KEKUATAN PEMEGANG SAHAM INDEPENDEN, BENARKAH ITU?
Oleh AGUS RIYANTO (Maret 2020)
Di Indonesia, terdapat terminologi yang seringkali digunakan tidaklah seragam, meskipun tujuannya memiliki kesamaan. Terminologi penggugat atau pemohon, termohon ataupun tergugat yang digunakan perkara tertentu, tetapi berbeda dalam penggunan objeknya. Salah satu yang menarik dielaborasi adalah terminologi “Pemegang Saham Independen” dalam Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-412 /BL /2009, Peraturan No. IX.E.1. tentang Transaksi filiasi dan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu (Peraturan No. IX.E.1). Terminologi ini sering disejajarkan ataupun dipersamakan dengan “Pemegang Saham Minoritas” yang berada dalam ranah UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Secara umum tampaknya terdapat kesamaan, tetapi sesungguhnya ada titik perbedaannya. Pemegang saham minoritas, meskipun tidak di definiskan UUPT, tetapi literatur menunjukkan kepemilikan minimal 10 % (Pasal 97 ayat (6) dan pasal 114 ayat (6)) dapat diterjemahkan sebagai batas ambang pemegang saham minoritas. Bagaimana dengan pemegang saham independen ? Siapa mereka itu sesungguhnya dan bagaimana kedudukannya dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang telah mengandung transaksi benturan kepentingan, serta
mengapa memiliki kedudukan yang menentukan. Tapi, atas dasar apa?
Dibandingkan dengan pemegang saham minoritas tidak ada defisininya, pemegang saham independen, merujuk kepada ayat 1 huruf (f) Peraturan No. IX.E.1, didefinisikan sebagai pemegang saham yang tidak mempunyai benturan kepentingan sehubungan dengan suatu transaksi tertentu dan/bukan merupakan afiliasi dari anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris atau pemegang saham
utama yang mempunyai benturan kepentingan atas transaksi tertentu. Dari ketentuan ini dapat ditarik beberapa catatan. Pertama, pemegang saham independen dikategoisasikan sebagai pemegang saham, yang aspek kepemilikan sahamnya itu, ada atau menjadi pemegang saham setelah perusahaan tertutup berubah menjadi perusahaan terbuka. Artinya, perusahaan terbuka itu telah mendapat persetujuan efektif Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam melakukan penawaran umum saham dan telah mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk menjualnya sahamnya sebagai mediumnya. Kedua, pemegang saham independen adalah yang tidak mempunyai kepentingan, sehingga tidak memiliki unsur benturan kepentingan, dalam transaksi yang dilakukan antara perusahaan dan pemegang saham dengan kepentingan ekonomis dari anggota Dewan Komisaris, Anggota Direksi, maupun Pemegang yang terdapat benturan kepentingan ekonomis
di antara mereka. Ketiga, untuk itu dalam hal terdapat transaksi mengandung benturan kepentingan, maka yang berwenang memutuskan dalam RUPS adalah pemegang pemegang saham independen atau wakil mereka yang diberi wewenang untuk itu. Hal ini mengandung arti bahwa yang memang berwenang memutuskan dapat atau tidaknya transaksi benturan kepentingan itu dilanjutkan atau tidak adalah “hanya” pemegang saham independen saja. Konsekuensinya adalah pemegang saham mayoritas yang merupakan pemegang saham yang mendirikan usaha pada awalnya tidak berhak untuk mengambil keputusannya dalam RUPS.
Dengan berpegang kepada beberapa catatan, pertanyaannya, adalah mengapa kedudukan pemegang saham independen menjadi sangat kuat di dalam RUPS. Kekuatan pemegang saham independen itu berangkat bahwa transaksi benturan kepentingan itu tidak fairness apabila keputusan diambil berdasarkan dengan suara terbanyak (simple majority) di dalam RUPS. Hal ini dapat terjadi, karena transaksi ini sesungguhnya lebih mengutamakan transaksi di antara pihak-pihak dalam perseroan itu sendiri (internal) yaitu perusahaan dengan Direksi, Komisaris atau pemegang utama itu sendiri. Dengan ini, obyektivitas dari transaksi seperti ini dengan sendirinya tidak terpenuhi, dengan mana pemegang saham utama (suara mayoritas) dalam transaksi ini jelas-jelas memiliki kepentingan terhadap transasksi tersebut. Dapat dijelaskan juga bahwa transaksi benturan kepentingan pada
dasarnya adalah tidaklah menguntungkan bagi para pemegang saham, khususnya adalah pemegang saham independen dikarenakan, dalam praktek ini, dapat memicu kerugian kepadanya. Hal ini karena hampir semua emiten di Indonesia adalah milik keluarga yang mana umumnya sebagian besar saham perusahaan itu dipegang oleh anggota keluarganya sendiri, sedangkan para pemegang saham independen hanya memegang saham sebagian kecil saja sehingga suaranya kurang kuat dibandingkan dengan pemegang saham utama, sehingga dapat terlihat dengan jelas suaranya
tidak dapat mengalahkan suara pemegang saham utama. Dalam keadaan demikian ini, sangatlah memungkinkan pemegang saham utama memanfaatkan suaranya untuk memaksakan kehendak mereka dalam melakukan sesuatu, termasuk dalam hal transaksi yang mengandung benturan kepentingan.
