PENGUATAN KELEMBAGAAN KPPU DALAM RUU PENGGANTI UU NO. 5 TAHUN 1999
Oleh SHIDARTA (November 2019)
DPR-RI periode 2019-2024 memulai lagi pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Jika rancangan ini berhasil digiring menjadi undang-undang, berarti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 akan ditinggalkan setelah diterapkan selama 20 tahun.
Menurut naskah akademik dari RUU ini, ada enam hal yang diidentifikasi sebagai permasalahan utama sebagai pemicu pergantian tadi. Jika dikelompokkan berdasarkan area hukumnya, maka masing-masing ada dua hal berkaitan dengan kelembagaan KPPU, hukum substansial, dan hukum formal.
- KELEMBAGAAN: (a) Ketidakjelasan kedudukan KPPU sebagai lembaga dalam UU No. 5 Tahun 1999 yang berimplikasi pada pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenangnya. Selain itu, dalam kelembagaan KPPU juga belum diatus secara komprehensif status anggota KPPU, proses rekrutmen, pengangkatan dan pemberhentian, penggantian antar-waktu, kode etik, serta penegakan kode etik; (b) Ketidakjelasan kedudukan KPPU juga membawa implikasi pada sistem pendukung KPPU, di mana status kelembagaan KPPU yang belum terintegrasi dengan sistem kelembagaan dan kepegawaian nasional (meskipun pembiayaan operasional KPPU bersumber dari APBN), tidak jelasnya rekrutmen dan status pegawai yang ada (mayoritas pegawai yang diangkat oleh Ketua KPUU), pembinaan karir, dan tidak tepatnya kedudukan sekretaris KPPU sebagai lembaga pendukung administrasi sekaligus memberikan dukungan teknis.
- HUKUM SUBSTANSIAL: (a) Persoalan definisi dari pelaku usaha yang diberikan oleh UU No. 5 Tahun 1999 juga menjadi tidak dapat menjangkau atau tidak dapat memberikan kewenangan dalam penegakan hukum persaingan usaha, khususnya terhadap praktek anti persaingan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang berdomisili hukum di luar wilayah Indonesia, tetapi praktik anti-persaingan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha tersebut berdampak bagi pasar dan perekonomian Indonesia; (b) Pengaturan yang kurang tepat mengenai penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan (merger) di dalam pasal 29 UU No. 5 Tahun 1999, yaitu diberlakukannya rezim notifikasi pasca-merger sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 yang mengatur bahwa sebuah merger selambat-lambatnya dilaporkan 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal merger tersebut berlaku efektif. Dengan pemberlakuan rezim notifikasi pasca-merger dapat dimungkinkan KPPU memerintahkan pelaku-pelaku usaha yang telah melakukan merger untuk berpisah kembali karena merger tersebut dinilai anti persaingan. Pemberlakuan notifikasi pasca-merger tersebut sangatlah merugikan pelaku usaha, di mana hampir seluruh memberlakukan notifikasi pra-merger.
- HUKUM FORMAL: (a) Kewenangan KPPU masih dianggap kurang mendukung tugas yang diamanatkan oleh UU No. 5 Tahun 1999 kepada KPPU, di mana KPPU selama ini mengalami kesulitan untuk mendapatkan bukti- bukti yang dibutuhkan di dalam proses pemeriksaan, dikarenakan selama ini bukti-bukti didapatkan KPPU tersebut sebagian besar masih sangat tergantung dari bukti-bukti yang diserahkan oleh pihak pelaku usaha yang diperiksa, yang hal ini sangat berpengaruh kepada hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh KPPU; (b) Pengaturan yang belum komprehensif mengenai mekanisme dan tata cara penyelesaian perkara persaingan usaha, seperti pelaporan, penyelidikan, pengambilan alat bukti, pemeriksaan pelapor, saksi, terlapor, dan ahli, alat bukti dan sistem pembuktian, persidangan, upaya hukum, dan eksekusi putusan di KPPU mengingat status KPPU sebagai lembaga semi-peradilan yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999. Selain itu, belum diatur juga mengenai perlindungan dan penghargaan kepada saksi pelapor yang memberikan informasi kepada KPPU.
