People Innovation Excellence

PENALARAN UNIK TENTANG HIMBAUAN LARANGAN PERCERAIAN

Oleh SHIDARTA (Desember 2019)

Walikota Bengkulu pada bulan November 2019 (tanpa tanggal), mengeluarkan Surat Edaran Nomor 800/31/B.III/2019 tentang Himbauan Larangan Perceraian. Dengan tidak dicantumkannya tanggal surat edaran ini, maka tidak jelas pula kapan persis surat edaran ini mulai berlaku. Oleh karena lazimnya setiap peraturan/keputusan berlaku sejak tanggal ditetapkan, maka mudahnya diasumsikan bahwa selepas bulan November 2019, surat edaran ini sudah mengikat untuk dilaksanakan. Pencantuman tanggal tentu juga penting untuk membantu pasangan yang tengah berproses menuju perceraian guna memastikan bahwa perjalanan mereka berada dalam masa transisi, sehingga tidak terdampak surat edaran ini.

Surat edaran tersebut lengkapnya adalah sebagai berikut:



Tulisan ini bermaksud untuk mengulas surat edaran ini. Ulasan surat edaran tersebut bertolak dari sudut pandang penalaran hukum (legal reasoning). Sebagaimana layaknya setiap penalaran, maka dalam penalaran hukum pun sangat ditekankan aspek kelogisan “argumentasi” yang dibangun. Aspek ini ditangkap melalui hasil pembacaan tehadap teks yang eksplisit tersaji. Dengan perkataan lain, ulasan dalam tulisan ini tidak akan mempersoalkan hal-hal di luar yang tertulis dalam surat edaran, misalnya soal motivasi atau niat subjektif dari perumus surat edaran itu yang barangkali saja memang tulus ingin mengatasi problem rumah tangga seluruh masyarakat Kota Bengkulu.

Patut dicatat bahwa surat edaran pada hakikatnya bukanlah peraturan perundang-undangan yang berlaku umum, kendati dampak dari surat edaran itu bisa saja mempengaruhi publik. Biasanya surat edaran dibuat oleh seorang pejabat atasan kepada pejabat bawahan guna mengambil suatu kebijakan tertentu di lingkungan [internal] organisasi yang dipimpinnya.  Kita dapat menggolongkan surat edaran sebagai peraturan kebijakan (beleidsregel). Kita perlu pertama-tama meletakkan Surat Edaran Nomor 800/31/B.III/2019 ini dalam kerangka berpikir demikian.

Selanjutnya ulasan tentang surat edaran di dalam tulsan ini dibagi dalam lima catatan.

Pertama, mari kita cermati siapa subjek yang dituju (normadressaat) dari surat edaran ini. Surat edaran ini dialamatkan kepada: (1) Pejabat Eselon II, III, dan IV; (2) Seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN); (3) Pegawai Tidak Tetap; dan (4) Seluruh Masyarakat Kota Bengkulu. Jika kita menyepakati bahwa surat edaran itu adalah peraturan kebijakan yang seyogianya ditujukan untuk kalangan internal Pemerintah Kota (Pemkot) Bengkulu, maka jelas penambahan subjek norma yang keempat (seluruh masyarakat Kota Bengkulu) sangat tidak tepat. Penambahan subjek norma ini tidak dimaksudkan sekadar agar masyarakat tahu, melainkan benar-benar dibuat ikut terikat melaksanakannya. Hal ini dapat dilihat dari bunyi diktum nomor dua dari surat edaran ini, yang memuat larangan bercerai itu benar-benar juga ditujukan kepada seluruh masyarakat Kota Bengkulu. Demikian pula pada kalimat penutup dari surat edaran tersebut.

Ada satu lagi subjek norma yang menarik untuk diperhatikan. Pejabat yang dijadikan subjek norma ini adalah pejabat eselon II, III, dan IV Pemkot Bengkulu. Kita bisa saja mengatakan bahwa dengan demikian pejabat eselon I dikecualikan dari larangan tadi. Namun, bagaimana jika pejabat eselon I itu adalah bagian dari masyarakat kota Bengkulu? Apakah tidak berarti ia juga dapat terkena larangan menurut surat edaran ini?

Kedua, judul dari surat edaran ini adalah Himbauan Larangan Perceraian. Dari sisi operator norma (modus perilaku), himbauan dan larangan mengacu pada dua jenis operator yang berbeda. Dalam struktur norma yang umum diketahui, ada empat jenis operator norma: (1) perintah/wajib; (2) larangan; (3) izin; dan (4) dispensasi. Dalam hukum Islam, kita mengenal ada lima operator norma, namun tampaknya pendekatan operatorn norma dalam hukum Islam tidak relevan untuk dibahas dalam konteks surat edaran ini karena subjek norma dari surat edaran ini tidak terkait dengan pengenaan syariat Islam (sekalipun nuansanya muncul dari pemilihan kata [diksi] dari isi surat edaran ini).

