PENETAPAN SEMENTARA (“INJUCTION”) PERSEROAN TERBATAS, HARUSKAH DIATUR ?
Oleh Agus Riyanto (November 2019)
Panjang dan terjal jalan pencari keadilan di Pengadilan. Memperjuangkan hak membutuhkan energi yang lebih, di atas rata-rata, dan waktu, tenaga, pikiran dan biaya yang tidak sedikit. Dalam kenyataan tersebut proses pencarian keadilan itu jelas tidak mudah, sehingga dibutuhkan progresifitas dalam menghadapinya. Salah satu caranya adalah dengan mengatur kewenangan Pengadilan untuk menjatuhkan keputusan penetapan sementara (“injuction”) kepada pencari keadilan. Hal ini dibutuhkan untuk mendekatkan keadilan selama proses berjalannya perkara di Pengadilan, khususnya untuk perkara yang penyelesaiannya memakan waktu yang cukup lama. Lahirnya lembaga penetapan sementara didasari pada pemikiran bahwa selama proses penyelesaian sengketa berjalan berlanjutnya penderitaan yang berlarut-larut dan kerugian yang bertambah untuk pencari keadilan harus dicegah dan dihindari jika penderitaan dan kerugiaan itu adalah akibat dari tindak perbuatan pihak lain yang telah melanggar hak-haknya. Di samping itu, penetapan sementara juga dilatarbelakangi proses penyelesaian sengketa di pengadilan yang tidak dapat dilakukan dalam waktu yang cepat. Tujuan utama dari penetapan sementara adalah mencegah dan menghentikan pelanggaran hukum yang terjadi guna mencegah kerugian yang lebih besar. Melalui jalan penetapan sementara ini pencari keadilan dapat merasakan hadirnya keadilan, selama kasus yang dihadapi di Pengadilan tetap berjalan sampai Pengadilan membacakan putusannya.
Di Indonesia, sayangnya, penetapan sementara hanyalah diatur dalam Pasal 106 -109 UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU-HC) dan tidak di UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU-PT). Urgensi untuk mengadopsi norma tersebut di dalam UU-PT didasari kepada jumlah obyek perlindungan yang cukup banyak. Obyek yang dilindungi UU-HC pada umumnya hanya terdiri dari satu atau dua subyek hukum (pencipta), sementara UU-PT melindungi pemegang saham yang pada umumnya terdiri dari lebih dari satu-dua subyek hukum dan untuk Perusahaan Terbuka bahkan dapat melebihi 300 pemegang saham. Jumlah subyek hukum yang kecil bukan berarti penetapan sementara yang diatur UU-HC tidak penting. Yang telah diatur UU-HC bahkan dapat dijadikan cermin UU-PT, dalam arti bahwa telah ada UU yang mengaturnya, sehingga kebutuhan mengatur di UU-PT adalah conditio sine quanon.
Kebutuhan mengatur hal ini adalah karena terlalu umum dan tidak lengkapnya ketentuan perlindungan pemegang saham minoritas dalam UUPT, sehingga dibutuhkanlah instrumen yang dapat menghentikan sementara waktu tindakan Direksi atau pemegang saham mayoritas yang akan dapat merugikan pemegang saham minoritas. Dengan kedua pertimbangan tersebut, Penetapan Sementara di dalam UU-PT, mengandung tujuan yang sama dengan UU-HC, yaitu untuk mencegah kekuatan pemegang saham mayoritas yang melalui Direksi yang ditunjuknya dapat mengeluarkan kebijakan yang merugikan kepentingan pemegang saham minoritas. Sebuah langkah deteksi dini dapat menghindari terjadinya kerugian lebih berkepanjangan.