Tulisan singkat ini akan membahas satu sisi saja, yaitu dari aspek kelembagaan, kendati disadari aspek ini pasti berkelindan dengan dua aspek lainnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa posisi dan status kelembagaan KPPU selama ini memang kurang jelas. Ia didaulat sebagai sebuah komisi independen, sehingga memang ia tidak boleh ditarik menjadi institusi di bawah kementerian manapun. Kunikannya adalah KPPU merupakan lembaga pengawas sekaligus pemutus (adjudikasi). Dalam pengawasan itu, ia menjalankan fungsi untuk menyelidiki dan “menyidik” dugaan pelanggaran persaingan usaha. Untuk itu, penguatan kelembagaan ini tidak boleh sekadar dimaknai secara sempit sebagai pemberian jaminan keamanan kerja (job security) bagi pihak-pihak di internal KPPU, melainkan harus benar-benar tercermin dari peningkatan kewibawaan lembaga ini di mata publik. Salah satu indikatornya adalah makin independennya KPPU, dengan antara lain ditunjukkan dari adanya jarak yang sama antara KPPU dengan semua pelaku usaha, baik itu badan usaha milik negara/daerah atau milik swasta. Kesamaan perlakuan (equal treatment) ini bakal berbuah pada penghormatan atas proses yang dijalankan dan produk (putusan) KPPU.
Sayangnya, tidak ada hal baru dalam RUU yang menarik untuk dapat dikatakan bakal menjamin adanya signifikansi peguatan kelembagaan KPPU. Hal baru yang pertama-tama ditemukan adalah pernyataan bahwa anggota KPPU adalah pejabat negara (Pasal 42 ayat [5] RUU). Kemudian, dalam ketentuan peralihan dinyatakan bahwa dengan pemberlakuan undang-undang yang baru nanti, maka status pegawai KPPU adalah aparatur sipil negara (ASN). Menarik untuk mempertanyakan, seberapa perubahan minimalis demikian mampu menjawab penguatan (setidaknya secara secara yuridis) posisi dan status kelembagaan KPPU?
Penegasan bahwa pegawai KPPU adalah ASN memang sangat mungkin akan memberi keamanan kerja (job security) bagi para pegawai dan mencegah terjadinya arus keluar mereka ke tempat lain (brain drain). Dalam praktik, ada sejumlah pegawai KPPU yang karena alasan personal, lalu pindah kerja ke tempat lain. Akan jadi masalah, jika tempat tujuan kerjanya yang baru itu adalah perusahaan atau kantor hukum yang tengah atau pernah berada dalam pengawasan, bahkan mungkin sudah dikenakan sanksi oleh KPPU. Untuk itu, secara kelembagaan sangat penting untuk menetapkan persyaratan yang jelas bagi anggota KPPU dan pegawai KPPU, baik saat sebelum direkrut, selama bekerja, dan tatkala masa karir mereka berakhir di KPPU.
Formulasi RUU tampaknya masih belum sistematis menyoroti hal-hal demikian. Sebagai contoh sederhana, dalam Pasal 44 huruf h RUU dinyatakan bahwa salah satu syarat untuk menjadi anggota KPPU adalah bahwa yang bersangkutan tidak berada dalam satu ikatan perkawinan dengan sesama anggota KPPU. Ini artinya, syaratnya hanya larangan hubungan semenda saja. Komplikasi terjadi tatkala ketentuan tersebut dihubungkan dengan Pasal 46 yang menyatakan bahwa seorang anggota KPPU akan diberhentikan jika memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua dan/atau semenda dengan anggota KPPU lainnya dan tidak ada satu pun yang mengundurkan diri dari jabatannya. Pasal 46 ini memuat larangan hubungan keluarga sedarah dan/atau semenda, yang artinya lebih spesifik daripada pasal sebelumnya. Hal lain lagi, tentang usia. Bagi anggota KPPU, usia yang dimungkinkan saat direkrut adalah 30 tahun sampai dengan 60 tahun. Pertanyaannya: seandainya ada seseorang diangkat pertama kali sebagai anggota KPPU pada usia 57 tahun, sampai berapa lama ia boleh tetap menjadi anggota KPPU? Apakah sampai berakhir periode keanggotaannya atau sampai usia 60 tahun? Hal ini menjadi problematika karena Pasal 46 menyatakan bahwa salah satu alasan seseorang diberhentikan sebagai anggota KPPU adalah karena ia tidak lagi memenuhi salah satu syarat menurut Pasal 44. Dengan demikian, ketentuan syarat usia menurut Pasal 44 bisa diperluas maknanya, yang berarti selepas usia 60 tahun pun seseorang tidak lagi memenuhi syarat mengemban tugas sebagai anggota KPPU.
- Setiap orang yang menjabat sebagai anggota KPPU, pejabat atau pegawai KPPU dilarang menggunakan atau mengungkapkan informasi apa pun yang bersifat rahasia kepada pihak lain, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya berdasarkan Keputusan KPPU atau diwajibkan oleh undang-undang.
