DISKUSI BAGI PARA ANOTATOR PUTUSAN HAKIM
Tiga dosen Jurusan Hukum Bisnis (Business Law) BINUS, yaitu Shidarta, Stijn Cornelis van Huis, dan Paulus Aluk Fajar mendapat undangan untuk menjadi narasumber dan peserta dalam lokakarya penulisan anotasi putusan hakim di Hotel Ibis, Gading Serpong, Tangerang Selatan. Acara ini disponsori oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia, berlangsung selama dua hari, tanggal 23 dan 24 November 2019. Komisi Yudisial sampai lima tahun ke depan memang memiliki program unggulan berupa karakterisasi putusan.
Acara ini dibuka dan ditutup oleh Plt Kapus Analisis dan Layanan Informasi (Palinfo) KY, dihadiri oleh sekitar 20 orang dosen dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, seperti Univeristas Mataram, Universitas Airlangga, Universitas Gadjah Mada, Universitas Padjadjaran, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Universitas Tarumanagara, Universitas Katolik Parahyangan, dan Universitas Bina Nusantara.
Shidarta diundang sebagai fasilitator bersama dengan Dr. Niken Savitri (Unpar) dan Dr. Zainal Arifin Muchtar (UGM). Pada kesemaptan itu mereka membahas tentang aspek-aspek penting dalam penulisan anotasi, baik terkait substansi maupuan teknis penulisan. Mereka yang diundang diharapkan merupakan kontributor dalam program anotasi Komisi Yudisial ini. Hasil dari anotasi ini akan dilmuat dalam aplikasi yang dapat diakses secara mudah oleh para pengguna, khususnya para hakim yang ingin mendapat informasi tentang kaidah yurisprudensi sebagai sumber hukum yang mampu memperkaya putusan mereka.
Dalam satu tahun ditargetkan ada 60 anotasi yang bisa dimanfaatkan oleh para pengguna. Anotasi ini berguna untuk memberi bahan bacaan bagi semua pihak yang berkepentingan untuk memahami secara lebih akurat maksud suatu kaidah yurisprudensi melalui perspektif akademis. Selama ini ditemukan banyak pengutip kaidah yurisprudensi yang disinyalir tidak sempat membaca langsung putusan asli yang melahirkan kaidah yurisprudensi itu. Ketika ditelusuri, ditemukan ada inkonsistensi antara apa yang tercantum dalam putusan asli dengan apa yang kemudian dikutip. Pengutipan yang keliru ini bahkan sampai pada kesalahan dalam pencantuman nomor putusan. Hal-hal seperti ini tentu fatal karena bagaimana pun yurisprudensi adalah sebuah dasar hukum yang harus dikutip secara akurat. (***)