People Innovation Excellence

TAFSIR DELIK MENEBAR “BERITA BOHONG” DAN “KEBENCIAN”

Oleh: Ahmad Sofyan

Delik-delik menebar kabar bohong dan menebar kebencian yang marak belakangan ini sebenarnya merupakan delik-delik yang “usang” karena sudah ada di KUHP yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial di Indonesia sejak tahun 1918. Delik-delik ini diberlakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan pemerintah kolonial di negara jajahannya. Pasal ini dimaksudkan untuk melegitimasi penguasa dari berbagai bentuk kritik, atau ucapan yang dapat mengganggu stabilitas pemerintah kolonial. Artinya, bagaimana mengkriminalisasi “freedom of opinion” dengan memasukkan segala macam ucapan yang mengkritik negara, suku dan agama sebagai bagian dari kejahatan ketertiban umum. Tiga kelompok ini bagi penguasa jajahan adalah hal yang haram untuk dikritik, karena itu diberikan ancaman pidana dalam Wetboek van Strafrecht meskipun tidak menimbulkan akibat yang dilarang sama sekali. Delik “freedom of opinion” yang diatur dalam kitab colonial ini sama sekali tidak memberikan batasan tentang kebebasan yang dilarang, sehingga negara bisa masuk terlalu jauh terhadap segala macam ucapan, meskipun ucapan tersebut tidak adequate menimbulkan bahaya.

Pengaturan KUHP tentang delik menebar kebencian digolongkan menjadi dua kelompok yang didasarkan pada   objek yang dijadikan sasaran yaitu (1) sasaran yang ditujukan kepada penguasa, ini ada di Pasal 154, 155 (2) sasarannya kepada golongan penduduk/ras dan agama diatur dalam Pasal 156 dan 156a. kedua kelompok delik ini menjadi dasar untuk menjaga ketertiban di dalam masyarakat jajahan sehingga pemerintah kolonial dapat melangsungkan misi jajahannya di bumi Indonesia. Delik kolonial, membelenggu masyarakat jajajahan untuk tidak bersuara kritis, tidak boleh berbeda pendapat, menjaga adat yang tidak boleh berbeda dengan adat lainnya, agar “ketentraman” terjaga sehinga “misi dan visi” pemerintah kolonial tercapai.

Melalui Putusan MK No. 6/PUU-V/2007 Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal ini dinilai bertentangan dengan Pasal 28D dan 28E ayat 2 dan 3 UUD 1945. Dengan dicabutnya kedua Pasal ini, maka menyampaikan pendapat baik berupa kritik, atau apapun bentuknya yang ditujukan kepada penguasa (pemerintah) bukanlah tindak pidana. Ini menunjukkan bahwa freedom of opinion yang diberikan oleh UUD dasar tidak dikriminalisasi oleh KUHP buatan penjajah. Namun Pasal 156 dan 156a masih dinyatakan berlaku sehingga batasan ini menyampaikan pandangan yang berbeda (yang menurut KUHP disebut dengan  pernyataan permusuhan) masih bisa dipidana.

Lalu bagaimana pengaturan delik menyebar kebohongan dan kebencian dalam rezim UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik)? Undang-Undang ITE  yaitu UU No. 11 Tahun 2008 di dalam Pasal 28 ayat (1) dan (2) juncto Pasal 45 ayat (2) diperkuat dengan revisi UU 11 tahun 2008 melalui UU No. 19/2016 Pasal 45A ayat (1) dan (2). Dalam kedua pasal tersebut delik yang dilarang adalah delik yang menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik (ayat 1) dan delik yang menimbulkan rasa kebencian/permusuhan  pada individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan).

Perbedaan Dua Rezim

Untuk dapat mengetahui perbedaan delik menyebar kebohongan dan kebencian dari dua rezim ini maka perlu mengetahui substansi pasalnya. Berikut ini akan ditampilkan secara utuh isi Pasal 156 dan Pasal 156a KUHP serta Pasal 45A ayat (1) dan (2) UU No. 17/2016 :

 

 

KUHP UU ITE (UU 17/2016)
Pasal 156

Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Pasal 45A

(1)      Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).

(2)      Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/ata kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling bnayak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).