Berangkat dari kondisi situasional ini adalah sangat masuk nalar bahwa yang memegang kendali dan berhak memutuskan adalah pemegang saham independen. Hal ini dengan pertimbangan bahwa memang pemegang saham independenlah yang dapat memberikan keputusan dalam obyektivitas penilaian transaksi tersebut. Sangat wajar juga karena para pemegang saham itu tidak ada personalitas kepentingan terhadap transaksi itu. Termasuk di dalamnya pemegang saham
independen tidak memiliki unsur kepentingan ekonomis terhadap transaksi ini. Lain halnya dengan direktur, komisaris atau pemegang saham utama, yang dengan sendirinya mempunya benturan kepentingan ekonomis terhadap transaksi tertentu, sehingga unsur subyektivitasnya sangat tajam. Dengan konstruksi tersebut maka adalah wajar apabila dalam transkasi yang terdapat megandung benturan kepentingan yang berhak memberikan suaranya hanyalah pemegang saham independen sementara itu pemengang saham utama tidak berhak ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini disebabkan tidak fair-nya apabila transaksi yang mengandung benturan kepenting yang mengambil keputusannya juga adalah pihak pemegang saham utama sementara pemegang saham independen hanyalah diikutsertakan sebagai pelengkap saja dalam pengambilan keputusan dalam RUPS benturan kepentingan. Keberpihakan hukum kepada pemegang saham independen dalam transaksi yang mengandung unsur benturan kepentingan ini dilatarbelakangi ketidakadilan apabila yang memutuskan internal dari pihak-pihak yang mereka juga yang secara struktur kepemilikan menguasai dan memiliki kewenangan besar untuk memutuskannya dalam RUPS.
Nilai-nilai dan niat baik yang terkandung dalam UUPM No. 8 Tahun 1995 secara umum dan khususnya Peraturan No.IX.E.1 pada dasarnya merupakan suatu bentuk rangkaian peraturan yang bertujuan melindungi kepentingan pemegang saham independen. Untuk itu pemegang saham independen dapat menggunakan dan memperjuangkan hak-haknya jika terjadi transaksi benturan kepentingan dan dapat
merugikan kedudukannya. Hal ini dapat dimungkinkan terjadi, karena pengurus emiten yang mempunyai kekuasaan atau kewenangan tertentu yakni pihak direksi, komisaris, atau pemegang saham utama, hal ini disebabkan oleh pengurus perusahaan atau pihak-pihak tersebut mempunyai kekuasaan. Kekuasaan emiten tersebut terbuka dipergunakan secara tidak tepat, karena kesengajaan atau kelalaian dalam kaitannya dengan adanya benturan kepentingan, namun Peraturan No.IX.E.1 mengandung benturan kepentingan dapat mencegah dan membatasinya. Hal tersebut dengan membatasi ruang gerak dari kemungkinan pemegang saham utama akan merugikan pemegang saham independen. Untuk maksud itulah, maka pemegang saham utama tidak dapat atau tidak berhak memberikan hak suaranya dalam RUPS. Hanya kepada pemegang saham independen yang berhak dengan tujuan mengukur dan menilai apakah transaksi tersebut merugikannya atau sebaliknya. Artinya, yang dicari adalah nilai obyektivitas dari rencana transaksi benturan kepentingan tersebut. Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa transaksi itu tidak dilarang, tetapi dengan persyaratan sepanjang bahwa yang memutuskannya adalah pemegang saham independen dalam RUPS. Apabila dapat persetujuan, maka transaksi itu dapat tetap berlanjut, tetapi apabila ditolak oleh pemegang saham independen, maka transaksi tersebut tidak dapat dilanjutkan. Dalam titik inilah potret kejelasan kuatnya kedudukan pemegang saham independen menghadapi kekuatan besar kepemilikan saham utama atau mayoritas dalam Emiten yang kepemilikan saham sebagian telah menjadi milik publik. (***)
Published at :