People Innovation Excellence

MENGEJAR GELAR, MENGGAPAI ILMU

Oleh : Agus Riyanto (September 2019)

Gelar akademik itu bagaikan benci, tetapi rindu. Benci, karena seringkali gelar tidak identik genggaman gelarnya. Rindu, karena dalam kehidupan dengan penuh formalitas gelar tetap menjadi mimpi untuk dimilikinya. Bahkan untuk itu, seringkali dilakukan dengan cara-cara yang tidak terpuji dan diluar nalar memperolehnya. Melalui media sosial, tercatat komedian terkemuka hingga yang terbaru pemilik mobil dengan menggunakan nomor palsu ternyata juga menggunakan gelar guru besar di KTP yang tidak sah.[1]

Berhala baru abad saat ini adalah gelar. Gelar dimaksud adalah produk pendidikan dan bukan dari pemberian kerajaan. Gelar memberi prestise bagi pemiliknya. Entah gelar itu nanti digunakan atau tidak untuk kemaslahatan masyarakat bukan persoalan, namun yang pasti gelar dapat menjadi alternatif penentu kesuksesan. Oleh karena itu, kerjalah gelar kau kutangkap. Gambaran kondisi itu terlihat dari laporan Kompas (12-13/01/2009) yang menyatakan bahwa semakin kuatnya tuntutan setiap orang harus memiliki gelar sarjana. Disamping itu, maraknya issu ijazah palsu bagi para oknum calon legislatif juga menambah bukti bahwa gelar memang segala-galanya. Namun apakah itu benar? Bagaimana seharusnya meraih gelar tersebut ? Gelar dulu atau ilmu lebih dahulu seharusnya diraih?

Gelar itu identik dengan sebuah tanda. Tanda dalam arti bahwa orang yang memilikinya telah melalui proses ujian tertentu dan berhasil, sehingga berhak mendapatkannya. Sehingga secara normatif adalah tidak mungkin terjadi bahwa gelar itu diberikan tanpa adanya prosedur akademik yang berjalan sesuai dengan ketentuan berlaku (by laws). Jika itu terjadi adalah pelanggaran hukum dan menodai hakikat nilai pendidikan yaitu kejujuran. Disisi lain institusi yang memberikan gelar tersebut juga harus telah diakreditasi diakui keberadaannya oleh instansi resmi pemerintah yang membidanginya. Tanpa itu gelar itu menjadi illegal dan tidak sah. Lebih dari kedua hal itu yang lebih mendasar lagi adalah pentingnya pengawasan oleh pemerintah untuk mendapatkan kebenaran proses pemberian gelar tersebut. Artinya, harus dapat diterima dalam tataran logika berpikir bahwa gelar itu diberikan secara tahapan yang wajar dan bukan mendadak yang bersangkutan memperoleh dengan mudah tanpa berusaha. Dalam hal ini kasus sengketa Marisa dan Atut Chosiyah dalam hal ijazah palsu menjadi menarik untuk dikaji. Dimana keterlibatan instansi resmi pendidikan untuk menguji kebenaran dugaan tersebut. Sebab tanpa pengawasan kasus-kasus seperti ini akan berulang kembali dan dapat saja hilang tanpa ada penyelesaiannya. Untuk itu, maka di dalam proses pemberian gelar akademik adalah harus terdapat kebenaran mulai dari usernya (siswa dan mahasiswa), lembaganya (sekolah dan universitas) dan yang tak kalah pentingnya pengawasan (supervisi dari pemerintah). Sehingga, jika salah satu dari ketiganya terputus dan dilangkahi, maka gelar menjadi sebuah tanya tanya besar apakah gelar yang diberikan kepada si penerima layak untuk diterimanya dan begitu pula sebaliknya.

Meraih gelar dalam jalur pendidikan harus dijalani dengan tahapan dan cara-cara yang benar. Sehingga, apabila memperoleh gelar akademik dengan merusak tatanan sistem pendidikan yang ada, maka dapat dikategorisasikan kejahatan intelektual. Masyarakat tidak dirugikan secara langsung, seperti tindak pidana pembunuhan misalnya, namun dalam jangka jauh si pemilik gelar yang tidak layak (palsu) itu dapat menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri dengan “korupsi” misalnya. Hal ini terjadi karena di dalam usaha mendapatkannya gelar itu ditempuh dengan tindakan tercela mencontek, plagiat, menyogok, menyuap, dibuatkan karya tulis maupun skripsinya yang parahnya “ditolong” oknum akademikus dengan mengeluarkan sejumlah dana yang telah memang dianggarkan. Dengan anomali seperti ini menjadikan oknum intelektual akan menuntut balik, pada dirinya, bagaimana caranya mengembalikan seluruh biaya yang telah dikeluarkan. Caranya melalui kekuasan aksi dan tipu muslihat dilakukan dengan mempersulit prosedur dan akan mempermudahnya jika ada sejumlah dana yang akan memperlicinnya. Gambaran negatif itu berbeda jika proses pendidikannya ditempuh dengan cara yang jujur, elegant, transparan dan akuntabilitas oleh si pemilik gelar, serta di dukung oleh lingkungan akademik yang kondusif, obyektif dan tidak diskrimatrif penyelenggarannya. Gelar menjadi gelar dalam arti yang sesungguhnya yaitu diraihnya demi kemaslahatan dan tidaklah untuk kemudaratan masyarakat.

Inti permasalahan gelar bermula dari “perdebatan” tentang pertanyaan gelar dahulu atau ilmu dahulu di dalam proses meraihnya. Meraih gelar dengan mengedepankan “gelar” menjadikan peserta didik cenderung untuk menghalalkan segala cara. Nichollo Machiavelli. Hal ini terjadi karena yang terpenting bukan prosesnya, namun yang ditekankan adalah hasilnya. Sehingga, di dalam usahanya tersebut potensi bersikap negatif lebih besar dibandingkan positifnya. Kondisi berbeda jika aspek penggapaian ilmu sebagai dasar berpikir untuk mendapatkan gelarnya. Gelar akan diusahakan dan dicari dengan tata cara, pentahapan dan prosedural yang baik dan benar. Dihindari tindakan-tindakan koruptif pendidikan, dengan menekankan aspek keilmuan sebagai basis dasarnya. Seharusnya yang dicari adalah ilmunya dan bukan sebatas gelarnya saja yang akan ditulis dalam selembar kertas bernama ijazah. Dengan ilmu pengetahuan yang dijadikan dasar pijakan, dengan sendirinya, maka gelar akan di dapatkannya. Oleh karena itu konsep pendidikan harus lebih menekankan pada proses pencarian ilmunya dan bukan semata-mata menggejar gelar yang dijadikan obyeknya. Sungguh miris mendengar dan mengikutinya apabila di dalam meraih gelar untuk itu dengan cara-cara dan proses tidak terhormat itu sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini. Pahitlah memang menjalani dan memperoleh gelar itu dengan jalan yang benar, tapi sebaiknya memang jalani dan hadapi dengan kejujuran meskipun harus menebas waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk itu.

[1] https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4599890/begini-kronologi-kasus-pemalsuan-ijazah-dan-penangkapan-pelawak-qomar; https://news.detik.com/berita/4772858/dipamerkan-polisi-pemilik-mobil-b-1-ri-punya-gelar-profesor-palsu.


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close