MELINDUNGI PEMEGANG SAHAM MINORITAS DENGAN SHAREHOLDERS AGREEMENT (SHA)
Oleh Agus Riyanto (Maret 2020)
Perseroan Terbatas (PT) dalam relasi internalnya, Direksi, Komisaris dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dihadapkan kepada adanya pertentangan (tension), terutama- nya antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas. Kebertentangan bermula dari keberbedaan besaran kepemilikan saham di antara kedua pemegang saham yang asimetris. Pemegang saham mayoritas dengan kepemilikan lebih dari setengahnya saham (50 %) dapat mengendalikan, berbeda hal dengan pemegang saham minoritas yang hanya memiliki kurang setengah saham (50 %), sehingga tidak mungkin mengendalikan perusahaan. Kondisi asimetris ini, pemegang saham mayoritas dapat menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki dan merugikan pemegang saham minoritas. Hal ini dapat terjadi karena: pertama, berlakunya prinsip one share one vote (satu saham satu suara) dan prinsip simple majority (pemungutan suara berdasarkan kepada suara terbanyak) dalam prosedur pengambilan keputusan RUPS. Kedua, berangkat dari disertasi Dr. Misahardi Wilamarta, SH dan Dr. Munir Fuady, SH, LLM yang berpendapat bahwa dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) belum cukup melindungi pemegang saham minoritas dan kalaupun diatur materinya ternyata substansinya terlalu umum dan tidak jelas. Ketiga, dengan berpegang kepada kedua hal itu, konsekuensinya pemegang saham mayoritas terbuka untuk dapat menindas (oppressive) pemegang saham minoritas melalui jalan kekuasaan dan kepemilikan jumlah sahamnya tersebut.
Dengan berpegang kepada realitas tersebut terbentang potret betapa tidak mudahnya bagi pemegang saham minoritas menghadapi langsung pemegang saham mayoritas di dalam memperjuangkan hak-haknya. Pemegang saham mayoritas dengan segala kekuatan dan kewenangan luas mengendalikan perusahaan akan dapat dengan mudahnya mengalahkan pemegang saham minoritas. Berbanding terbalik pemegang saham minoritas yang tidak mempunyai kekuatan yang menentukan dengan sendirinya dalam perhitungan matematis pada forum RUPS hanya menjadi pelengkap korum tetapi tidak berdaya apa-apa. Hal ini karena : Pertama, pemegang saham mayoritas memiliki kekuasaan melalui pemungutan suara dalam RUPS, berpeluang besar memberhentikan atau mengangkat Direksi atau Komisaris dan termasuk menentukan dan memaksakan kehendak kebijakan perseroan. Kedua, pemegang saham mayoritas berpengaruh besar terhadap Direksi atau Komisaris, yang secara langsung atau tidak langsung memanfaatkan kedudukan strategisnya Direksi atau Komisaris untuk dan demi kepentingannya. Dengan keadaan ini, dimungkinkan pemaksaan kehendak pemegang saham mayoritas melalui manajemen perusahaan, apabila dilakukan tanpa kendali atau batas dalam memaksakan kehendaknya berpotensi menimbulkan kerugian kepada pemegang saham, khususnya pemegang saham minoritas dan seluruh pemangku kepentingan perusahaan. Untuk dapat mengurangi dan bahkan mungkin menutup ekses negatif sudah seharusnya dibutuhkan upaya instrumen hukum yang dapat mengimbangi ketidakseimbangan kekuatan di antara pemegang saham tersebut melalui perjanjian pemegang saham ataupun yang dikenal Shareholders Agreement (SHA) dalam menata interelasi antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minorias secara wajar dan berimbang. Mengapa harus dengan cara demikian?