- Setiap orang yang pernah menjabat sebagai anggota KPPU, atau pernah menjabat sebagai pejabat struktural atau pegawai KPPU dilarang menggunakan atau mengungkapkan informasi apa pun yang bersifat rahasia kepada pihak lain.
- Setiap orang yang mengetahui informasi yang bersifat rahasia, baik karena kedudukannya, profesinya, sebagai pihak yang diawasi, atau memiliki hubungan dengan KPPU, dilarang menggunakan atau mengungkapkan informasi yang bersifat rahasia kepada pihak lain, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya berdasarkan Keputusan KPPU atau diwajibkan oleh undang-undang.
- Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai kerahasiaan, penggunaan, dan pengungkapan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), diatur dalam Peraturan KPPU.
Ketentuan tentang kerahasiaan informasi ini termasuk hal baru dalam pengaturan kelembagaan KPPU dalam RUU, apalagi disebutkan adanya sanksi pidana. Di sini tidak disebutkan apa sanksi pidana yang secara spesifik berkaitan dengan pelanggaran itu, kecuali dengan kata-kata “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Bagi eks anggota dan pegawai KPPU, adalah hak bagi mereka untuk bekerja di manapun setelah mereka usai bertugas di KPPU. Praktis, semua perusahaan (badan usaha) di Indonesia adalah objek [paling tidak, berpotensi sebagai objek] pengawasan KPPU, sehingga praktis tidak mungkin melarang mereka untuk masuk ke dalam perusahaan-perusahaan ini.
Dalam hal di kemudian hari didapati ada pelaku usaha yang memanfaatkan informasi dari eks “orang dalam” (mantan anggota atau pegawai KPPU) untuk kepentingan yang melanggar UU di bidang persaingan usaha ini, maka jalan terbaik adalah dengan menerapkan sanksi pidana bagi pihak-pihak yang melanggar kerahasiaan informasi tersebut. Wilayah kewenangan penegakan sanksi pidana ini sudah berada di luar institusi KPPU. Untuk itu sangat perlu ditelaah undang-undang lain yang sudah menampung tindak pidana seperti ini. Jika belum tersedia, ada baiknya RUU ini menawarkan rumusan ketentuan pidana untuk hal yang krusial ini.
Penguatan kelembagaan KPPU juga harus didukung oleh jaringan kerja sama. Dengan kapasitas KPPU seperti sekarang, sangat tidak mungkin untuk meminta lembaga ini mendata dan menganalisis sekian banyak pemain di semua sektor usaha. Ketersebaran perguruan-perguruan tinggi di semua daerah di Indonesia dengan sumber daya dosen yang melimpah adalah jejaring yang wajib diberdayakan. Alangkah indahnya jika tiap-tiap perguruan tinggi ini menyediakan diri membentuk pusat-pusat kajian persaingan usaha, yang secara rutin mempublikasikan laporan penelitian mereka. Jalinan kerja sama saling menguntungkan antara KPPU dan pusat-pusat kajian seperti itu perlu ikut diberikan penekanan dalam penguatan kelembagaan KPPU di masa depan.
Pembahasan tentang penguatan kelembagaan ini punya korelasi yang sangat erat dengan penambahan kewenangan KPPU dari sisi hukum acara (topik berbeda dari tulisan ini). Bukan rahasia umum bahwa lemahnya kewibawaan KPPU di mata pelaku usaha, menyebabkan pelaku usaha mengabaikan peringatan dan penerapan sanksi yang diberikan KPPU. Sampai tahun 2018 saja, ada lebih dari 200 putusan KPPU yang tidak dapat dieksekusi. Penyebab terbesarnya adalah pengabaian dari pelaku usaha, di samping adanya sinyalemen “main mata” antara pelaku usaha dan para politisi di daerah-daerah. Lebih tragis lagi, pengabaian ini direkomendasikan pula oleh masing-masing penasihat hukum mereka. Padahal, pengabaian demikian dalam UU No. 5 Tahun 1999 sudah termasuk dalam kategori tindak pidana. Dalam praktik, kita melihat bahwa pihak Kepolisian pun tidak terlalu yakin untuk membantu KPPU dalam proses eksekusi ini, antara lain karena posisi dan status kelembagaan KPPU yang terbilang “remang-remang” dari unsur struktur sistem hukum kita. Koordinasi antara dua institusi ini adalah conditio sine qua non bagi kelembagaan KPPU kita. (***)