PANCASILA SEBAGAI LANDASAN PEMIKIRAN HUKUM DI INDONESIA
Pada tanggal 17 Oktober 2019, bertempat di Hotel Sparks Luxe, Jakarta, berlangsung seminar nasional yang diselenggarakan oleh Kedeputian Bidang Hukum, Advokasi, dan Pengawasan Regulasi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Dosen Jurusan Hukum Bisnis (Business Law) BINUS, Shidarta, diundang sebagai narasumber, dengan membawakan topik bertajuk “Epistemologi Pancasila sebagai Landasan Pemikiran Hukum”.
Acara ini dihadiri oleh dekan-dekan fakultas hukum perguruan tinggi negeri seluruh Indonesia. Juga diundang sejumlah dekan dari perguruan tinggi swasta di Jakarta. Keynote speech disampaikan oleh Menteri Ristek Dikti, yang kemudian dilanjutkan dengan paparan dari Plt Ketua BPIP Prof. Dr. Hariyono, M.Pd. Selain Shidarta, ikut sebagai pembicara antara lain Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Prof. Dr. Benny Riyanto, Anggota Dewan Pengarah BPIP Prof. Dr. Mahfud MD., Deputi Bidang Pengkajian dan Materi BPIP Prof. Dr. F.X. Adji Samekto, dan Ketua BKS Dekan FH se-Indonesia Prof. Dr. Farida Patitinggi.
Shidarta dalam seminar ini menyampaikan pentingnya pemahaman Pancasila dikembalikan kepada tafsir historis. Salah satu referensi yang sudah dilupakan adalah Penjelasan UUD 1945. Terlepas dari berbagai kontroversi dan pandangan bahwa penjelasan ini sudah tidak relevan, Shidarta menilai tetap ada petunjuk yang dapat dirujuk untuk mencari di mana posisi Pancasila tersebut. Di antaranya ia menyebutkan empat pokok pikiran Pembukaan UUD 1945 yang tidak lain merupakan nilai-nilai Pancasila, yang di dalamnya ada dimensi ontologi (pokok pikiran I), aksiologi (pokok pikiran II), epistemologi (pokok pikiran III), dan ditutup lagi dengan aksiologi (pokok pikiran IV).
Terkait dengan pemikiran hukum, beliau menyarankan agar pemikir-pemikir hukum Indonesia yang telah menggali pemahaman tentang hukum Indonesia, perlu ditelusuri dan dikritisi pemikiran mereka. “Jangan kita selalu menoleh ke teori-teori dari luar, yang belum tentu pas dalam memotret kondisi hukum di Tanah Air. Tetapi juga jangan segan untuk mengutip pemikiran tokoh-tokoh hukum Indonesia. Pemikiran mereka harus kita hargai tapi tidak dengan cara menyanjung-nyanjung. Mereka berharap pemikiran mereka diapresiasi justru dengan cara kita kritisi secara konstruktif,” ujar Shidarta. Ia mengaku khawatir melihat orang-orang yang gemar mengutip pemikiran Pak Mochtar dan Pak Satjipto, misalnya, tanpa bersedia memberi catatan-catatan terhadap pemikiran-pemikiran tersebut.
Shidarta pada kesempatan tersebut juga menyampaikan satu pandangannya tentang pemikiran hukum Indonesia yang seharusnya berangkat dari konteks penemuan (context of discovery) dalam arti seluas mungkin. Hal ini penting, menurutnya, untuk dapat mencari sumber-sumber pembentukan hukum yang selengkap dan sekaya mungkin. Namun, ketika sampai pada penetapannya, ia harus berhenti pada satu sumbu berupa hukum positif. Di sinilah hukum positif itu menemukan konteks justifikasi (context of justification) untuk penerapannya. Selanjutnya hukum positif itu akan diuji lagi dengan konteks penemuan hukum. (***)