PEMBENTUKAN BUDAYA HUKUM
Oleh SHIDARTA (Oktober 2019)
Dalam buku berjudul “Etika dan Budaya Hukum dalam Peradilan” (Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2017), saya menuliskan sebuah naskah berjudul “Dampak Pergeseran Etika dalam Kehidupan Berbangsa”. Dalam tulisan itu ditampilkan sebuah skema pemikiran dari Gert H Mueller. Skema tersebut diambil dari introduksi yang dibuat oleh Joseph R. Pierce untuk karya Mueller berjudul “The Logical Foundation of Social Theory” (Lanham: University Press of America, 2014). Skema tersebut adalah sebagai berikut:
Saya mencoba menafsirkan kembali skema di atas dengan menampilkan skema yang sedikit berbeda sebagai berikut:
Saya ingin mengaitkan teori Mueller ini dengan sebuah wacana penting tentang pembentukan budaya hukum. Formulasi pertanyaan yang kurang lebih ingin dijawab adalah: faktor-faktor apa yang memunculkan suatu budaya hukum itu? Patut dicatat di sini, bahwa Mueller tidak berbicara tentang hukum secara spesifik. Artinya, teori beliau tidak khusus menyinggung tentang budaya hukum, tetapi teori ini dapat membantu kita memahami proses pembentukan budaya hukum dari perspektif yang bersangkutan.
Bagi para peneliti yang ingin memanfaatkan teori Mueller, skema yang dibangun telah memperlihatkan empirical domains, mapping function, empirical subdomains, analytical range, dan parameters. Dalam tulisan ini, kelima hal ini tidak akan dibahas.
Mueller berpandangan bahwa fondasi dari sistem budaya adalah tata moral (moral order), yang berisi nilai-nilai sebagai buah dari komitemen dan kesepakatan bersama. Kebajikan moralitas (morality righteousness) berada dalam domain ini. Mueller menyatakan juga bahwa subdomain kebajikan moralitas ini sebagai etika, yang posisinya bersandingan dengan pandangan ideologis (ideology world-view) dan kesetiaan solidaritas (solidarity allegiance). Dalam domain tata moral ini orang mempersoalkan tentang salah-benar secara moral, baik-buruk secara ideologis, dan kawan-lawan secara solidaritas sosial. Sekadar sebagai catatan, Mueller memakai istilah betul-keliru (true-false) untuk parameter ilmu pengetahuan; benar-salah (right-wrong) untuk etika; baik-buruk (good-bad) untuk ideologi. Penggunaan istilah untuk paramater seperti ini sedikit berbeda dengan yang lazim dikenal dalam filsafat. Etika, misalnya, lebih sering memakai parameter baik-buruk daripada benar-salah.
Semua hal yang disebutkan di atas merupakan orientasi kesadaran sosial. Orientasi ini dibentuk dari situasi sosial. Dengan perkataan lain, tidak akan ada orientasi sosial tanpa basis sosial yang mengacu pada ruang dan waktu tertentu. Situasi sosial tersebut, oleh Mueller, dibagi lagi menjadi basis alamiah dan tata sosial. Pada basis alamiah terdapat tiga subdomain juga, yaitu demografi, ekologi, dan geofisika. Sementara itu, ada tiga subdomain dari tata sosial, yang masing-masing terjadi di struktur kekuasaan negara, struktur permodalan/kelas sosial, dan struktur pekerjaan. Barulah kemudian ada basis sosial berupa sumber daya manusia (demografi), lingkungan hidup (ekologi), dan materi (geofisik).
Namun, apakah pergerakan ini bisa dibalik dengan memulai dari basis sosial, tata sosial, lalu masuk ke tata moral dan sistem budaya? Saya kira secara bottom-up pembentukan budaya hukum dapat menggunakan pola tersebut.
Dengan menggunakan landasan berpikir ini, maka budaya hukum pun pada level paling dasar berangkat dari situasi basis alamiah ini. Basis ini sangat berenergi. Di situ ada sumber daya manusia (demografi), lingkungan hidup (ekologi), dan materi (geofisik). Seseorang atau sekelompok orang yang lahir di mana, kapan, dan dari keluarga mana, akan membingkai situasi basis alamiahnya. Sebagai contoh, basis alamiah di Papua tidak sama dengan basis alamiah di Jawa atau Sumatera. Boleh jadi, secara sumber daya alam di Papua sangat kaya, tetapi jika belum didukung oleh sumber daya manusia yang mumpuni, maka sumber daya alam yang melimpah tersebut tidak akan termanfaatkan dengan baik. Sebaliknya, apabila di Jawa terdapat sumber daya manusia yang lebih banyak, sedangkan sumber daya alam makin terkuras, maka jika kelebihan ini tidak tersalurkan, energi basis alamiah ini juga akan sia-sia atau tersalurkan ke tempat yang tidak sepatutnya (brain drain).
Situasi berikutnya adalah tata sosial, yang meliputi situasi di struktur kekuasaan negara, struktur permodalan/kelas sosial, dan struktur pekerjaan. Situasi pada tata sosial ini membentuk status sosial karena di dalamnya akan tercermin siapa-siapa saja yang menduduki kekuasaan pada semua struktur itu. Problem sosial yang terjadi di Papua dan Papua Barat baru-baru ini, sangat merepresentasikan ketidakseimbangan tata sosial tersebut. Dengan perkataan lain, keterwakilan basis sosial yang ada di sana tidak tercermin di dalam situasi tata sosialnya. Ketidaksesuaian antara basis sosial dan tata sosial pada gilirannya akan memunculkan kecemburuan sosial. Muncullah ketidakpercayaan basis sosial tadi terhadap struktur yang ada dalam tata sosial. Misalnya, terdapat isu-isu yang berhembus tentang ketidakpercayaan masyarakat terhadap rumah sakit di Provinsi Papua dan Papua Barat karena dipandang menjadi agen untuk “melenyapkan” masyarakat lokal Papua.
Ketidakpercayaan (distrust) yang disebutkan di atas sebenarnya telah masuk ke dalam unsur lain dalam pembentukan budaya hukum, yaitu orientasi. Ketidakpercayaan seperti ini menunjukkan ada orientasi nilai yang dibangun secara tidak sehat. Lebih kompleks lagi jika orientasi tadi sudah masuk kepada ketidakpercayaan terhadap institusi negara, agama, dan adat. Akibatnya, semua yang datang dari negara dianggap sebagai penindasan. Pandangan para rohaniawan adalah penyesatan. Ajakan para tetuah adat sebagai penggiringan. Pada tahap yang tidak sehat ini, dipastikan akan terjadi disorientasi pilihan-pilihan moral, ideologis, dan personal.
Pada tingkatan berikutnya terdapat sistem budaya. Oleh karena hukum positif adalah juga tawaran nilai-nilai yang secara datang dari pemegang kekuasaan publik, maka dapat diduga bahwa pembentukan budaya hukum yang sehat akan menghadapi masalah serius pada level ini apabila tawaran-tawaran itu terus-menerus diingkari dengan alasan ketidakpercayaan pada “pesan-pesan kebaikan dari sistem hukum positif.
Pembentukan budaya hukum pada hakikatnya ada pada pembentukan orientasi nilai-nilai (misalnya tentang sakral/profan, betul/keliru, indah/jelek) yang menghuni alam bawah sadar masyarakat. Dan, seperti diutarakan oleh Mueller, pembentukan ini telah melewati perjalanan yang panjang sebelum akhirnya bersemayam menghuni sistem budaya. (***)
Published at :