 

Pasal 156a

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

 

 

 

 

Kedua undang-undang ini mengandung delik yang sama yaitu pelarangan menebar kebencian dan rasa permusuhan, meskipun ada aspek yang berbeda dalam beberapa hal selain itu  kedua undang-undang ini mengandung unsur yang tidak sama. Secara umum perbedaan kedua undang-undang ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

 

Unsur Pembeda Pasal 156 dan Pasal 156a KUHP Pasal 45A ayat (1) dan (2) UU 17/2016
Bentuk perumusan Delik formil Delik Materiil
Jenis delik (1) Perasaan kebencian/permusuhan pada golongan

(2) Perasaan permusuhan/penodaan agama

(3) Mengajak orang untuk tidak menganut agama

(1)  Berita bohong melalui elektronik yang menimbulkan kerugian pada konsumen

(2)  Menyebarkan informasi yang menimbulkan kebencian/permusuhan SARA

KUHP merumuskan delik perasaan permusuhan secara formil, artinya begitu perbuatan dilakukan tanpa harus menunggu akibatnya terjadi. Dalam konteks hukum pembuktian, delik formil lebih mudah dibuktikan dari pada delik materiil. Delik formil menghendaki perbuatan dilakukan dan memenuhi unsur delik tanpa harus menunggu akibatnya terjadi. Sementara itu, dalam delik materill diperlukan akibat yang dilarang timbul, dan akibat yang dilarang ini merupakan akibat dari perbuatan yang dilakukan, dan perbuatan itu memiliki hubungan dengan timbulnya akibat yang dilarang, sehingga untuk mengukurnya diperlukan ajaran kausalitas.

Sementara itu, delik yang dirumuskan dalam Pasal 45A ayat (1) dan (2) dirumuskan secara materiil, ini artinya selain unsur perbuatan yang harus dipenuhi, maka unsur akibat yang dilarang juga harus muncul, dan harus ada hubungan antara perbuatan dengan timbulnya akibat tersebut, dan akibat ini pun harus bisa diukur. Alat ukur yang bisa digunakan untuk mengukur akibat ini adalah ajaran kausalitas. Dalam proses pengukuran ini ada beberapa opsi ajaran kausalitas yang dapat dipergunakan yaitu conditio sine qua non, individualisasi, generalisasi, atau relevansi. Pilihan atas keempat jenis ajaran kausalitas ini sangat tergantung konteks kasusnya, artinya ajaran kausalitas tidak bisa digeneralisasi untuk semua kasus.

Sebagai contoh seseorang (A) yang menyebarkan informasi yang mengejek dan menghina satu agama tertentu di media sosial, lalu informasi tersebut menimbulkan pertikaian antar agama, dan terjadi kakacauan yang luar biasa sehingga menimbulkan pembakaran pada rumah ibadah agama tertentu bahkan menimbulkan kematian. Dalam kasus ini ternyata faktor yang menimbulkan kekacauan bukan saja informasi yang disebarkan di media sosial, tetapi konflik agama tersebut sudah lama terpendam antar dua kelompok agama tersebut, namun puncaknya adalah ketika chat media sosial tersebar di kelompok agama tertentu, sehingga menyerang orang yang menyebarkan chat tersebut, dan timbul saling serang. Dalam kasus, ini dapat dikatakan, bahwa ajaran kausalitas punya peranan penting untuk menentukan perbuatan apa saja yang menimbulkan akibat kekacauan tersebut, serta keterkaitan antara perbuatan (perbuatan-perbuatan) yang menimbulkan kekacauan tersebut. Pertanyaannya, apakah Pasal 45A ayat (2) dapat dipergunakan? Perbuatan apa saja yang menimbulkan permusuhan/kekacauan? Siapakah yang bertanggung jawab atas timbulkan kekacauan/pembakaran/kematian? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak sederhana, dan jawaban juga perlu analisa yang panjang lebar sehingga dalam artikel yang pendek ini tidak cukup ruang untuk menjawabnya.

Perbedaan berikutnya adalah  tentang jenis delik. Pasal 156 dan 156a KUHP menentukan ada tiga jenis delik yaitu (1) Perbuatan menyatakan perasaan permusuhan/kebencian pada  golongan tertentu (2) menyatakan perasaan/perbuatan penodaan agama tertentu (3) mengajak orang atau sekelompok orang untuk tidak menganut agama tertentu berdasarkan Ketuhanan YME. Ketiga jenis delik yang dilarang ini dilakukan dengan cara apapun, bisa lisan, maupun tulisan namun disampaikan di depan umum oleh seseorang atau sekelompok orang.

Pernyataan permusuhan atau kebencian dapat diartikan sebagai ucapan, gagasan, ekspresi yang mengandung unsur penghinaan atau unsur kebencian yang merencahkan martabat seseorang bahkan ketika ucapan tersebut diungkan dapat menimbulkan gangguan pada mental atau psikologi seseorang atau perasaan yang tidak nyaman dan bergejolak. Pernyataan tersebut juga mengandung unsur deskriminatif pada kelompok tertentu sehingga kelompok tersebut merasa terhina dan martabatnya direndahkan atau dilecehkan. Pernyataan kebencian menimbulkan dampak berupa kekerasan yang dilakukan oleh orang lain atau berpotensi timbulnya kekerasan atau kerusuhan. Dengan demikian jika pernyataan tersebut tidak berpotensi menimbulkan kerusuhan/kekerasan pada golongan tertentu maka pernyataan tersebut tidak atau belum dapat digolongan sebagai pernyataan kebencian.

