PRAPERADILAN TINDAK PIDANA PAJAK DALAM KUHAP DAN PUTUSAN MK (1)
Oleh: AHMAD SOFIAN dan BATARA MULIA HASIBUAN
Pajak merupakan sumber pendapataan yang digunakan untuk membiaya pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Pajak juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam mengelola pendapatan negara yang digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan demikian posisi pajak sangat strategis dalam rangka mendukung dan menopang pembangunan di segala sektor kehidupan berbangsa. Dalam konteks ini, maka peran strategis pajak menjadi tumpuan negara, sehingga maksimalisasi pengumpulan pajak dari wajib pajak pun digalakkan. Sejumlah regulasi pun diterbitkan untuk menopang penghitungan dan aturan main perpajakan. Pembiayaan pemerintah yang berasal dari pajak tidak akan berhasil, jika tidak ditunjang oleh peraturan di bidang perpajakan yang menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum yang berintiikan keadilan dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia. Karena itu, peralihan kekayaan dari rakyat ke kas negera bukan merupakan perbuatan melangganggar hukum, maka dalam UUD 1945 disebutkan bahwa “segala pajak untuk keperluan kas negara beradasarkan undang-undang”.
Rochmat Soemitro (1992) menyatakan pajak adalah perikatan yang timbul karena undang-undang yang mewajibkan seseorang, yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang untuk membayar kepada kas negara yang dapat dipaksakana tanpa mendapat suatu imbalan yang secara langsung dapat ditunjuka, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara (rutin dan pembangunan) dan yang digunakan sebagai alat (pendorong atau penghambat) untuk mencapai tujian di bidang keuangan. Sementara itu, Smeets menyatakan bahwa pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang tertuang melalui norma-norma umum yang dapat dapat dipaksakan tanpa adanya kontra prestasi yang dapat ditunjukan dalam hal individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.
Dari penjelasan di atas jelas bahwa pembayaran pajak oleh wajib pajak tidak disertai prestasi yang langsung diterima oleh wajib pajak sehingga masyarakat tetap merasakan bahwa pajak dianggap sebagai bebab, sehingga sebagian besar wajib pajak tetap tidak memenuhi kewajiban perpajakan. Bahkan tidak sedikit yang melakukan manipulasi kewajiban untuk membayar pajak, atau tidak melakukan pembayaran pajak (Meets, 1965). Akibat dari perilaku wajib pajak ini maka timbul kesulitan-kesulitan dalam pemungutan pajak sehingga memunculkan upaya paksa dari negara untuk melakukan langkah-langkah aktif dan langkah paksa untuk melaksanakan perintah undang-undang. Dengan kata lain law enforcement atas terjadinya tindak pidana perpajakan merupakan senjata pamungkas untuk memastikan masyarakat wajib pajak taat pada pajak (Tjip Ismail, 2019).
Namun demikian, law enforcement yang dilakukan dalam rangka dugaan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh wajib pajak sering menggunakan upaya-upaya paksa yang dikenal dalam hukum pidana formil. Penggunaan upaya paksa ini dinilai oleh sebagian wajib pajak tidak sesuai dengan kaedah hukum pidana formil (hukum acara) yang berlaku sehingga mereka melakukan praperadilan untuk menguji upaya paksa tersebut di pengadilan. Praperadilan ini diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) merupakan sarana untuk mengawasi dan mengkoreksi penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum (penyelidik/penyidik dan penuntut umum). Dalam hal wewenang dilaksanakan secara sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum, dengan maksud dan tujuan lain di luar dari yang ditentukana secara tegas dalam KUHAP. Pengujian atas keabsahan penggunaan wewenang tersebut dilakukan melalui prapanata praperadilan.
Bahwa pranata praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Juncto Pasal 77 KUHAP harus dimaknai dan diartikan sebagai pranata untuk menguji perbuatan hukum yang akan diikuti upaya paksa oleh penyidik atau penuntut umum, karena pada dasarnya praperadilan adalah untuk menguji sah tidaknya perbuatan hukum yang dilakukan oleh penyelidik, penyidik, penuntut umum dalam melakukan penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan/penuntutan juga ganti kerugian. Namun dalam perkembangan selanjutnya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 telah terjadi perluasan objek praperadian yang meliputi sah tidaknya penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan. Putusan Mahkamah Konstitusi ini lalu diikuti oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan.