Judul surat edaran ini sudah mencantumkan operator norma itu dan hal ini membingungkan karena pada satu sisi Walikota Bengkulu menghimbau (artinya dalam rangka mencegah untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan), sementara pada saat bersamaan ia juga melarang (artinya sudah menghukum apabila terjadi suatu perbuatan). Untuk memahami maksud dari judul yang membingungkan ini, maka kita perlu membaca diktum-diktum dari surat edaran ini selanjutnya. Ternyata, dari beberapa diktum disebutkan adanya sanksi bagi pelanggarnya. Manakala suatu norma primer mengandung sanksi, maka norma itu mengindikasikan adanya implikasi dari pelanggaran norma primer tersebut. Ketentuan norma yang memuat norma sanksi ini disebut norma sekunder. Uniknya, apa sanksi atas pelanggaran surat edaran ini, tidak disebutkan di dalam surat edaran ini.

Judul suatu peraturan sebaiknya sejalan dengan objek norma yang ingin diatur atau dipaksakan dalam peraturan itu. Objek norma mengacu pada perilaku, mengingat setiap norma hukum positif pada dasarnya aturan berperilaku (gedragsregels). Bila kita menilik lebih jauh isi surat edaran ini, maka akan tampak ada dua perilaku yang digarisbawahi, yaitu: (1) melakukan perceraian (bercerai); dan (2) menjalani mediasi. Kedua perilaku itu tidak berlangsung paralel. Menjalani mediasi adalah proses yang bersifat wajib dan mendahului, sementara bercerai adalah akibat yang dibolehkan seandainya proses mediasi sudah dijalani. Jadi, bercerai itu sendiri sebenarnya tidak dilarang, tetapi proses mediasi itulah yang diwajibkan (=dilarang untuk diabaikan). Analisis struktur norma bisa saja menempatkan kata “bercerai” di sini di dalam kondisi norma (normconditie). Lengkapnya kita menyatakan: setiap orang (pasangan) diwajibkan untuk menjalani proses mediasi dalam hal orang itu akan bercerai. Jadi, akan lebih baik andaikata peraturan ini diberi judul [misalnya]: “Surat Edaran Nomor … tentang Proses Mediasi dalam Perceraian”.

Ketiga, kita perhatikan alasan diterbitkannya surat edaran ini. Alasan yang secara tekstual dikemukakan dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni sosiologis dan filosofis-religius. Alasan sosiologisnya adalah tingginya tingkat perceraian di lingkungan ASN. Akibatnya, perhatian dan kasih sayang terhadap anak-anak menjadi berkurang. Tentu kita dapat mempertanyakan seberapa tinggi dan memprihatinkan tingkat perceraian ASN di Pemkot Bengkulu dibandingkan dengan tingkat perceraian ASN di daerah lain. Seandainya pun benar-benar tinggi, apa faktor penyebabnya? Jika akibat yang dikhawatirkan [hanya] berupa kurangnya perhatian dan kasih sayang terhadap anak-anak (korban perceraian), apakah larangan ini dapat dikecualikan bagi pasangan yang belum mempunyai anak? Bahkan, jika ingin lebih dikritisi: apakah pengertian “anak” ini tertuju pada orang yang belum berumur 18 tahun? Artinya, kekhawatiran tadi pada akhirnya tidak lagi relevan bagi pasangan yang mempunyai anak tetapi usianya sudah dewasa.

Lebih menarik lagi, bisa dipertanyakan: jika tingginya tingkat perceraian itu hanya terjadi di kalangan ASN, mengapa subjek norma yang lain ikut terkena larangan ini? Kesesatan bernalar yang disebut kekeliruan komposisi terjadi di sini. Perilaku sebagian ASN dipandang sebagai perilaku keseluruhan masyarakat. Model perumusan norma dengan menggunakan majas pars pro toto seperti ini harus benar-benar diwaspadai karena berpotensi menimbulkan efek penghukuman yang tidak pada tempatnya, sekaligus eksesif.

Alasan sosiologis di atas didukung oleh alasan filosofis-religius, bahwa perceraian adalah perbuatan yang dibenci oleh Allah SWT, serta menyusahkan anak-anak, keluarga, bangsa dan negara. Perceraian juga bertentangan dengan filosofi dari perkawinan, yakni untuk menjaga, membina keluarga, dan menghidupkan suasana agama dalam rumah tangga. Tidak jelas benar apa kaitan antara alasan-alasan di atas dengan larangan perceraian. Sebab, pasangan yang akan bercerai sangat mungkin mengajukan dalih sebaliknya, bahwa jika mereka yang sudah tidak mampu didamaikan lagi dalam biduk perkawinan itu pada akhirnya justru akan membuat mereka tidak mampu berkonsentrasi bekerja dan berdampak pada kualitas kinerja masing-masing. Bukankah hal inipun akan sama juga akibatnya karena bakal menyusahkan keluarga, bangsa, dan negara?

