukum acara pidana, karena ada keadaan tertentu yang menyebabkan seseorang diduga melakukan tindak pidana, namun ternyata orang tersebut adalah PDP, atau ODP atau positif korona, sehingga ada protokol kesehatan yang harus diintegrasikan dalam menangani orang yang disangka melakukan tindak pidana tersebut.
Sumber hukum pidana formil kita yang utama adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP menggunakan pendekatan integrated criminal justice system, artinya mengintegrasikan beberapa model hukum acara dari berbagai negara. Oleh karena Indonesia menganut integrated criminal justice system, maka masing-masing sub sistem harus saling terintegrasi yaitu sub sistem kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Sayangnya, KUHAP kita tidak mempersiapkan diri dengan baik ketika terjadi keadaan darurat, akibatnya ketika terjadi keadaan darurat (covid-19) masing-masing sub sistem bekerja sendiri-sendiri dan tidak terintegrasi satu sama lain. Berikut ini ditampilkan beberapa kebijakan dari masing-masing sub-sistem ketika wabah pendemik covid-19 masuk ke wilayah Indonesia secara masif.
Kepolisian RI
Tidak tanggung-tanggung kepolisian Republik Indonesia menerbitkan 5 telegram di masa pendemi covid-19 yaitu::
- Nomor ST/1098/IV/HUK.7.1/ 2020, tentang penanganan kejahatan yang potensial terjadi selama PSBB.
- Nomor ST/1099/IV/HUK.7.1./2020, tentang penanganan kejahatan dalam ketersediaan bahan pokok.
- Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 tentang penanganan kejahatan terkait situasi dan opini di ruang siber.
- Nomor ST/1101/IV/HUK.7.1./2020 tentang penanganan kejahatan yang potensial terjadi dalam masa penerapan PSBB.
- Nomor ST/1102/IV/HUK.7.1./2020 tentang penanganan penumpang yang baru tiba atau TKI dari negara endemis atau negara terjangkit covid-
Dari lima telegram itu, yang perlu digarisbawahi yang memiliki kaitan dengan tulisan ini adalah Telegram Kapolri Nomor ST/1098/IV/HUK.7.1/ 2020, tentang Penanganan Kejahatan yang Potensial Terjadi Selama PSBB, mengatur mengenai empat kemungkinan bentuk pelanggaran/kejahatan selama PSBB yaitu (1) Kejahatan pada saat arus mudik (2) Kejahatan jalanan atau kerusuhanpenjarahan (3)Perlawanan pada petugas (4) Menolak perintah petugas. Harusnya telegram ini juga memuat protokol penanganan tersangka, penempatan tersangka, pemeriksaan kondisi kesehatan tersangka serta penahanan (jika diperlukan) dan penempatan tersangka dengan mengintegrasikan dengan protokol penanganan covid-19.
Jadi kelima telegram ini sifatnya masih mengacu penanganan orang yang disangka melakukan tindak pidana dengan prosedur biasa, bukan proses kedaruratan, akibatnya terjadi kebingunan dalam proses penegakan hukum ketika menemukan ada indikasi terduga/tersangka adalah ODP, PDP atau positif korona.
Kejaksaan
Kejaksaan RI di masa covid-19 telah menerbitkan Surat Edaran Jaksa Agung RI yaitu :
- SEJA Nomor 02 Tahun 2020 tentang Penyesuaian Sistem Kerja Pegawai Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran Coronavirus Disease (Covid 19) di Lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia
- SEJA 6/2020 Protokol Pelayanan Publik di Lingkungan Kejaksaan RI selama PSBB
Dari dua produk hukum ini, tidak mengatur secara spesifik mengenai koordinasi dengan kepolisian. Sehingga menurut saya diperlukan produk hukum lain berupa perjanjian kerjasama dengan Kepolisian RI terkait dengan pelimpahan tahanan dari kepolisian dan kejaksaan dengan memasukkan klausula protokol COVID-19
Kementerian Hukum dan HAM
Menteri Hukum dan HAM telah menerbitkan beberapa peraturan menteri terkait dengan respon terhadap covid-19, yaitu:
- Peraturan Menteri Hukum dan HAM : Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulanagan Penyebaran Covid-19 dan
- Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.