Pranata Praperadilan
Kehadiran KUHAP untuk mereposisi Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) memiliki fungsi mengatur prosedur/mekanisme mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, peradilan, acara pemeriksaan, banding di Pengadilan Tinggi, serta kasasi dan PK ke Mahkamah Agung. KUHAP dimaksudkan oleh pembuat undang-undang untuk “mengoreksi” praktek peradilan masa lalu yang tidak sejalan dengan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di bawah aturan HIR, sekaligus memberi pemenuhan HAM kepada tersangka atau terdakwa untuk membela kepentingannya di dalam proses hukum. KUHAP telah menggariskan aturan kepada tersangka atau terdakwa, dengan jalan memberi memenuhi hak-hak yang sah kepada mereka. Pengakuan hak asasi yang melekat pada diri mereka, merupakan jaminan dari perlakuan sewenang-wenang. KUHAP telah memberi hak kepada tersangka atau terdakwa untuk segera mendapat “pemeriksaan” pada tingkat penyidikan maupun putusan yang seadil-adilnya. Juga memberi hak untuk memperoleh “bantuan hukum” pemeriksaan pengadilan. Banyak aspek lain yang diberikan oleh KUHAP dan selama ini tidak diberikan dalam rezim HIR. Namun demikian tetap saja KUHAP masih dinilai lemah, karena yang dipersoalkan hanyalah keadilan formil/procedural, bukan keadilan substantif atas tindakan yang melampaui batas yang dilakukan oleh penyidik/penuntut umum.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Praperadilan dalam KUHAP adalah suatu upaya yang berkenaan dengan penggunaan upaya paksa dalam proses penyidikan atau penuntutan serta akibat hukum yang timbul darinya. Pasal 77 KUHAP yang dikenal sebagai ketentuan yang mengatur tentang praperadilan sebagai ditegaskan dalam Pasal 78 KUHAP menyebutkan sebagai berikut :
Pengadilan negerai berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai degnan ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang :
- Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
- Ganti kerugian atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan
Selain itu, Pasal 1 angka 10 KUHAP juga dijadikan sebagai sumber hukum praperadilan yang bunyi lengkapnya sebagai berikut :
- Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka
- Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan ats permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
- Permintaan ganti kerugian atau rehabilitas oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Putusan Mahkamah Konstitusi (Putusan MK)
Pada hakekanya keberadaan pranata praperadilan dalam KUHAP adalah sebagai bentuk pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia, sehingga pada zamannya aturan tentang praperadilan dianggap sebagai bagian dari mahakarya KUHAP. Namun demikian, dalam perjalannnya ternyata lembaga praperadilan tidak dapat berfungsi secara maksimal karena tidak mampu menjawab permasalahan yang ada dalam proses pra-ajudikasi. Fungsi pengawasan yang diperankan pranata praperadilan hanya bersifat post facto sehinga tidak sampai pada penyidikan dan pengujiannya hanya bersifat fomal yang mengedepankan unsur objektif, sedangkan unsur subjektif tidak dapat diawasi pengadilan. Hal ini justru menyebabkan praperadilan terjebak hanya pada hal-hal yang bersifat formal dan sebatas masalah administrasi sehingga jauh dari hakikat keberadaan pranata praperadilan.
Sepanjang 2003 hingga saat ini, sudah banyak masyarakat mengajukan permohonan Uji Materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait adanya pasal-pasal dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dianggap bertentangan dengan Konstitusi (UUD 1945). Sebagian pasal yang diuji materi-kan ke MK ada yang ditolak, namun ada juga yang diterima oleh MK sehingga beberapa pasal mengalami perubahan makna yang tentu berdampak pada penerapannya. Berikut pasal-pasal KUHAP yang pernah diajukan uji materi ke MK dan putusannya:
Pasal 83 ayat 2 KUHAP (Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011) Pasal 83 ayat 2 KUHAP berbunyi: “Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan” Oleh MK pasal ini dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi.
Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 dan Pasal 77 KUHAP tentang Bukti Permulaan (Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014) Dalam putusan ini yang diputus adalah tentang tafsir bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup dalam rangka penetapan tersangka. Secara umum, tujuan lembaga praperadilan adalah untuk melindungi hak asasi manusia dalam ini hak asasi tersangka atau terdakwa. Hak asasi yang hendak dilindungi itu khususnya hak atas kebebasan (right to liberty) dan hak-hak yang berkaitan dengan atau merupakan turunan dari right to liberty itu. Kebebasan seseorang terancam karena dalam penentapan tersangka (atau terdakwa) itu terdapat kemungkinan pelibatan tindakan atau upaya paksa oleh negara berupa penangkapan dana tau penahanan, yang di dalamnya sesungguhnya juga penyitaan dan penggeledahan. Penggunaan atau pelibatan upaya paksa inilah yang harus dikontrol secara ketat, baik syarat-syarat maupun prosedur penggunaanya, dan undang-undang. Frasa “bukti permulaan” dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP”. Frase “bukti permulaan yang cukup” dalam Pasal 17 KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP”. Frase “bukti yang cukup” dalam Pasal 21 KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP”. Pasal 77 huruf a dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan”.
Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP (Putusan MK No. 102/PUU-XIII/2015). Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP inkonstitusional sepanjang frase “suatu perkara sudah dimulai diperiksa” tidak dimaknai “permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan.”
Penutup
Dari kedua ketentuan yang disebutkan di atas, pranata praperadilan merupakan pranata yang dapat digunakan oleh pemohon (wajib pajak) untuk menguji, apakah wewenang penyidik dalam melakukan penahanan, penetapan terssangka, penggeledaha dan seterusnya sudah sesuai kaedah KUHAP dan Putusan MK atau belum. Jika menyalahi ketentuan yang telah ditetapkan maka, wajib pajak atau kuasanya dapat mengajukan permohonan praperadilan. Norma praperadilan yang diatur dalam KUHAP dan Putusan MK dalam perkembangan selanjutnya mengalami penyempurnaan yaitu dengan terbitnya PERMA No. 4 Tahun 2016 tentang Larang Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan. Selain itu, dalam kontek praperadilan tindak pidana perpajakan, maka UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajajakan yaitu Uu No. 6 Tahun 1983 dan sebagaimana telah dirubah beberapa kali dan terakhir kali dengan UU No. 16 Tahun 2009 juga harus dipergunakan sebagai undang undang lex specialis. Untuk itu, dalam tulisan berikutnya dua undang-undang tersebut juga akan diulas agar pembahasannya lebih lengkap (***).