MENCARI MODEL KAJIAN NILAI-NILAI PANCASILA DALAM UNDANG-UNDANG
Pada tanggal 15 November 2019, bertempat di Hotel Ciputra Jakarta, Kedeputian Bidang Hukum, Advokasi, dan Pengawasan Regulasi dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menyelenggarakan diksusi untuk mengkaji dan mengevaluasi produk hukum nasional terkait kandungan nilai-nilai Pancasila. Acara dibuka oleh Plt BPIP Prof. Hariyono, dihadiri antara lain oleh Deputi Bidang Hukum, Advokasi, dan pengawasan Regulasi BPIP Dr. Ani Purwanti.
Shidarta, dosen Jurusan Hukum Bisnis (Business Law) BINUS diundang menjadi narasumber dalam acara ini. Dalam sesi pleno yang dimoderatori oleh Dr. Fendi Setyawan dari FH Universitas Jember, beliau menyatakan problem dalam kajian dan evaluasi seperti ini adalah bentangan materi muatan nilai-nilai Pancasila yang terlalu abstrak di satu sisi, berhadapan dengan materi muatan yang terumuskan secara konkret dalam peraturan perundang-undangan. Bentangan ini membuka peluang tafsir yang terlalu lebar. Oleh sebab, peserta diskusi kali ini yang terdiri dari para peneliti dari berbagai perguruan tinggi hukum di Indonesia, ditawarkan untuk menggunakan pendekatan yang lebih fungsional. Pertama, mereka perlu mencermati terlebih dulu ketentuan-ketentuan normatif dalam peraturan perundang-undangan yang akan diteliti. Mereka harus dapat menginventarisasi ketentuan mana saja yang punya potensi menimbulkan permasalahan hukum. Ketentuan-ketentuan ini lalu dicari asas hukumnya. Kelompok asas yang dimaksud di sini adalah asas-asas sekunder (secondary principles).
Menurut G. Hallevy, yang dikutip oleh Shidarta dalam paparan beliau, asas-asas sekunder ini ada dalam semua area hukum. Ia memberi contoh ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Ketentuan ini, jika dilihat dari areanya bisa bersentuhan dengan empat asas sekunder, yakni asas-asas yang berkaitan dengan apa sumber hukumnya, bagaimana penafsirannya, keberlakuan menurut tempatnya, dan keberlakuan menurut waktunya. Pasal 1 ayat (1) KUHP itu punya penjelasan dan jawaban sendiri-sendiri terkait dengan asas-asas sekunder ini. Setelah itu, bisa dicari lagi ke asas fundamentalnya, dan bertemulah kita dengan asas legalitas. Asas legalitas ini akan terhubung ke asas yang paling tinggi (supra-principle) di dalam area hukum pidana, yaitu asas kebebasan memilih (free choice).
Shidarta mengingatkan bahwa asas-asas itu, mulai dari supra-principle, fundamental principles, dan secondary principles, sudah disediakan oleh tiap-tiap area atau cabang ilmu hukum. Asas-asas ini penting diketahui terlebih dulu oleh para pengkaji dan pengevaluasi hukum, dengan memastikan di area mana peraturan perundang-undangan itu berada, serta dalam konteks apa pasal-pasal yang ingin dinilai.
Dengan model kajian yang ditawarkan oleh Shidarta ini, diharapkan bentangan yang terlalu jauh antara nilai-nilai Pancasila dan ketentuan peraturan perundang-undangan, relatif dapat terjembatani. Jembatan itu berupa asas-asasnya yang terdiri dari tiga cakupan tadi, mulai dari asas supra, fundamental, dan sekunder. (***)