PRAPERADILAN PAJAK DALAM PRAKTIK
Oleh AHMAD SOFIAN (April 2020)
Dalam sebuah putusan Praperadilan No. 19/Pid.Pra/2018/PN Dps antara PT Hardys Retailindo (PT HR) melawan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kantor Wilayah Bali. Pada akhir 2015, usaha PT HR dalam kondisi kurang sehat dengan berbagai faktor penyebab di antaranya persaingan retail nasional yang berimbas pada usaha retail yang dikembangkan oleh PT HR di Bali, akibatnya terjadi kesulitan cash flow, sehingga perusahaan mengambil keputusan untuk menggunakan dana pajak untuk memenuhi biaya operasional. Pada tahun 2016 PT HAR terkendala melakukan pembayaran kewajiban perpajakan, sehingga mendapat surat dari Pelayanan Pajak (KPP). Surat tertulis dibalas dengan menyerahkan beberapa asset PT HR kepada DJP Pajak berupa sertifikat (SHM). Kemudian 25 September 2017, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya menyatakan PT HR dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Lalu pada tanggal 9 November 2017 PT HR dinyatakan pailit, sehingga PT HR kehilangan haknya untuk mengurus harta kekayaannya. Pada tanggal 19 Desember 2017 DJP Pajak Bali mengeluarkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan yang ditujukan pada direktur PT HR dengan status sebagai tersangka.
Tulisan ini mengulas satu aspek yang menjadi perdebatan antara pemohon (PT HR) dengan termohon (DJP). Pemohon mendalilkan bahwa PT HR sudah dinyatakan pailit pada sebelum ditetapkan sebagai tersangka, sehingga penetapan tersangka harus dibatalkan, karena konsekuensi kepailitan tersebut mengakibatkan PT HR kehilangan haknya untuk mengurus kekayaannya dan segala tagihan berupa hak dan kewajiban beralih kepada kurator termasuk tagihan atas pajak yang dibebankan kepada PT HR.
Sementara termohon mendalilkan bahwa peristiwa pidana (tindak pidana) terjadi sebelum pemohon dinyatakan pailit sehingga tidak bisa menghilangkan begitu saja hak pemohon untuk menetapkan PT HR sebagai tersangka. PT HR diduga melakukan tindak pidana pidana berupa: (a) dengan sengaja tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Badan tahun 2016 (b) dengan sengaja menyampakan SPT dan PPh Tahun Pajak 2014 dan 2015 yang isinya tidak benar (c) dengan sengaja menyampaikan SPT Masa PPN Masa pajak 2014, 2015, 2016 yang isinya tidak benar (d) dengan sengaja tidak menyetorkan PPN yang telah dipotong atau dipungut dari Pembeli pada masa pajak Juli 2015 dan masa pajak Oktober-Desember 2016. Akibat dari perbuatan PT HR mengakibatkan kerugian pada pendapatan negara sekurang-kurangnya Rp. 42 Milyar. Perbuatan PT HR telah memenuhi unsur Pasal 39 ayat (1) huruf c dan atau Pasal 39 ayat 91) huruf d dan atau Pasal 39 ayat (1) huruf I UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2009 (UU KUP). DJP juga telah menyatakan proses pemeriksaan bukti permulaan sudah dilakukan jauh sebelum PT HR dinyatakan pailit.
Hakim mempertimbangkan perdebatan ini dan mengambil keputusan menyatakan bahwa penetapan tersangka Direktur PT HR tidak sah karena sebelum ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 15 Desember 2017, PT HR pada tanggal 25 September 2017 dan tanggal 9 November 2017 sudah dinyatakan PKPU dan Pailit oleh Pengadilan Niaga Surabaya. Dalam pertimbangannya hakim juga mengutip Pasal 32 ayat 1 huruf b Undang-Undang KUP dijelaskan bahwa dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal Badan yang dinytakan pailit oleh kurator. Hakim juga dalam pertimbangan mengutip pendapat ahli yang dihadirkan dalam sidang yaitu Dr. H. Hadi Shubhan, S.H., M.H.,C.N. yang menyatakan bahwa dalam hal terjadi kepailitan bagi badan/perusahaan atau orang maka hak dan kewajiban atas asetnya adalah diurus/diwenangi oleh kurator yang ditunjuk dan ditetapkan oleh Putusan Pengadilan Niaga. Kurator adalah pihak yang akan mengurusi dan menyelesaikan hak dan kewajiban perusahaan/orang dalam pailit tersebut.
