People Innovation Excellence

KAJIAN BUDAYA HUKUM MELALUI TEORI REGANGAN ROBERT K. MERTON

Oleh SHIDARTA (November 2019)

Dalam peneltian tentang budaya hukum, ada banyak teori yang bisa dijadikan sebagai landasaan dan kerangka berpikir. Salah satu di antaranya Teori Regangan (strain theory) dari Robert King Merton (1910-2003). Kata “regang” di sini sengaja saya gunakan sebagai terjemahan dari kata “strain” untuk memberi kesan adanya tarik-menarik dari berbagai aspek. Tali yang meregang adalah tali yang ditarik dari dua atau lebih posisi yang saling bertolak belakang, sehingga tali itu tidak kendur. Demikianlah, keregangan itu terjadi dalam kehidupan yang mempertontonkan pola-pola perilaku tertentu akibat dari tarikan berbagai aspek kemasyarakatan.

Menurut Merton, sosiolog Amerika Serikat yang terlahir dengan nama Meyer Robert Schkolnick ini, masyarakat dapat dianalisis dari dua aspek utama, yaitu budaya dan struktur sosial. Ketika orang berbicara tentang budaya, maka di dalamnya terkandung tujuan-tujuan kemasyarakatan (goals), berupa nilai-nilai, keyakinan, dan identitas yang dikembangkan di ranah budaya setempat. Namun, budaya tadi tidak berdiri sendiri. Ia terbentuk sebagai tanggapan atas struktur sosial yang sudah ada di dalam masyarakat itu. Hal ini mengisyaratkan bahwa perilaku manusia tidak pernah independen. Perilaku mereka selalu didorong oleh faktor-faktor heteronom atau faktor-faktor eksternal (di luar diri mereka).

Seharusnya, tiap budaya sudah menyediakan cara-cara (means) sebagai sarana bagi semua anggota masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan ini, sehingga ada tujuan-tujuan dan cara-cara yang bermuatan nilai-nilai budaya (culturally-valued goals and culturally-valued means). Sebagai contoh, orang-orang di Amerika Serikat berbicara tentang “Impian Amerika” (American Dream). Ungkapan ini mengarahkan setiap warga Amerika untuk menggapainya. Impian Ameika ini, bagi Merton, identik dengan tujuan budaya Amerika, yaitu berpenghasilan mapan, punya rumah besar dan keluarga harmonis. Inilah tujuan budaya bagi orang Amerika kebanyakan. Persoalannya, adalah bagaimana tujuan budaya ini bisa dicapai? Dalam hal ini orang lalu berbicara tentang cara-cara berperilaku berbasiskan budaya, yakni cara-cara yang sudah terlembagakan menurut masyarakat setempat.

Di dalam praktik, tentu saja tidak semua individu atau kelompok masyarakat mampu merebut peluang mengapai tujuan tadi, sehingga hal ini membuat mereka frustasi, bahkan memicu kemarahan. Keadaan demikian pernah disebut oleh Durkheim sebagai anomie (the state of normlessness). Keadaan anomie ini memunculkan adaptasi berperilaku, yang sangat mungkin justru menyimpang dari ekspektasi awal (ideal). Merton menyebut hal ini sebagai tipologi penyimpangan (deviance typology) seperti tercantum dalam tabel di bawah. Namun, patut dicatat bahwa sebenarnya perilaku konformitas (conformity) tidak dapat dipandang sebagai penyimpangan (deviance). Penyimpangan terjadi pada empat tipe adaptasi perilaku yang lain.

Merton's Typology of Modes of Adaptation

Saya mencoba menyederhanakan penjelasan terhadap tabel dari Merton di atas sebagai berikut:

TUJUAN CARA ADAPTASI YANG DILAKUKAN KETERANGAN
Terima

(+)

Terima

(+)

Konformitas (conformity) Subjek melakukan sepenuhnya apa yang sudah ditetapkan secara formal dalam rangka mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan. Hal ini kerap terjadi pada kelas menengah di lapisan tertinggi yang sukses menggapai kemapanan hidup.
Terima

(+)

Tolak

(-)

Inovasi (innovation) Subjek ingin sekali mencapai tujuan, tapi karena tidak dapat menggunakan cara yang dianjurkan, ia menggunakan cara berbeda. Prinsipnya, jika tidak bisa secara legal, cara-cara ilegal terkadang juga ditempuh. Hal ini kerap dipraktikkan oleh kelas rendah di masyarakat.
Tolak

(-)

Terima

(+)

Ritualisme (ritualism) Subjek menjalankan cara-cara yang ditentukan sebagai formalitas semata, tetapi sebenarnya ia sudah tidak lagi mengarah ke tujuan semula. Ia

punya tujuannya sendiri yang berbeda. Hal ini terjadi pada kelas menengah lapisan bawah.

