People Innovation Excellence

RELIGIUSITAS KESOLITERAN DAN COVID-19

Oleh SHIDARTA (April 2020)

Puisi K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus) tentang talbiyah dalam kesendirian baru-baru ini beredar luas di media sosial. Bagian pertama dari puisi itu berbunyi sebagai berikut:

“Tuhan; Engkau sepikan tempat-tempat kesibukan kami; Engkau sunyikan tempat kami membanggakan jumlah kelompok kami​​​​​​​; Bahkan Engkau senyapkan rumah-rumahMu yang selama ini kami ramaikan hanya untuk memuja diri-diri kami;​​​​​​​ MengingatMu pun demi kepentingan kami sendiri.”

Tulisan ini tidak ditulis dalam konteks ingin menggali lebih dalam makna bait-bait puisi di atas. Saya sadar bahwa puisi tidak selayaknya dibaca seperti prosa. Hanya saja, penggalan puisi itu telah mengingatkan saya pada karya klasik Alfred North Whitehead (Religion in the Making). Edisi bahasa Indonesia dari buku ini telah diterjemahkan oleh Prof. Alois Agus Nugroho dengan diberi judul yang cukup panjang “Mencari Tuhan Sepanjang Zaman dari Agama Kesukuan hingga Agama Universal” (Mizan, 2009). Ada cuplikan kalimat Whitehead yang menarik untuk dikutip dari bukunya. Ia berkata:

“Thus religion is solitariness; and if you are never solitary, you are never religious. Collective enthusiasms, revivals, institutions, churches, rituals, bibles, codes of behaviour, are the trappings of religion, its passing forms. They may be useful, or harmful; they may be authoritatively ordained, or merely temporary expedients. But the end of religion is beyond all this.”

Whitehead mengatakan, terdapat empat faktor dari agama, yakni RITUAL, EMOTIONAL, BELIEF, dan RATIONALIZATION. Ritual dan emosi itu berdekatan. Ritual adalah perilaku berulang mengikuti cara-cara tertentu yang teratur. Lafaz talbiyah yang dilantunkan jemaah haji dan umroh adalah contoh ritual juga. Tujuan dari ritual ini adalah untuk membangkitkan emosi. Dengan perkataan lain, emosi adalah gejala ikutan dari ritual.

Whitehead mencermati bahwa pada fase beragama yang masih “primitif”, orang memposisikan agama sebagai gejala sosial. Aktivitas beragama cenderung dimassalkan. Tujuannya agar tercapai ritual kolektif sekaligus emosi kolektif. Kita meyaksikan fenomena demikian terjadi di mana-mana, tidak hanya monopoli di Indonesia. Ada begitu banyak pemuka agama yang senang melakukan apa yang disindir oleh Gus Mus dan disinyalir oleh Whitehead. Para pemuka agama tersebut mungkin berpandangan bahwa inilah cara paling murah-meriah untuk mempersatukan umat atau jemaat. Orang-orang cukup digiring ke dalam keramaian dan mengamini setiap lafaz yang dikumandangkan melalui pengeras suara. Gerakan massa adalah posisi tawar yang kuat, bahkan terhadap Pemerintah, sebab emosi publik amat mudah tersulut dalam kebisingan massal. Dan, Pemerintah tidak berani mengambil risiko kehilangan simpati. Untuk menyenangkan massa, di mana perlu, akses jalanan umum pun [diizinkan] untuk ditutup demi menampung kerumunan. Gus Mus menyindir perilaku demikian sebagai tindakan semu karena yang dituju sebenarnya adalah pemujaan berlebihan terhadap diri sendiri. Whitehead menyebut gejala berkerumun seperti ini sebagai kemunduran dalam beragama (religion in its decay sinks back into sociability).

Diskursus tentang hal ini sudah lama dijustifikasi oleh psikologi. Dalam domain psikologi, terdapat istilah psikologi kerumunan (crowd psychology atau mob psychology), yang mengungkapkan suatu tesis bahwa individu manusia akan mengalami kemunduran independensi, kecerdasan, dan kemampuannya untuk bertanggung jawab atas perilakunya sendiri, ketika ia berada di tengah kerumunan. Seorang manusia yang dikenal sangat sopan, rasional, dan terdidik, dapat saja tiba-tiba menjadi kasar, irasional, dan brutal ketika ia hadir di tengah massa yang sudah tergiring dalam kondisi yang sama.

Dalam buku tersebut, Whitehead mengingatkan bahwa emosi dalam menjalankan ritual secara kolektif pada gilirannya tidak bakal cukup membuat orang-orang merasa puas. Mereka menuntut adanya keyakinan (belief) terhadap apa yang sudah dilakukan dan dialami. Alois Agus Nugroho menerjemahkan kata “belief” ini dengan kesaksian iman. Namun, dalam bukunya, Whitehead justru berkali-kali menggunakan kata “mitos” (myth) untuk menjelaskan apa yang ia maksudkan dengan “belief” tersebut.

Mitos ini ditandai dengan pemujaan terhadap orang atau benda tertentu. Dalam setiap agama, selalu ada orang, benda, atau tempat yang diistimewakan, bahkan disakralkan. Setiap kali ada kesulitan menjalani kehidupan, orang atau benda itulah yang dijadikan tempat bersandar. Saat pandemi covid-19 terjadi, kita juga dengan mudah menemukan mitos-mitos itu beredar. Virus, misalnya, suatu ketika diklaim sebagai “balatentara Tuhan”. Logikanya tentu virus seperti itu bakal menjauh dari orang-orang yang “dekat” dengan Tuhan. Fakta-fakta yang menunjukkan, bahwa ada sekian orang terpapar covid-19 selepas menghadiri misa di gereja atau mengikuti tabligh akbar, terkadang tidak cukup mematahkan mitos yang terlanjur beredar itu.