Ketiadaan pengaturan Penetapan Sementara dalam UUPT butuh koreksi. Meskipun pemegang saham minoritas terbuka menggunakan Pasal 61 UU-PT, namun ketentuan itu lebih menekankan kepada hak setiap pemegang saham untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri dan tidak mengatur kewenangan Pengadilan Negeri untuk memutuskan Penetapan Sementara. Dengan ketentuan ini substansi yang diaturnya adalah hak pemegang saham menggugat, namun bagaimanakah memperjuangkan haknya dan bagaimana kewenangan Pengadilan Negeri tidak diatur dengan jelas. Konsekuensi ketidakdiaturan Penetapan Sementara ini sudah seharusnya dicarikanlah jalan keluarnya dan hal tersebut dapat dengan membandingkan kepada negara yang telah mengaturnya. Australia adalah salah satu negara yang dijadikan sebagai rujukan pembanding dengan pertimbangan Australia memiliki tradisi kuat dan lama mengatur hukum korporasinya. Disamping itu, walaupun dengan sistem hukum yang berbeda dengan Indonesia, tetap menarik untuk mempelajarinya sebagai bahan masukan ke depannya. Di Australia, Section 1324 (1) Corporations Act (Cth) 2001 menetapkan
- The Court may grant injunction:
Where a person has engaged, is engaging or is proposing to engage in conduct that constituted, constitutes or would constitute:
(a) a contravention of this Act; or
(b) attempting to contravene this Act; or
(c) aiding, abetting, counselling or procuring a person to contravene this Act; or
(d) inducing or attempting to induce, whether by threats, promises or otherwise, a person to contravene this Act; or
(e) being in any way, directly or indirectly, knowingly concerned in, or party to, the contravention by a person of this Act; or
(f) conspiring with others to contravene this Act;
The Court may, on the application of ASIC, or of a person whose interests have been, are or would be affected by the conduct, grant an injunction, on such terms as the Court thinks appropriate, restraining the first-mentioned person from engaging in the conduct and, if in the opinion of the Court it is desirable to do so, requiring that person to do any act or thing. In addition, under section 1324 (10), the Court has also power to grant an injunction restraining a person from engaging in particular conduct, or requiring a person to do a particular act or thing, either to or in substitution for the grant of the injunction, or to order that person to pay damages to any other person, if that person is acting in contravention of the Corporations Law.[i]
Berdasarkan kepada pasal 1324 (1) tersebut diatas terdapat kejelasan bahwa Pengadilan di Australia memang berhak memutuskan penetapan sementara dengan ketentuan harus ada gugatan dengan dugaan telah terjadi pertentangan terhadap Corporations Act ini. Disamping itu, pasal ini juga mengatur pelanggaran dikarenakan terjadi aiding, abetting, counselling or procuring a person to contravene this Act, termasuk juga dikarenakan being in any way, directly or indirectly, knowingly concerned in, or party to, the contravention by a person of this Act; sebagai dasar pengugat untuk mengajukan gugatannya ke Pengadilan. Dengan kejelasan dasar alasan dalam menggugat dan menjadikan Pengadilan dapat memutuskan menolak ataupun menerima gugatan pemegang saham dengan dasar ketentuan yang telah diatur oleh pasal 1324 (1) sebagai dasar pertimbangan keputusan. Kejelasan dan kehadiran ketentuan Penetapan Sementara ini juga merupakan bentuk keberpihakan di dalam melindungi pemegang saham minoritas. Hal ini, karena dengan bertentangan salah satu ketentuan yang diatur dalam Corporations Act (Cth) 2001, maka pemegang saham yang dirugikan dapat menggugatnya ke Pengadilan, Dengan demikian tidak salah apabila ada yang berpendapat bahwa pasal 1324 (1) Corporations Act (Cth) 2001 adalah regulasi yang memuat dan mengangkut sebanyak mungkin (“pasal keranjang sampah”) gugatannya pemegang saham minoritas yang dirugikan oleh keputusan sepihak dari pemegang saham mayoritas atau Direksi.
Tidak ada salahnya UU-PT belajar dari ketentuan pasal 1324 (1) Corporations Act (Cth) bagaimana mengatur ketentuan putusan sementara. Dengan menggunakan konsep adopsi terhadap ketentuan ini, maka terbukalah substansi apa yang dapat diberlakukan di dalam UU-PT. Tentu saja tidak mungkin seluruhnya diadopsi begitu saja, tetapi dapat dijadikan rujukan dan kebutuhan untuk mengaturnya adalah pilihan yang dapat ditempuh. Hal ini mengingat di tengah arus globalisasi informasi maka kebutuhan untuk saling pengaruh dan mempengaruhi di dunia yang tanpa batas perekat itu dalam lingkup bisnis internasional menjadi tidak dapat dihindari lagi. UU-PT dengan segala kekurangan yang ada di dalam pengaturannya untuk kehendak melindungi pemegang saham minoritas adalah mendesak untuk mengaturnya Penetapan Sementara sebagai jalan keluarnya. Dengan dasar nalar dan membandingkan ketentuan pasal 1324 (1) Corporations Act (Cth) 2001 sebagai potret bagaimana Australia mengaturnya, maka sudah waktunya UU-PT berkehendak untuk belajar mengaturnya. Kehendak itu adalah kebutuhan untuk dapat melindungi pemegang saham minoritas dari kekuatan dominisasinya pemegang saham mayoritas terhadapnya. Melalui ketentuan penetapan sementara yang dicita-citakan, maka dapat dihindari untuk sementara waktu kemungkinan kerugian-kerugiaan yang akan dapat terjadi. Terakhir, ketiadaan ketentuan penetapan sementara itu bagaikan mengikuti perjalanan jauh sengketa dan berperkara di ruang-ruang Pengadilan hingga batas akhir dengan menelusuri lorong-lorong hitam dan gelap yang tidak tahu ujungnya hendak kemana. Berhentilah (***).
LITERATUR:
Roman Tomasic, Stephen Bottomley, Rob McQueen, Corporations Law in Australia, The Federation Press, 2002.
[i] http://www5.austlii.edu.au/au/legis/cth/consol_act/ca2001172/s1324.html
Published at :