Namun, hakim tidak mempertimbangkan lebih dalam substansi Pasal 32 ayat (1) huruf b UU KUP karena pasal ini berbicara tentang hak dan kewajiban perpajakan yang sudah masuk pada pokok perkara bukan merupakan wewenang praperadilan. Hakim praperadilan tidak dibernarkan menyentuh aspek pokok perkara. Hal ini juga sudah dinyatakan oleh ahli yang dihadirkan oleh DJP yaitu Dr. Junaedi, S.H., M.Si, LL.M yang menyatakan bahwa alasan pengajuan terkait dengan penetapan tersangka yaitu berhubungan dengan pemeriksaan dua alat bukti ditambah dengan pemeriksaan yang bersangkutan sebelum ditetapkan sebagai tersangka dalam bingkai penyidikan. Sementara itu pertanggungjawaban pidana adalah masalah materiil yang merupakan kewenangan hakim yang memeriksa pokok perkara. Demikian juga pendapat ahli yang dihadirkan PT H.R. yaitu Prof. Dr. Mudzakir, S.H.,M.H menyatakan bahwa dalam teori dan asas hukum pidana, ada alasan yang menghapus sifat melawan hukum perbuatan dalam hal yaitu jika terjadi PT dinyatakan pailit. Alasan penghapus pidana baru bisa dibuktikan ketika perkara tersebut diperiksa di pengadilan bukan dalam proses praperadilan. Artinya pokok perkara diperiksa lebih dahulu oleh majelis hakim, selanjutnya apakah majelis hakim akan menggunakan pailit pada korporasi sebagai alasan penghapus pidana maka sangat tergantung norma yang mengaturnya atau asas hukum yang diyakini hakim.
Dari argumentasi di atas jelas bahwa pertimbangan hakim tentang penetapan tersangka menjadi batal karena perusahaan sudah dinyatakan pailit adalah pertimbangan yang keliru. Dugaaan tindak pidana yang dilakukan PT HR adalah tindak pidana perpajakan, yang merugikan pendapatan negara yang terjadi dalam kurun waktu tahun 2014, 2015, 2016. Dugaan tindak pidana ini harus dibuktikan lebih dahulu, bukan malah membatalkan penetapan tersangka. KUHAP maupun KUP tidak menyatakan bahwa pailit menjadi alasan untuk membatalkan penetapan tersangka. Demikian juga Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4/2016 tidak menyebutkan bahwa pailit dapat menjadi alasan gugurnya penetapan tersangka. Dalam Pasal 2 ayat (2) Perma Nomor 4/2016 disebutkan bawah pemeriksaan praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil yaitu apakah ada paling sedikit dua alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara. Dalam ayat (4) ditegaskan karena pemeriksaan praperadilan tergolong singkat dan pembuktiaannya yang yang memeriksa aspek formil.
Hakim memberikan tafsir yang terlalu luas, bahkan cenderung menemukan norma hukum baru yang bertentangan dengan norma hukum pidana formil. Hakim juga telah melanggar ajaran kepastian hukum, karena KUHAP, KUP, Perma 4/2016 telah memberikan limitasi yang tegas tentang objek dan alasan-alasan praperadilan. Jika putusan ini menjadi diikuti oleh hakim lain, maka akan menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum pidana pajak di Indonesia. Korporasi akan menggunakan prosedur atau makanisme pailit ketika ada indikasi mereka melakukan tindak pidana perpajakan. Padahal jika mengacu pada Perma Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak oleh Korporasi, jelas dinyatakan bubar atau pailitnya korporasi tidak menghilangkan pertanggungjawaban pidana korporasi.
Sebagai kesimpulan akhir tulisan ini adalah alam menjalankan proses acara pemeriksaan perkara praperadilan seharusnya semua norma hukum yang menjadi sumber praperadilan dipergunakan secara menyeluruh dan tidak parsial karena ditemukan situasi yang diperdebatkan dalam ruang pengadilan terkait dengan terminologi yang digunakan dalam UU KUP yang tidak dikenal dalam KUHAP maupun Perma 4/2016. Disarankan adanya Perma yang memperkuat tentang panduan praperadilan dalam tindak pidana perpajakan khususnya terkait dengan beberapa tafsir yang sering diperdebatkan dalam sidang praperadilan sehingga antara hakim yang satu dengan hakim yang lain tidak terjadi perbedaan yang substansi dalam memeriksa dan memutus perkara tindak pidana perpajakan. (***)
Published at :