Selain itu, ada unsur lain yang perlu dibuktikan yaitu pernyataan tersebut harus disampaikan di “depan umum”. “Depan umum” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai tempat yang bisa diakses oleh umum, tempat dimana orang bisa datang dan pergi tanpa halangan. R. Soesilo menyatakan “depan umum” diartikan sebagai tempat yang dilalui, didatangi oleh orang banyak, misalnya di jalanan, di bioskop, di pasar. S.R. Sianturi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “depan umum” atau “secara terbuka umum” (openbaar atau hampir sama dengan openlijk) ialah di suatu tempat di mana umum dapat mendatangi tempat itu atau di suatu tempat yang dapat dilihat, didengar, atau disaksikan oleh umum (yang berada di tempat itu atau di tempat lainnya).

Aspek lain yang perlu dijelaskan adalah “transaksi elektronik” sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (1) UU No. 17/2016. Transaksi elektronik sebagai bagian dari cara menyebarluaskan informasi yang mengandung kabar bohong atau kebencian. Transaksi elektronik ini diatur Pasal 1 angka 2 UU No. 11/2008 yang diartikan sebagai perbuatan hukum yang menggunakan komputer, jaringan komputer dan atau media elektronik lainnya.

Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana

Delik penyebaran perasaan kebencian/kabar bohong sebagaimana diatur dalam KUHP dan UU ITE merupakan delik-delik yang dilakukan dengan sengaja. Sengaja (dolus) merupakan bagian dari kesalahan yang dilakukan dengan dasar memiliki pengetahuan dan memiliki kehendak untuk mewujudkan delik tersebut secara sadar. Selain itu, pelaku juga memahami konsekuensi dari perbuatan tersebut sehingga bertanggung jawab atas perbuatan tersebut maupun akibat dari perbuatan tersebut. Dengan demikian ketika akan menyebarkan kabar bohong/perasaan kebencian maka pelaku memiliki “itikad buruk” atau “sikap batin yang jahat” sehingga pertanggungjawaban pidana dilekatkan pada diri pelaku.

Pertanyaannya adalah bagaimana mengukur “kesengajaan” ini ? Untuk mengukurnya maka berbagai doktrin tentang kesengajaa ini bisa dipertimbangkan.  Langkah pertama yang harus ditemukan adalah pelaku menyebarkan kabar bohong/perasaan kebencian tersebut untuk membuat kelompok tertentu resah/marah atau untuk membuat kegaduhan atau kekacauan. Aspek lain yang bisa dilihat dari sikap batin jahat ini  yaitu  pelaku  menghendaki perbuatan tersebut meskipun dirinya tidak menginginkan timbulnya kekacauan atau situasi yang membuat kelompok/individu/agama tertentu terganggu. Dia faham   perbuatan itu tidak patut dilakukan berdasarkan standard moral/norma yang difahaminya.

Penyebaran kebencian/kabar bohong yang dilakukan tanpa sengaja, maka kedua undang-undang ini tidak menyatakan sebagai delik atau tindak pidana dan arena itu tidak bisa diminta pertanggungjawaban pidana. Ukuran tidak sengaja (culpa) telah dijelaskan dalam berbagai doktrin hukum pidana yang salah satunya yang bersangkutan melakukan perbuatan tersebut tanpa pengetahuan dan tanpa kehendak untuk menyakiti kelompok tertentu atau tidak punya kapasitas pengetahuan misalnya karena sudah sangat renta baik fisik maupun psikis. Atau yang bersangkutan tidak memahami tentang konten yang disebarkan tersebut dan kurang mengetahui bahwa apa yang disebarkan atau apa yang dibuatnya mengandung konten yang dapat membuat marah kelompok agama/etnis tertentu, sehingga sebenarnya tidak punya niat jahat.

Saya fikir aspek kesalahan ini merupakan hal yang sangat sulit dibuktikan karena berada dalam situasi yang abstrak yaitu  berada  dalam fikiran dan sikap batin seseorang. Oleh karena itu, dalam proses pembuktian  ada tidaknya “kesalahan yang disengaja” diperlukan pemeriksaan saksi-saksi, bahkan ahli psikologi/psikiater perlu diminta untuk membantu menerangkan dan memeriksa sikap batin seseorang ini.

 


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close