TAFSIR DELIK PENGHASUTAN DALAM PASAL 160 KUHP
Oleh : Ahmad Sofian
Tentang pasal 160
Esensi dari perbuatan menghasut adalah usaha untuk menggerakan orang lain supaya melakukan perbuatan tertentu yang dikehendaki oleh penghasut. Dengan demikian dalam delik penghasutan ada dua subjek delik, yaitu orang yang melakukan penghasutan dan orang yang dihasut. Dengan demikian sumber niat jahat dari perbuatan penghasutan adalah orang melakukan penghasutan. Bentuk penghasutan yang dilakukan penghasut adalah agar orang lain (orang yang dihasut) melakukan tindak pidana, melakukan sesuatu kekerasan kepada penguasa umum, tidak memenuhi peraturan perundang-undangan atau tidak mematahui perintah jabatan yang dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Penghasutan itu sendiri harus terjadi di muka umum dan dilakukan dengan sengaja (kehendak). Dengan penjelasan di atas jelas bahwa Pasal 160 KUHP baru bisa digunakan jika: (a) ada perbuatan menghasut (b) yang dilakukan dengan sengaja (c) dilakukan di depan umum (d) orang yang dihasut melakukan perbuatan yang melawan hukum
Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 7/PUU-VII/2009 telah mengubah rumusan delik penghasutan dalam Pasal 160 KUHP dari delik formil menjadi delik materil. Artinya, pelaku penghasutan baru bisa dipidana bila timbulnya akibat yang dilarang seperti kerusuhan atau perbuatan anarki lainnya atau akibat terlarang lainnya. Bahwa sebelumnya, KUHP menyebut Pasal 160 yang mengatur penghasutan sebagai delik formil. Artinya, perbuatan penghasutan itu bisa langsung dipidana tanpa melihat ada tidaknya akibat dari penghasutan tersebut.
Dengan adanya putusan MK tersebut, makin jelas bahwa perbuatan penghasutan saja tidak bisa dipidana jika orang yang dihasut tidak melakukan perbuatan dan ada hubungan antara hasutan tersebut dengan timbulnya perbuatan yang dilakukan oleh orang yang terhasut. Hubungan sebab-akibat tersebut harus dibisa dibuktikan di pengadilan sehingga orang yang menghasut dapat dipidana.
Unsur-Unsur Pasal 160 KUHP
Sebelumnya menjelaskan unsur-unsur Pasal 160, maka dijelaskan lebih dahulu tentang isi Pasal 160 yang dikutip dari buku R. Soesilo, sebagai berikut:
Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Berikut ini dijelaskan tentang unsur-unsur dari Pasal 160 beserta penjelasannya
Unsur | Penjelasan/Tafsir |
Barangsiapa | Barangsiapa ditafsirkan sebagai orang, perorangan |
Dimuka umum | Artinya perbuatan tersebut dilakukan bukan ditempat yang tersembunyi tetapi publik dapat mengakses tempat tersebut, atau dalam Bahasa Wirjono Prodjodikoro “bahwa ada orang banyak bisa melihatnya (in het openbaar)”. R. Soesilo menyatakan ditempat umum diartikan sebagai suatu tempat dimana publik dapat melihatnya. J.M. van Bemmelen dengan mengutip putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) menyatakan bahwa pasal ini tidak berlaku untuk tindakan kekerasan yang dilakukan di tempat sunyi, yang tidak mengganggu ketenangan umum, termasuk tindak itu dilakukan di jalan raya namun public tidak terusik, maka Pasal ini juga tidak bisa dikenakan, karena salah satu syarat tidak terpenuhi.
Orang hanya dapat dihukum apabila hasutan itu dilakukan di tempat umum, tempat yang didatangi publik atau dimana publik dapat mendengar. Tidak perlu penghasut itu berdiri di tepi jalan raya misalnya, akan tetapi yang disyaratkan ialah di tempat itu ada orang banyak. Tidak mengurangkan syarat bahwa hasutan harus di tempat umum dan ada orang banyak, hasutan itu bisa terjadi meskipun hanya ditujukan pada satu orang. Orang yang menghasut dalam rapat umum dapat dihukum demikian pula di gedung bioskop, meskipun masuknya degan karcis, karena itu adalah tempat umum, |
Lisan atau tulisan | Menghasut itu dapat dilakukan baik dengan lisan, maupun dengan tulisan. Apabila dilakukan dengan lisan, maka kejahatan itu menjadi selesai jika kata-kata yang bersifat menghasut itu telah diucapkan. Jika menghasut dengan tulisan, hasutan itu harus ditulis dahulu, kemudian disiarkan atau dipertontonkan pada publik |
Menghasut | Dalam kamus Bahasa Indonesia tindakan penghasutan adalah suatu perwujudan untuk membangkitkan hati orang supaya marah (untuk melawan atau memberontak). Sementara itu menurut Black’s Law Dictionary menghasut diartikan sebagai “provocation” yaitu “something (such as word or action) that affects a person’s reason and self-control, esp.causing the person to commit a crime impulsively”.
Menurut R. Soesilo, artinya mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. Dalam kata “menghasut” tersimpul sifat “dengan sengaja”. Menghasut itu lebih keras daripada “memikat” atau “membujuk”, akan tetapi bukan “memaksa”.
Orang memaksa orang lain untuk berbuat sesuatu, bukan berarti menghasut. Cara menghasut orang itu misalnya secara langsung: “Seranglah polisi yang tidak adil itu, bunuhlah, dan ambillah senjatanya!” ditujukan terhadap seorang polisi yang sedang menjalankan pekerjaannya yang sah. Sedangkan cara menghasut orang secara tidak langsung, seperti dalam bentuk pertanyaan: “Saudara-saudara, apakah polisi yang tidak adil itu kamu biarkan saja, apakah tidak kamu serang, bunuh, dan ambil senjatanya?”
|
Melakukan kekerasan | R. Soesilo menyatakan bahwa “mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak syah” misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak menendang dsb.”. |
Penguasa umum | Penguasa yang menurut undang-undang |
Maksud hasutan | Ditujukan untuk:
a. dilakukan suatu peristiwa pidana (pelanggaran atau kejahatan) = semua perbuatan yang diancam dengan hukuman. b. melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasan c. jangan mau menurut pada peraturan perundang-undangan d. jangan mau menurut perintah yang sah yang diberikan menurut undang-undang
|
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas tergambar bahwa Pasal 160 telah mengalami perubahan perumusan delik dari delik yang dirumuskan secara formil menjadi delik yang dirumuskan secara materiil. Artinya adalah pasca Putusan MK Nomor 7/PUU-VII/2009, maka Jaksa harus bisa membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan penghasutan dengan timbulnya akibat yang dilarang. Dalam konteks ini, perbuatan menghasutan tersebut merupakan satu-satunya perbuatan yang menimbulkan akibat (kerusuhan, kekacauan, kerusakan, luka atau bahkan kematian. Atau perbuatan penghasutan itu ternyata dipengaruhi oleh keadaan tertentu (circumstances) sehingga menimbulkan akibat yang dilarang. Karena itu dua kemungkinan ini harus bisa dijelaskan dan dibuktikan di pengadilan. Jika digambarkan maka:
Published at :