TAFSIR KEJAHATAN KEPADA “PEJABAT” YANG SEDANG MELAKSANAKAN TUGAS (PASAL 211-214 KUHP) [Bagian 1]
Oleh: AHMAD SOFIAN (Februari 2020)
Pasal-pasal yang dibahas dalam tulisan ini berada di dalam Bab VIII buku II KUHP yang berjudul “Kejahatan terhadap Kekuasaan Umum” yang diatur dalam 207-241. Pasal-pasal di dalam bab ini tidak memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan kekuasaan umum. Namun R. Soesilo memberikan tafsir kekuasaaan umum sebagai badan kekuasaan yang dikendalikan oleh pemerintah seperti gubernur, polisi, bupati, camat atau pegawai negeri atau pegawai-pegawai lainnya diberikan tugas oleh kekuasaan yang syah menjalankan tugas. Objek utama tindak pidana pada bab ini adalah kejahatan yang ditujukan kepada kekuasaan umum, artinya bukan ditujukan kepada yang bukan mengendalikan kekuasaan umum atau bukan sedang bertugas. Sementara itu Moeljatno menggunakan istilah “pejabat” dalam rumusan pasal-pasal dalam bab ini, meskipun beliau tidak memberikan penjelasan tentang pengertian pejabat.
Secara empiris, masyarakat sering menyebutkan perbuatan yang melawan polisi yang sedang menjalankan tugasnya atau perbuatan yang melakukan penganiayaan/kekerasan kepada polisi atau pegawai pemerintah yang sedang menjalankan tugasnya. Dimasukkannya pasal ini dimaksudkan untuk melindungi pegawai/pejabat/polisi menjalankan tugasnya sesuai dengan jabatannya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Jaminan perlindungan ini tentu saja dalam konteks pelaksanaan tugas-tugas yang resmi dan sesuai dengan standard operating procedure yang telah ditetapkan oleh instansi masing-masing. Oleh karena itu, agar tidak menyalahgunakan tugas tersebut, dalam pelaksanaannya dilengkapi dengan dokumen atau sesuai dengan jabatan yang syah. Sebagai contoh, seorang polisi menilang seorang pengendara sepeda motor yang tidak mengenakan helm, namun terjadi perdebatan yang sengit antara polisi tersebut dan pengendara sepeda motor sehingga terjadi “perang mulut”. Ternyata belakangan diketahui bahwa polisi tersebut bukan berasal dari unit satlantas (satuan lalu lintas), namun berasal dari satuan sabhara. Pertanyaannya apakah polisi tersebut sedang menjalankan jabatan yang sah untuk melakukan tilang ? Demikian juga, ketika seorang penyidik yang sedang tidak bertugas (cuti) menahan seorang yang diduga melakukan tindak pidana, apakah perbuatannya sah?
Oleh karena itu, Pasal 211-214 merupakan norma yang penting untuk memastikan apakah seorang warga dituduh melawan petugas yang sedang menjalankan tugasnya atau sebenarnya dia sedang bertengkar, atau sedang melakukan perbuatan yang menimbulkan luka yang ditujukan kepada petugas yang tidak sedang menjalankan tugasnya, sehingga perbuatan tersebut sebenarnya ditujukan kepada warga biasa saja. Jika demikian, apakah masih relevan menggunakan Pasal 211-214 ? Atau dalam kasus yang pernah terjadi, sekumpulan polisi diberikan tugas untuk menjaga dan mengamankan sebuah demonstrasi, namun ternyata ada 1-2 orang polisi yang tidak menjalankan prosedur yang telah ditetapkan oleh satu kepolisian RI, sehingga menimbulkan luka berat, apakah pengunjuk rasa masih dapat digolongkan melakukan perbuatan melawan petugas yang sedang melaksanakan tugasnya?
Pasal 211-214 : Unsur dan Tafsir
Jenis delik yang diatur dalam Bab VIII ini cukup beragam dan banyak maka tulisan ini membahas pada 4 pasal saja itu Pasal 211, 212, 213 dan 214. Keempat pasal ini mengatur kejahatan yang ditujukan kepada pegawai/pejabat negara (kekuasaan) yang sedang menjalankan tugasnya. Untuk memudahkan dalam menguraikan unsur-unsur pasal ini, maka akan dikutip secara langsung isi keempat pasal tersebut sebagai berikut dan unsur-unsurnya :
Pasal 211
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang pejabat untuk melakukan perbuatan jabatan atau untuk tidak melakukan perbuatan jabatan yang sah, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Dari rumusan pasal dan dari uraian unsur-unsur pasal, jelas bahwa perbuatan yang dilarang dalam ketentuan ini ditujukan kepada seorang pejabat/pegawai yang sedang melaksanakan tugas jabatan yang syah menurut peraturan perundang-undangan. Lalu pejabat/pegawai tersebut diancam dengan kekerasan, atau bahkan dengan kekerasan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang tidak syah atau tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan tugasnya atau jabatannya. Dalam konteks delik ini, jelas bahwa ada perbuatan yang dilakukan oleh seseorang (sekelompok orang) yang ditujukan petugas/pegawai. Secara teori jenis delik ini sering disebut dengan delik propria atau delik yang ditujukan kepada orang-orang tertentu (pejabat/pegawai) yang kemudian pejabat tersebut melakukan sesuatu yang terlarang atau tidak melakukan sesuatu yang menimbulkan akibat yang terlarang/melanggar hukum. Jika delik itu bukan ditujukan kepada pejabata yang karena jabatannya, maka kekhususan delik ini menjadi hilang dan pasal ini tidak bisa digunakan.