SHA, pada dasarnya, adalah perjanjian di antara para pemegang saham ataupun pendiri perusahaan yang dilakukan, idealnya, pada waktu pertama kalinya berdiri yang akan mengatur tentang hak dan kewajiban pemegang saham, pembagian dividen, hak suara, pengalihan saham, dan hal lainnya yang mengatur interelasi dan hubungan di antara para pemegang saham. Artinya, idealnya, hal ini dapat dilakukan atau dibuat sebelum para pendiri (existing shareholders) itu menghadap ke depan Notaris sebagai perjanjian awal yang materi muatannya dapat diatur lebih lengkap dan detail sesuai dengan kesepakatan internal bersama pemegang saham. Hal ini penting untuk dipahami, karena sepanjang pengetahuan penulis dan literatur hukum korporasi yang ada, tidak ada kewajiban membuat SHA terlebih dahulu pada waktu mendirikan PT dalam akta pendiriannya. Artinya, pembuatan SHA di Indonesia tidak merupakan suatu kewajiban dan tidak dipersyaratkan dalam pendirian PT. Hal ini berbeda di negara-negara Common Law yang telah menjadikan suatu tradisi, bahkan terbukalah sebagai keharusan apabila diatur, para pendiri atau pemegang saham sebelum itu menjadikan formalitas pembentukan PT mereka membuat terlebih dahulu SHA sebagai pengikat kerjasamanya. Hal itu dapat diketahui dari Joint Venture Agreement (JVA) yang dilakukan oleh investor asing dengan pihak Indonesia dalam pembentukan PT dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA) Notaris terlebih dahulu akan menerima JVA (sebagai bukti kesepakatan antara pihak asing dan partner Indonesia) sebagai rangka dasarnya dalam pembentukan Anggaran Dasar PT. Melalui JVA kemudian Notaris menformulasikan dalam Anggaran Dasar (AD) sesuai dengan ketentuan UUPT dan bentuk AD yang diatur ketentuan apakah yang boleh di atur dan yang dilarang sebagaimana diatu oleh ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Hukum & HAM RI. Namun, bentuk yang sudah formal dalam jumlah pasal-pasal yang diaturnya sesuai UUPT menjadikan tidak mungkin untuk mengaturnya secara rinci detail tentang hak dan kewajiban di antara para pemegang saham, termasuk tentang perlindungan pemegang saham minoritas yang pengaturannya berpegang kepada UUPT. AD jarang sekali diketemukan mengatur bagaimana pemegang saham memperjuangkan hak-haknya di forum Pengadilan Negeri (meskipun diakui bahwa hak-hak itu telah diatur dalam UUPT, tetapi material substansinya tidak cukup melindungi).
Dengan keterbatasan yang dapat diatur di dalam AD dengan JVA ruang lingkupnya dapat diperluas, khususnya ketentuan yang mengatur interelasi para pemegang saham, termasuk perlindungan terhadap pemegang saham minoritas. Konsekuensinya dalam JVA jumlah pasal-pasal yang diaturnya lebih banyak, dalam dan kompleks tergantung ruang lingkup usaha yang dijalankan, dengan ketentuan telah ditetapkan bersama dan pemegang saham sepakat dan menyetujuinya sebelum perusahaan PMA itu didirikan. Dari titik ini terdapat suatau catatan bahwa membuat SHA, yang kemudian dijadikan dasar dalam pembuatan AD, dengan menggunakan kerangka kerjasama awal dalam JVA dapat dijadikan langkah baik pendirian PT di Indonesia. Hal ini berarti bahwa JVA itu pada dasarnya adalah kelanjutan dari SHA, yang dalam bagian tertentu dari pasal-pasalnya akan digunakan dan dijadikan dasar di dalam pembentukan AD, sesuai dengan ketentuan UUPT yang telah mengaturnya tentang klausula-klausula apa sajakah yang harus diatur dan dicantumkan dalam AD di Indonesia. Hal ini berarti bahwa antara SHA dan JVA itu ada hubungannya dan saling melengkapi dan tidak saling bertentangan hal-hal yang akan diaturnya dalam AD, sebab SHA pada dasarnya adalah induk dari JVA. Artinya, JVA itu tindak lanjut dari hal-hal yang telah disepakati bersama di antara para pemegang saham untuk menjalankan operasional usaha demi dan kemajuan bisnis atau usaha yang telah disepakatinya.