- Peraturan Dirjen Pemasyarakatan tentang larangan narapidana/tahanan baru masuk.
Mahkamah Agung
Mahkamah Agung menerbitkan SEMA No. 1/2020 salah satu butir mengatur : Pengadilan Negeri tidak dibolehkan melakukan perpanjangan penahanan. Setelah SEMA ini, lalu ditindak lanjuti dengan terbitnya Surat Dirjen Badilum ditujukan kepada Ketua PT/PN yang pelaksanaannya dikoordinasikans dengan kejaksaan dan Lembaga pemasyarakatan tentang sidang teleconference.
Meskipun telah ada SEMA 1/2020, namun masih ada persoalan terkait dengan tafsir Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan, selanjutnya pasal 186 KUHAP menyebutkan keterangan Ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Agar tidak ada masalah di kemudian hari, maka perlu ada tafsir MA terkait dengan “sidang pengadilan”. Dalam Pasal 58 (3)UU 11/2012 ttg SPPA, menyebutkan pemeriksaan anak (saksi/korban) boleh dilakukan menggunakan sarana elektronik.
Perjanjian Kerjasama
Satu terobosan produk hukum yang dilahirkan tentang pelaksanaan sidang dengan menggunakan fasilitas teleconference. Produk hukum tersebut adalah perjanjian kerjasama antara Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan Kementerian Hukum dan HAM. Perjanjian kerjasama dimaksudkan untuk melaksanakan protokol kesehatan covid-19 yaitu mencegah terjadinya physical distancing. Sayangnya perjanjian kerjasama ini tidak melibakan kepolisian RI. Harusnya perjanjian juga diperluas yang dikaitkan dengan pelimpahan perkara, pemeriksaan tersangka, pemeriksaan saksi dan lain-lain.
Peraturan-peraturan yang disebutkan di atas menunjukkan tidak terkoordinasinya dan tidak terintegrasinya sistem peradilan pidana ketika menghadapi situasi darurat pendemik covid-19, aturan yang dibuat berdasarkan kebijakan masing-masing institusi sub-sistem dan tidak melibatkan sub-sistem yang lain.
Penutup
Hukum pidana materii telah memasukkan keadaan darurat ketika terjadi peristiwa pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP. Namun keadaan darurat ini tidak diatur dalam hukum pidana formil, sehingga ketika terjadi keadaan darurat (seperti covid-19), tidak ada norma hukum (undang-undang) yang bisa dijadikan rujukan. Oleh karena itu, terkait dengan keadaan darurat ini, maka ada dua rekomendasi yang disampaikan yaitu rekomendasi yang sifatnya jangka pendek dan cepat. Kedua, rekomendasi jangka panjang. Dalam jangka pendek beberapa produk hukum yang seharusnya dilahirkan adalah :
- Peraturan Kapolri Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana Selama Dalam Keadaan Darurat
- Peraturan Jaksa Agung Tentang Penanganan Perkara di Lingkungan Kejaksaan Selama Keadaan Darurat
- Perma Tentang Persidangan Selama Keadaan Darurat
- Peraturan Bersama Mahkamah Agung, Kejaksaan, Polri Dan Kementerian Hukum Dan Ham Tentang Sistem Peradilan Pidana Dalam Keadaan Darurat
Sementara rekomendasi jangka panjang, terkait dengan perbaikan regulasi hukum pidana formil adalah memasukkan protokol kedaruratan atau dalam keadaan darurat, sehingga hukum pidana formil bisa dipergunakan ketika terjadi keadaan darurat dan bersamaan dengan terjadinya peristiwa pidana. Keadaan darurat ini bisa dimusukkan dalam PERPU atau RUU-KUHAP. (***)
Published at :