Dilihat dari segi rumusannya, maka dapat dikatakan bahwa delik ini adalah masuk kategori delik materiil dan bukan delik formil. Delik ini menghendaki pejabat yang diancam atau dipaksa harus diikuti untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang tentunya menimbulkan akibat yang dilarang atau bertentangan dengan jabatan yang syah. Ini menunjukkan jika mengancam petugas saja atau melakukan kekerasan pada petugas saja, maka Pasal 211 tidak bisa digunakan. Hal ini disebabkan unsur normanya tidak lengkap/tidak sempurna seperti yang dikehendaki oleh Pasal 211. Oleh karena itu, supaya unsur normanya sempurna maka pejabat/pegawai tersebut harus melakukan atau tidak melakukan sesuatu seperti yang dikehendaki/diinginkan oleh pelaku. Oleh karena rumusan delik ini dirumuskan secara materiil maka ajaran kausalitas dipergunakan untuk menentukan unsur akibat yang muncul dari tindak pidana ini. Ajaran kausalitas membantu untuk menemukan perbuatan yang menimbulkan akibat yang terlarang.
Saya akan menjelaskan secara lebih rinci tentang unsur perbuatan dari rumusan Pasal 211 yaitu:
- (Memaksa dengan ancaman kekerasan atau dengan kekerasan dimaknai oleh R. Soesilo sebagai melakukan tekanan kepada seseorang, sehingga orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang dikehendakinya. Memaksa harus dilakukan dengan ancaman kekerasan atau dengan kekerasan. Kekerasan sendiri diartikan mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani secara tidak sah, misalnya memukul dengan tenaga atau senjata
- Pejabat dapat diartikan sebagai Aparatur Sipil Negeri (ASN). Menurut UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara adalah profesi bagi pegawai negeri sipil atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah.
- Melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan dapat dimaknai bahwa pejabat/ASN yang dipaksa tersebut melakukan perbuatan seperti yang diinginkan oleh pelaku dan perbuatan tersebut tidak dikehedaki oleh pejabat/ASN. Atau paksaan tersebut untuk tidak melakukan sesuatu yang berdampak pada timbulnya akibat tertentu dan akibat tersebut juga bukan merupakan kehendak dari pejabat/ASN tersebut.
Dari ketiga unsur perbuatan tersebut, nyata bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku menggunakan pihak ketiga yaitu pejabat/ASN yang sedang melaksanakan tugas yang syah. Delik tidak diwujudkan secara langsung oleh pelaku tindak pidana, sehingga dalam beberapa literatur jenis delik seperti ini sering disebut delik tidak langsung. Secara sederhana konstruksi Pasal 211 dapat digambarkan sebagai berikut:
Unsur kesalahan dalam delik ini ditafsirkan sebagai unsur kesengajaan bukan unsur kealpaan. Tafsir ini dapat diketahui dari rumusan pasal yang dibuat serta kehendak dari penyusun norma ini, meskipun penyusun norma ini tidak memasukkan unsur “kesengajaan” dalam rumusan norma. Kesengajaan dapat diartikan dalam rumusan ini dilihat dari aspek pengetahuan si pelaku, pelaku dapat mengetahui bahwa paksaan yang dilakukannnya ditujukan kepada petugas karena pelaku mengetahui dari pakaian yang dikenakannya, atau memperlihatkan identitas dirinya saat melakukan tugas, atau simbol-simbol tertentu yang dikenakan oleh petugas/pegawai tersebut saat melaksanakan tugasnya. Dengan pengetahuan ini lalu si pelaku menghendaki agar pejabat/pegawai melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh pegawai/pejabat tersebut.
Contoh konkret tindak pidana seperti yang dirumuskan dalam Pasal 211 bisa digambarkan dalam ilustrasi kasus berikut ini : sekelompok demonstran memaksa masuk gedung DPR yang saat itu sedang melakukan sidang dalam membahas harga BBM. Lalu para demonstran memaksa anggota DPR yang sedang sidang tersebut untuk membuat keputusan untuk menurunkan harga BBM yang sehari sebelumnya telah dinaikkan oleh pemerintah. Demonstran yang berjumlah 300 orang tersebut mengancam akan membakar gedung DPR jika tidak membuat keputusan tersebut. Karena di bawah ancaman, akhirnya anggota DPR tersebut membuat keputusan.
Pasal 212
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah atau orang yang menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banuka empat ribau lima ratus rupiah.
