FGD PEMBAHASAN PASAL 9 RANCANGAN KUHP
Pada hari Senin, 20 Januari 2020, Asosiasi Pengajar Hukum Internasional se-Indonesia (Indonesian Society of International Law Lecturer/ISILL) mengadakan Focus Group Discussin (FGD) di Ruang Guru Besar, Kampus Fakultas Hukum Uniivesitas Indonesia, Depok. Hadir pada acara ini, para pengurus asosiasi, antara lain dosen Jurusan Hukum Bisnis BINUS Dr. Reza Zaki. Selain itu, juga hadir Arie Afriansyah (dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia), Dhiana Puspitawati (dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang). Sejumlah pakar juga tampak menyumbangkan pandangan mereka, seperti Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D. (Universitas Indonesia), Prof. Dr. H. Syafrinaldi, SH. MCL. (Universitas Islam Riau), Prof. Dr. Sefriani, SH, MH (Universitas Islam Indonesia), Dr. Jur. Damos Dumoli Agusman, S.H., MA (Kementrian luar Negeri RI), Prof. Dr. FX. Joko Priyono, SH., MHum (Universitas Diponegoro), Prof. Dr. Ade Maman Suherman SH. MSc (Universitas Jenderal Soedirman).
Beberapa bulan terakhir tahun 2019 diriuhkan oleh bagaimana pro dan kontra atas akan disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Terdapat beberapa pasal yang masih dalam perdebatan terutama di masyarakat. Pada akhirnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyepakati lima rancangan undang-undang batal disahkan oleh anggota dewan periode tersebut. RUU itu disepakati untuk dilanjutkan (carry over) pembahasannya oleh anggota DPR periode 2019-2024. Keputusan tersebut diambil dalam rapat paripurna terakhir DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan pada Senin, 30 September 2019. Lima RUU tersebut adalah RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU Perkoperasian, dan RUU Pengawasan Obat dan Makanan.
Salah satu materi perubahan dalam RUU KUHP yang terkait dengan hukum internasional pun tidak luput dari permasalahan. Materi tersebut terdapat pada rancangan Pasal 9 RUU KUHP yang bunyinya sebagai berikut: “Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 8 dibatasi oleh hal yang dikecualikan menurut hukum internasional yang telah disahkan.”
Sebagai perbandingan, Pasal 9 KUHP sebelumnya adalah sebagai berikut: “Diterapkannya Pasal-Pasal 2 s.d. 5, 7, dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum internasional.”
Terlihat dalam kedua rumusan pasal tersebut sangat berbeda redaksinya yaitu antara “Hukum Internasional” dan “Hukum Internasional yang telah disahkan”. Perumusan pasal yang baru sejatinya perlu mendapatkan perhatian khusus karena akan berdampak yang sangat krusial. Sebagaimana diketahui secara umum, bahwa sesuai dengan Pasal 38 ayat 1 Statuta ICJ, paling tidak dalam menemukan sumber hukum internasional itu terdiri atas: (1) perjanjian internasional; (2) kebiasaan internasional yang diterima sebagai hukum; (3) prinsip-prinsip hukum umum; (4) putusan pengadilan; dan (5) tulisan para ahli.
Pada perjanjian internasional, terutama yang tertulis, tidak semua kesepakatan yang tertuang dalam sebuah konvensi mengikat negara-negara karena keputusan pengikatan diri merupakan sebuah bentuk kedaulatan negara. Untuk itu, rumusan Pasal 9 KUHP yang baru dapat dimengerti karena bermaksud untuk memberikan batasan hukum internasional yang sudah Indonesia nyatakan tunduk untuk terikat. Namun demikian, hal yang sangat berbeda ketika kita berbicara mengenai hukum kebiasaan internasional (customary international law). Untuk sumber hukum internasional yang satu ini, keterikatan kepada negara tidak eksklusif pada kehendak negara. Dengan kata lain, hukum kebiasaan internasional ini dapat mengikat negara secara otomatis tanpa ada proses pengesahan yang dilakukan oleh negara. Sebagai konsekuensinya, rumusan “hukum internasional yang telah disahkan” akan bersifat multitafsir. Tafsiran pertama, apakah hanya perjanjian internasional (tertulis) saja dan mengecualikan hukum kebiasaan? Selanjutnya, tafsiran kedua jika jawaban pertama adalah perjanjian internasional saja, maka dalam status “disahkan” apakah itu berarti “diratifikasi oleh Indonesia” atau keberlakuan (entry into force) dari perjanjian internasional itu? Pertanyaan-pertanyaan ini masih menyisakan pekerjaan rumah bagi pembentuk undang-undang. (***)