Tolak

(-)

Tolak

(-)

Retreatisme (retreatism) Subjek menolak tujuan dan cara semula, dan kemudian bersikap pasif (tidak peduli dan putus asa). Subjek merasa gagal dan meresponsnya dengan berperilaku berbeda, sekalipun tidak melanggar hukum. Perilaku ini ditunjukkan oleh kelas menengah di lapisan tertinggi, yang ternyata gagal menggapai tujuan yang ditetapkan.
Tolak lama dan terima baru

(±)

Tolak lama dan terima baru

(±)

Pemberontakan (rebellion) Subjek menolak tujuan dan cara semula, tapi aktif menentukan sendiri tujuan dan cara yang baru. Ini berarti ada nilai-nilai baru yang menjadi tujuan, yang berbeda dengan tujuan semula. Hal ini dijalankan oleh para pejuang di lapisan rendah dalam masyarakat.

 

Dalam artikel pendek ini, akan ditunjukkan satu contoh sederhana tentang larangan merokok pada sebuah perusahaan yang kebetulan bergerak dalam bisnis periklanan (advertising). Tujuan dari larangan ini dan teknis pelaksanaannya ditetapkan dalam peraturan perusahaan. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa perusahaan ingin agar karyawan dan keluarganya hidup lebih sehat dengan meninggalkan kebiasaan merokok. Untuk itu, dikampanyekan betapa bahayanya tembakau yang terkandung dalam rokok kretek. Dinyatakan, tiap batang rokok kretek mengandung tidak kurang dari 600 zat dan ketika dibakar ada lebih dari 7.000 bahan kimia yang dihasilkan. Penelitian menunjukkan, sedikitnya ada 69 bahan kimia di antaranya yang beracun dan menjadi pemicu kanker. Untuk itu perusahaan menetapkan, baik di dalam jam kerja maupun di luar jam kerja, semua area tempat perusahaan itu berada harus bebas dari asap rokok yang berbahaya itu.

Di sini kita melihat bahwa di dalam peraturan perusahaan itu sudah ditetapkan tujuan bersama dari seluruh karyawan untuk hidup sehat dengan menjauhi kebiasaan menghisap rokok. Caranya adalah dengan memberlakukan peraturan perusahaan tersebut. Bagi karyawan yang melanggar aturan ini akan dikenakan sanksi tegas, mulai dari peringatan lisan sampai dengan pemecatan.Terhadap peraturan ini, setiap karyawan memiliki pilihan sikap dan perilaku.

Pertama, ada karyawan yang tunduk patuh mengikuti bunyi peraturan formal. Mereka yang menjadi perokok aktif kini tidak lagi merokok. Karena tujuan dari larangan ini untuk meningkatkan kesehatan, maka mereka bahkan memutuskan untuk berhenti merokok sama sekali.

Kedua, bagi yang dapat menerima tujuan, tetapi masih ingin tetap merokok dengan cara-cara yang dipandang lebih aman, akan melakukan inovasi. Mereka mengganti cara merokok dengan tidak lagi menghisap rokok tembakau. Mereka lalu menggantikannya dengan rokok elektronik (electronic cigarette) atau vape. Bagi sebagian perokok elektronik, cara ini dipandang sebagai cara merokok yang “sehat” dan mereka akan berargumen bahwa dengan menghisap rokok elektronik, tidak terjadi pelanggaran terhadap peraturan perusahaan. Rijkschroeff (2001) mengatakan, perilaku seperti ini biasa dipraktikkan oleh lapisan rendah dalam masyarakat yang gagal mengikuti cara yang lazim. Mereka tidak segan-segan mencari cara yang ilegal apabila cara legal tidak berhasil dijalankan.

Namun, ada yang menganggap tujuan dari larangan merokok ini tidak bisa diterima. Kalimat yang ditayangkan di dalam iklan dan di bungkus-bungkus rokok (“merokok itu membunuhmu!”), adalah kampanye terselubung dari pemilik brand rokok luar yang takut bersaing dengan rokok-rokok kretek lokal. Mereka juga tidak yakin dengan testimoni bahwa rokok itu merupakan antiseden dari kanker tenggorokan dan paru-paru karena ada cukup banyak orang yang sampai tua menjadi perokok aktif dan terbukti tetap sehat walafiat. Hanya saja, orang-orang yang berpandangan seperti ini merasa bahwa mereka tetap wajib taat pada aturan perusahaan dengan cara-cara yang sudah diformalkan itu. Mereka menghormati aturan itu. Ketaatan secara formalitas ini diperlihatkan selama ada pengawasan pimpinan perusahaan. Aturan itu tidak berlaku ketika mereka berada di luar jangkauan pengawasan perusahaan.