Perbedaan antara tindak pidana yang diatur dalam Pasal 211 dan 212 adalah pada unsur pemaksaan dan perlawanan. Dalam 212 perlawanan ditujukan secara langsung kepada petugas sehingga dapat menimbulkan akibat tertentu (luka/kematian). Sedangkan dalam Pasal 211 pejabat/pegawai merupakan sasaran tidak langsung dari perbuatan pelaku, meskipun tetap dapat menimbulkan akibat tertentu pada pejabat/pegawai tersebut.
Dari aspek perumusan tindak pidana, maka Pasal 212 termasuk dalam kategori tindak pidana materiil, karena ada akibat yang timbul pada pejabat/pegawai yang dilawan tersebut. Karena itu, ajaran kausalitas juga diperlukan untuk menentukan perbuatan (perbuatan-perbuatan) yang menimbulkan akibat yang dilarang tersebut.
Ilustrasi contoh kasus bisa digambarkan sebagai berikut : sekelompok demontran mendatangi kantor bupati di Propinsi Jawab Barat untuk mengajukan tuntutan yaitu memprotes kebijakan bupati yang dinilai merugikan masyarakat. Namun para demontran ini dilarang untuk masuk dalam komplek kantor bupati dan utusan demonstran juga tidak diperkenankan bertemu bupati. Karena itu, terjadi dorong-dorongan antara demonstran dan satpol PP yang bertugas mengamankan pintu gerbang memasuki komplek kantor bupati tersebut. Namun salah seorang demonstran menghardik satpol PP sehingga terjadi adu mulut. Pada akhirnya sekitar 3 orang demonstran melakukan pemukulan terhadap seorang satpol PP yang sedang bertugas, sehingga mengakibatkan memar dan luka pada kepala, dan selanjutnya dibawa ke rumah sakit. Ilustrasi kasus yang digambarkan di atas dapat dikatakan bentuk delik dari Pasal 212. Unsur-unsur deliknya : melakukan perlawanan pada pejabat/pegawai yang sedang bertugas, dilakukan dengan kekerasan berupa timbulnya luka memar pada kepala, dan dilakukan dengan sengaja karena para demonstran mengetahui bahwa yang bertugas adalah satpol PP.
Pasal 213
Paksaan dan perlawanan berdasarkan pasal 211 dan 212 diancam:
(1) Dengan pidana penjara paling lama lima tahun, jika kejahatan atau perbuatan lainnya ketika itu mengakibatkan luka-luka; (2) Dengan pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan, jika mengakibatkan luka-luka berat; (3) Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun jika mengakibatkan orang mati.Pasal 214
(1) Paksaan dan perlawanan berdasarkan pasal 211 dan 212 jika dilakukan oleh dua orang atau lehih dengan bersekutu, diancam dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun. (2) Yang bersalah dikenakan: 1. pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan, jika kejahatan atau perbuatan lainnya ketika itu mengakibatkan luka-luka; 2. pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika mengakibatkan luka berat; 3. pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika mengakibatkan orang mat.i
Pasal 213 dan Pasal 214 mengatur tentang jenis pidana (hukuman) terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 211 dan Pasal 212. Jika perbuatan itu dilakukan oleh satu orang, maka pidananya diatur dalam Pasal 213 KUHP, namun jika perbuatan tersebut dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama maka pidana penjaranya menggunakan Pasal 214.
Selain itu, gradasi pidana penjaranya juga berbeda, tergantung kualitas akibat yang timbul dari tindak pidana tersebut. Jika perbuatan tersebut dilakukan oleh satu orang, maka pidananya dapat digambarkan sebagai berikut:
Sementara itu, jika pelakunya dua orang atau lebih dan dilakukan secara bersama-sama maka yang dipergunakan adalah Pasal 214. Dalam Pasal 214 ini terdapat gradasi hukuman penjara yang berbeda, tergantung pada munculnya akibat yang dilarang. Secara lebih rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Pasal 211-214 merupakan tindak pidana yang ditujukan kepada pejabat/pegawai yang sedang menjalankan tugas. Dari sisi rumusannya, delik ini adalah delik materiil, dan dari sisi sifatnya maka digolongkan sebagai delik propria. Perbedaan prinsip antara Pasal 211 dan 212 adalah pada kualifikasi perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Kualifikasi perbuatan pada Pasal 211 adalah memaksa dengan kekerasan/ancaman kekerasan, sehingga pejabat/pegawai pemerintah melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang menimbulkan akibat yang dilarang. Sementara itu Pasal 212, kualifikasi deliknya adalah melakukan perlawanan kepada pegawai/pejabat yang sedang melaksanakan tugasnya. Perlawanan ini menimbulkan, luka atau kematian. Pasal 213 merupakan pasal yang mengatur tentang ancaman pidana. Ancaman pidana hanya ditujukan kepada satu orang pelaku tindak pidana. Artinya pasal ini tidak bisa digunakan jika pelakunya lebih dari satu orang. Sementara itu Pasal 214 mengatur ancaman pidana jika pelakunya dua orang atau lebih yang dilakukan secara bersama-sama. Jenis pidana pada kedua pasal ini sama, namun gradasi pidananya berbeda. (***)
Published at :