Melalui kejelasan kedudukanya itu, maka terbuka klausula melindungi pemegang saham minoritas itu diatur dalam SHA. Hal ini, karena hal-hal apa yang akan diaturnya tidak terikat kaku sebagaimana ketentuan UUPT selama ada kesepakatan di antara pemegang saham yang menjadi dasarnya. Dalam hal ini yang dapat menjadi pertimbangan diatur dalam SHA adalah ketentuan tentang perhitungan suara dalam RUPS. Dalam SHA dapat diatur syarat penghitungan suara RUPS yang lebih berat dibandingkan dengan yang diatur dalam AD. Hal itu misalnya diatur tentang syarat penggantian Presiden Direktur atau penggantian Presiden Komisaris harus dilakukan RUPS dan harus dihadiri 2/3 jumlah saham yang ada dan telah disetujui 2/3 dari jumlah saham yang hadir tersebut. Dapat juga diatur ketentuan tentang pengangkatan dan pemberhentian Presiden Direktur dan Presiden Komisaris harus dengan persetujuan dari seluruh pemegang saham minoritas. Dengan ketentuan ini, pemegang saham mayoritas tidak dapat menggunakan majority rule dengan sekehendak hatinya mengangkat dan memberhentikan Direksi atau Komisaris tanpa kejelasan penyebabnya. Di dalam SHA juga dapat ditentukan tentang keharusan dimilikinya Direktur Independen dan Komisaris Independen yang diajukan pemegang saham indepeden, dengan pemikiran bahwa wakil-wakil tersebut yang ditunjuknya dapat memperjuangkan hak-hak pemegang saham minoritas. Yang juga dapat menjadi catatan bahwa pemegang saham minoritas harus diikut sertakan atau paling tidak ada 3/4 dari wakil pemegang saham minoritas dalam RUPS wajib diikut sertakan apabila terdapat rencana perseroan untuk mengubah AD.
Dalam SHA juga dapat diatur mekanisme apabila terjadi tindakan Direksi, Komisaris dan keputusan RUPS, serta keputusan Perseroan. Untuk itu, dalam SHA dapat diperjelas hak-hak pemegang saham minoritas untuk mengugatnya. Hak itu terdiri dari dua hal, yaitu pertama hak personal dimana pemegang saham berhak menggugat Direksi, Komisaris dan keputusan RUPS, serta keputusan Perseroan yang dikarenakan keputusan yang tidak adil dan tanpa alasan yang wajar. Hal ini menjadi penting diperjelas karena UUPT tidak memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan tidak dan tanpa alasan yang wajar itu apa ukuran sesungguhnya ? Termasuk juga berapakah kerugian yang akan dapat di derita pemegang saham minoritas itu berapakah nilainya itu ? Kedua, hak derivatif yaitu sebagai hak mengugat pemegang saham terhadap Direksi dan Komisaris yang karena kesalahan atau kelalalainnya menimbulkan kerugian kepada perseroan. Gugatan ini dilakukan tidak untuk kepentingan pemegang saham minoritas semata-mata, tetapi dilakukannya adalah demi dan untuk kepentingannya perseroan. Gugatan ini penting untuk dilakukan, karena menghindari kerugian perseoan yang lebih banyak dan karena itulah gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri, namun yang menjadi masalah adalah ketidakjelasan tentang apakah yang dimaksud kesalahan atau kelalalain itu tidak dielaborasi dalam UUPT. Berangkat dari kedua hal tersebut realitas pemegang saham minoritas menggugat menjadi tidaklah mudah untuk memperjuangkannya. Jalan terjal untuk pemegang saham minoritas meski diakui bahwa secara normatif memang ada hak-haknya pemegang saham minoritas, tetapi tidaklah mudah untuk mewujudkannya. Dengan kondisi yang demikian ini berarti dapat melemahkan kedudukan pemegang saham minoritas, sehingga memang seharusnya hal ini dapat diakomodasi dalam SHA sebagai bagian untuk mengharmonisasikan hubungan kemitraan antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas yang sejati dari awalnya memang tidak seimbang.