Pilihan keempat adalah dengan menarik diri, baik dari tujuan maupun cara yang ditetapkan dalam peraturan. Kelompok karyawan ini tidak setuju dengan larangan seperti itu, tetapi tidak berdaya untuk melawannya. Dengan alasan-alasan yang menurut mereka sangat prinsip, orang-orang yang berpendirian demikian kemudian memutuskan menghindar dari beban menjalankan peraturan perusahaan yang tidak disetujuinya itu. Mereka memutuskan mengundurkan diri dari perusahaan. Pilihan demikian disebut oleh Merton sebagai retretisme.

Berbeda dengan pilihan keempat itu, ada satu kelompok lagi karyawan perusahaan yang menolak tujuan dan cara yang tertera dalam perusahaan. Orang-orang ini lalu merumuskan tujuan dan cara baru terkait larangan merokok ini. Bagi mereka, merokok atau tidak merokok adalah urusan selera yang berada di ranah privat. Mereka mengaitkan dengan jenis usaha yang digeluti oleh perusahaan tempat mereka bekerja, yaitu di bidang periklanan. Klien utama perusahaan mereka sampai saat ini adalah perusahaan-perusahaan besar dari industri rokok nasional. Sangat ironis jika perusahaan periklanan ini memproduksi iklan-iklan rokok untuk klien mereka, padahal secara internal perusahaan itu meminta karyawannya sendiri tidak merokok. Untuk itu, mereka menawarkan agar peraturan ini dicabut, diganti saja dengan himbauan menghormati hak-hak dari rekan-rekan kerja yang bukan perokok (selama ini rekan-rekan itu terpaksa menjadi perokok pasif). Mereka lalu menyiapkan ruang-ruang khusus bagi karyawan yang tetap bertahan berstatus sebagai perokok aktif. Pilihan kelima ini disebut sebagai pemberontakan (rebellion).

Jika kita perhatikan, pilihan adaptasi konformitas adalah pilihan yang sekilas tampak paling lemah dari sisi independensi subjek pelaku perbuatan itu. Mereka tunduk patuh pada peraturan dengan mengamini tujuan dan cara yang disediakan oleh perusahaan. Namun, boleh jadi alasannya tidaklah demikian. Pilihan ini diambil karena tingkat persetujuan penuh terhadap tujuan dan cara yang mereka anggap sudah baik dari peraturan itu. Sebaliknya pada kubu paling kuat adalah adaptasi pemberontakan, yang berani “membantah” sekaligus berperan aktif untuk mengganti tujuan dan cara awal yang ditetapkan dalam peraturan.

Pilihan beradaptasi para inovator biasanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan berkelit dari hukum. Mereka punya sumber daya untuk melakukan itu karena berinovasi mencari cara alternatif tentu membutuhkan kemampuan tersendiri. Pelaku kejahatan kerah putih (white collar crimes) biasanya memilih jalan ini.

Kaum ritualis adalah pelaku yang paling banyak kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka berpura-pura taat pada aturan semata-mata karena tengah diawasi dan/atau karena takut terhadap sanksi. Cara berhukum yang masih mengandalkan karakter imperatif hipotetis seperti ini biasanya diterapkan pada tahap-tahap awal pelembagaan hukum karena praktis cara ini membutuhkan energi yang sangat besar untuk menjalankan pengawasan secara ketat dan terus-menerus bagi setiap pelaku potensial pelanggaran.

Dalam budaya hukum, kita biasanya cepat terkesan dengan para penganut konformitas ini dan cenderung untuk menyalahkan semua perilaku menyimpang. Padahal, dalam kaca mata sosiologi hukum, kita diminta untuk mencari tahu apa latar belakang (faktor-faktor) dari penolakan subjek-subjek itu terhadap tujuan dan/atau cara yang ditawarkan, kendati tujuan dan cara itu telah dikukuhkan melalui prosedur yuridis formal dalam bentuk hukum positif.

Dalam penegakan hukum, biasanya aspek yang paling kerap ditolak bukanlah tujuan, melainkan penggunaan cara berhukum yang tidak kondusif dalam mendukung tujuan itu. Masyarakat diminta untuk berbudaya hukum yang baik, tetapi tidak dibekali dengan cara-cara yang sejalan dengan tujuan penegakan hukum itu. (***)


REFERENSI:

Merton, R.K. (1968). Social Theory and Social Structure.  New York: Free Press.

Rijkschroeff, B.R. (2001). Sosiologi, Hukum dan Sosiologi Hukum. Editor Wila Chandrawila Supriadi. Terjemahan F. Tengker. Bandung: Mandar Maju.

Tepperman, L. & Curtis, J. (2006). Principles of Sociology: Canadian Perspectives, Toronto (Canada): Oxford University Press.

Sumber skema; <https://www.researchgate.net/figure/Mertons-Typology-of-Modes-of-Adaptation_tbl1_240570404>

 


 


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close