Whitehead menyebut model beragama yang memelihara mitos secara tidak kritis itu berpotensi memandegkan agama. Tahap evolusi agama, kata Whitehead, menjadi terhenti pada masyarakat yang setengah beradab (the masses of semi-civilized humanity). Whitehead mungkin tidak membayangkan bahwa apa yang ia sinyalir satu abad lalu, ternyata menguat seiring merebaknya teknologi komunikasi dan informasi. Tatkala seorang tokoh agama berbicara tentang virus covid-19 sebagai “balatentara Tuhan” maka pendapat ini langsung tersebar beranak pinak ke segala penjuru negeri, sehingga pembentukan “semi-civilized humanity” itu mengalami percepatan berkali-kali lipat. Teknologi komunikasi dan informasi juga telah memfilter informasi yang masuk (filter bubble algorithm), sehingga orang-orang pada masa sekarang cenderung hanya mengkonsumsi informasi yang memang disukai dan/atau telah disetujui.

Beruntung, selalu ada sekelompok kecil penganut agama yang tersisa untuk berani berpikir kritis. Mereka berusaha keluar dari jeratan mitos demikian. Mereka tidak berarti melepaskan diri dari mitos, tetapi membangun mitos baru secara lebih rasional. Ungkap Whitehead:

“Religion, in this stage of belief, marks a new formative agent in the ascent of man. For just as ritual encouraged emotion beyond the mere response to practical necessities, so religion in this further stage begets thoughts divorced from the mere battling with the pressure of circumstances. Imagination secured in it a machinery for its development; thought has been thereby led beyond the immediate objects insight. Its concepts may in these early stages be crude and horrible; but they have the supreme virtue of being concepts of objects beyond immediate sense and perception”

Pada tahap inilah rasionalitas menjadi kunci. Agama akhirnya masuk pada tahap akhir yang hanya mampu dicapai oleh sedikit orang. Tahap ini mengintroduksi pada kesoliteran (kesendirian). Agama rasional adalah agama yang, baik keyakinan (belief; kesaksian iman) maupun ritualnya telah direorganisasi sehingga agama itu menjadi unsur penting dalam penataan kehidupan. Agama koheren dengan kejernihan akal budi. Agama seperti ini akan punya kemampuan mengarahkan perilaku penganutnya kepada tindakan-tindakan yang dapat dibenarkan secara etis. Di sinilah terdapat perbedaan agama rasional dengan agama “sosial” yang mendahuluinya, yang lebih mendasarkan diri pada ritual dan keyakinan mistis.

Pencapaian seseorang ke tahap beragama secara rasional, sekali lagi, membutuhkan keberanian melakukan kritik-kritik individual terhadap model beragama yang seremonial, mitis, dan sosial. Hal ini hanya mungkin dilakukan apabila seseorang mampu mengambil jarak (distansi) dari keterpenjaraan akibat kekuatan-kekuatan struktural di sekitarnya, dari pola-pola kebiasaan berpikir, bersikap, dan bertindak yang sudah terbentuk secara sosial. Dengan keberjarakan ini, seseorang akan tiba pada kebangkitan kesadaran terhadap kemanusiaan (the ascent of man), bukan lagi manusia dalam lingkup yang sempit (sesuku, seras, seakidah, senegara), melainkan manusia universal.

Dalam sejarah kemunculan para nabi, rasul, penemu teori-teori besar, atau filsuf terkemuka, biasanya terselipkan juga kisah tentang satu momentum (‘aha’ moment; eureka) saat mereka di dalam kesendirian. Biasanya momentum ini terjadi tatkala mereka sedang bertahanud dengan mengasingkan diri dari kerumunan. Mereka menjaga distansi dari keramaian (uzlah) dan membiarkan pikirannya berdialog di dalam kesendirian (khalwat). Bisa saja kita menyebut momentum demikian sebagai pencerahan. Sekadar contoh, Nabi Muhammad SAW mendapatkan wahyu pertama saat beliau sedang menyendiri di gua Hira (13 tahun sebelum Hijriah). Siddhartha Gautama mendapatkannya saat ia bersemedi di bawah pohon Bodhi di hutan Bodh Gaya (400 tahun sebelum Masehi). Fisikawan terkemuka Isaac Newton mengklaim menemukan ide awal atas teori gravitasi universalnya saat ia duduk menyendiri di keteduhan pohon apel di kebun rumahnya yang sepi di Woolsthorpe Manor (Lincolnshire) pada tahun 1666. Bahkan, proklamator bangsa kita Soekarno konon mendapatkan gagasan tentang falsafah Pancasila saat diasingkan di Ende (Flores) pada kurun waktu tahun 1934-1939.

Pandemi covid-19 mungkin saja mampu membentuk keberjarakan sosial tadi, yang secara fisik membuat orang terlihat soliter. Namun, kesoliteran itu tidak bakal cukup membuat orang melafazkan talbiyah dalam kesendirian. Kerumunan terus terjadi, mungkin tidak dalam wujud kasatmata, tetapi dalam wujud digital. Artinya, tidak ada jaminan selepas pandemi ini, kualitas beragama kita menjadi lebih rasional. Sebagaimana dikutip oleh Whitehead dari penggalan kitab suci, “Sebab banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih!” (***)


 

 

 

 

 

 

 


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close