Apabila acuannya adalah ketentuan dalam hukum agama [Islam], bahwa perceraian itu perbuatan yang dibenci oleh Allah SWT, maka tentu hal ini tidak berada dalam ruang diskursus kita, melainkan kita serahkan pada justifikasi yang bersifat dogmatis. Kuat diduga, bahwa penulis surat edaran ini terinspirasi oleh hadits yang berbunyi: “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah cerai.” JIka kata ‘halal’ ini dijadikan pegangan, maka artinya pintu perceraian bukanlah pintu yang tertutup. Perlu dicatat bahwa ulasan lebih jauh terhadap surat edaran ini akan membawa kita pada kesimpulan bahwa surat edaran inipun, sekali lagi, tidak bermaksud untuk menutup pintu itu sama sekali.

Keempat, pada diktum nomor tiga muncul kata kunci: “mediasi”. Disebutkan di sini bahwa proses mediasi ini wajib dilalui oleh setiap orang yang ingin bercerai. Hal ini tentu bukan masalah karena selama inipun, proses itu sudah berjalan dalam praktik. Bukan lagi pengetahuan baru, bahwa hakim-hakim pengadilan negeri dan pengadilan agama diwajibkan menawarkan mediasi kepada setiap pasangan yang akan bercerai. Artinya, gagasan mediasi ini bukanlah inovasi dari Walikota Bengkulu. Justru diktum ini bermasalah karena tiba-tiba Pemerintah (tentu maksudnya Pemkot Bengkulu) memutuskan untuk mengambil alih tugas mediasi ini. Semua proses perceraian harus melewati mediasi yang dijalankan oleh Pemkot Bengkulu, yang berarti Pemkot mengambil alih tugas yang selama ini sudah dijalankan oleh lembaga yudikatif.

Boleh jadi perumus surat edaran ini beralasan bahwa proses mediasi Pemkot ini dilakukan mendahului tawaran mediasi yang dilakukan oleh pengadilan, atau berasumsi bahwa peroses mediasi oleh pengadilan tidak berjalan efektif (terbukti dari tingginya tingkat perceraian). Namun, satu hal yang jelas adalah bahwa pengambilalihan tugas yudikatif oleh lembaga eksekutif seperti ini bukan contoh pengelolaan tata pemerintahan yang baik. Dilihat dari beban kerja yang harus diemban oleh Pemkot akibat surat edaran ini juga tidak main-main karena pasangan yang harus dimediasi tidak lagi sejumlah pejabat eselon II, III, dan IV, serta ASN dan PTT, melainkan seluruh masyarakat Kota Bengkulu.

Kelima, diktum terakhir dari surat edaran ini mencantumkan tolok ukur dari kegagalan proses mediasi. Sekali lagi, tolok ukur yang ditegaskan di sini adalah tolok ukur kegagalan, bukan tolok ukur keberhasilan! Tolok ukur yang dimaksud adalah jika laki-laki (eks suami), wanita (eks isteri), anak-anak, dan keluarga mereka tersenyum semua. Jika mereka senyum, berarti perceraian itu memang layak terjadi dan membawa kebaikan. Tidak terbayangkan seperti apa mekanisme yang akan dilakukan agar pasangan yang ingin bercerai ini apabila diharuskan tersenyum semua. Mungkin mereka semua akan diminta berfoto seusai mendapat “lampu hijau” untuk bercerai dari Pemkot dengan pose wajah yang sumringah. Apabila ditafsirkan sebaliknya, maka akan menjadi sangat aneh pula karena tolok ukur keberhasilan mediasi itu artinya bahwa pasangan tersebut, serta anak-anak dan keluarga mereka malah tidak boleh tersenyum [?].

Selepas gagal diproses mediasinya oleh Pemkot Bengkulu, maka pasangan yang sudah mendapat “lampu hijau” untuk bercerai ini jangan pula buru-buru berbahagia dengan tersenyum lebar. Mereka belum benar-benar resmi bercerai di depan hukum. Mereka tetap diwajibkan untuk berproses lagi di lembaga peradilan karena institusi yang berwenang mengakhiri perkawinan mereka bukanlah Pemkot.

Pada akhirnya kita dapat menemukan gaya “penalaran unik” yang diperagakan melalui surat edaran ini. Keunikan demikian bukanlah barang baru, karena kerap hadir juga dalam banyak peraturan dan keputusan yang dirumuskan dalam berbagai area pengaturan, yang terjadi karena perumusnya luput memperhatikan metode penalaran yang lazim. Di sini kita seyogianya makin tersadarkan, betapa krusial keterampilan bernalar hukum diaplikasikan dalam perumusan setiap produk hukum. (***)



Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close