Melalui kesepatakatan antara para pemegang saham dapat diatur dalam SHA mekanisme awal dalam penanganan perkara gugatan dengan ketentuan bahwa sebelum kasus tersebut ke Pengadilan Negeri dilakukan negosiasi atau mencari jalan keluar secara internal melalui forum diluar RUPS. Dalam forum itu penggugat yaitu pemegang saham minoritas dan tergugat yaitu Direksi, Komisaris dan Pemegang Saham dapat dipertemukan untuk mencari tahu apa sesungguhnya yang terjadi dan mengklarifikasi masalahnya. Kerugian yang bagaimana dan berapa nilai digurikan akan diupayakan untuk mencari titik temu. Termasuk mendapatkan kejelasan apa yang dimaksud dengan kesalahan atau kelalalain itu bagaimana sesungguhnya. Intinya dalam tahapan ini akan dicarikan dan diupayakan jalan keluar dari masalah yang ada kontradiksi di antara keduanya. Berunding dan bernegosiasi adalah lebih baik dalam tahapan ini dengan harapan tidak berlanjut yang lebih jauh. Apabila setelah melalui perundingan dan tetaplah saja tidak ada kesepakatan, maka pemegang saham minoritas dapat mengajukan gugatannya dengan bukti-bukti yang kuat untuk meminta penyelesaiannya melalui Pengadilan Negeri. Dengan prosedural internal ini sebagai usaha menyelesaikan di antara organ perseroan untuk meminimalisasi permasalahan yang ada tidak melebar dan jikalau harus keluar diharapkan itu tidak terjadi dapat diselesaiakan secara baik dan adil di antara pemegang saham. Untuk itu kebutuhan untuk mengatur mekanisme penyelesaian sengketa internal antara pihak-pihak dalam PT menjadi kebutuhan untuk diaturnya dalam SHA seharusnya menjadi kebutuhan bersama dalam PT. Dengan telah diatur, SHA dapat digunakan sebagai pedoman dan acuan para pemegang saham, apabila terjadi kesalahpahaman di antara mereka menjadi solusi yang harus dambil untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka sebagai pemilik dari perseroan tersebut. Dapat dikatakanlah sebagai upaya-upaya pencegahan dan menjadi bagian untuk menekan potensi sengketa yang melebar yang dapat merugikan perseroan secara keseluruhan dan merugikan pemegang saham minoritas.
Masalah-masalah tersebut di atas dapat saja terjadi, karena dalam organisasi bisnis seperti PT perselisihan diantara pemegang saham karena perbedaan-perbedaan yang ada seperti perbedaan hak, dan memungkinkan ada pihak yang merasa dirugikan dengan hal tersebut. Untuk mengantisipasi atau menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan maka para pemegang saham dapat membuat SHA dengan keyakinan bahwa SHA ini dibuat para pemegang saham dengan disertai itikad baik dengan bertujuan untuk melindungi hak-hak dari para pemegang saham khususnya pemegang saham minoritas agar haknya terlindungi. Untuk itu dipahami SHA dianggap dapat melindungi kepentingan pemegang saham minoritas melalui ketentuan-ketentuan di dalamnya yang mengatur mengenai hak-hak tertentu yang diberikan kepada pemegang saham minoritas, namun dapat dikatakan tidaklah mencukupi untuk melindunginya, yang tidak ataupun belum diatur dalam UUPT atau dalam AD sebagai jalan keluarnya. Oleh karena itu, terdapat suatu kecenderungan membuat suatu kesepakatan bersama di antara para pemegang saham yang bertujuan untuk memberikan perlindungan yang lebih kepada pemegang saham minoritas. Namun patut menjadi keprihatinan bahwa kedudukan SHA di dalam hukum perseroan terbatas menurut hierarki peraturan adalah lebih rendah dari UUPT dan AD, sehingga SHA dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan UUPT dan AD. Untuk maksud itulah, maka ketegasan bahwa SHA dibutuhkan dan sudah waktunya diatur dalam UUPT yang akan datang atau setidak-tidaknya menjadi ketentuan yang harus dicantumkan dalam AD sebagai prasyarat pendirian PT. Hal ini penting untuk menunjukkan keseriusan dan juga kesungguhan negara dan kita bersama untuk membuktikan keinginan untuk melindungi pemegang saham minoritas lebih nyata dan jelas, serta bukanlah retorika belaka (***).
Literatur :
Misahardi Wilamarta, Hak Pemegang Saham Minoritas Dalam Rangka Good Corporate Governance, Program Pascasarjana, FH-UI, 2002.
Munir Fuady, Perlindungan Pemegang Saham Minoritas, CV Utomo, Bandung, Program Pascasarjana, UNPAR, 2005.
Published at :