MENAKAR RENCANA REVISI UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN SEBAGAI KONSEP KEARIFAN LOKAL
Oleh IRON SARIRA (Agustus 2019)
Mungkin tidak banyak diketahui adanya INPRES Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi sebagai peraturan yang mengamanatkan dilakukannya perubahan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 (UUTK). Paket kebijakan telah dilakukan beberapa kali kajian oleh sejumlah Akademisi Independen pada tahun 2006, dan tentunya oleh LIPI pada tahun 2010-2011, serta telah beberapa kali masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) berupa Rancangan Undang-Undang (RUU) pada tahun 2011, tahun 2012, dan pada tahun 2013. Namun demikian belum menghasilkan keterlanjutan prosesnya, sehingga sempat dilakukan desiminasi secara parsial di beberapa wilayah kepada para stakeholder terkait, seperti Akpindo, SP/SB, Dinas Tenaga Kerja. Semuanya menjadi bagian dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yakni sebuah pola induk perencanaan ambisius dari Pemerintah Indonesia untuk dapat mempercepat realisasi perluasan pembangunan ekonomi dan pemerataan kemakmuran untuk dinikmati oleh seluruh masyarakat secara merata dan bersama-sama. Mengingat sering diusulkannya UUTK untuk masuk ke dalam prolegnas, namun hingga saat ini belum juga dapat terealisasi perubahannya, maka perlu untuk disampaikan suatu landasan terkait pembahasan UUTK ini sebagaimana informasi yang dapat dikumpulkan bahwa Kantor Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemnaker RI) melandaskannya kepada hasil Rapat Terbatas (Ratas) Presiden yang ditindaklanjuti dengan adanya beberapa koordinasi selanjutnya antara Kemenaker RI dengan Kemenko Bidang Perekonomian, Kantor Staf Presiden (KSP), dan Sekertariat DPR-RI terkait perlunya perubahan UUTK.
Tidak dipungkiri lagi bahwa RUU Ketenagakerjaan yang sudah beberapa kali diusulkan masuk ke dalam prolegnas yang dilatarbelakangi dengan usaha untuk melakukan perbaikan iklim investasi sehingga dapat menarik investor asing dalam mendirikan usahanya di Indonesia melalui sistem penanaman modal. Selain itu, sekiranya tujuan menjadikan hubungan kerja yang harmonis melalui proses harmonisasi inter dan antar sistem peraturan yang terkait baik di tingkat pusat dan daerah menjadikan landasan bahwa masyarakat ketenagakerjaan sangat menyadari terhadap adanya dinamika perubahan dalam dunia ketenagakerjaan yang untuk itu mereka (masyarakat ketenagakerjaan) perlu melakukan upaya-upaya proaktif, antisipatif, serta preventif terhadap terakomodasinya perkembangan di bidang ketenagakerjaan yang diharapkan tetap menjadikan hubungan hukum ini semakin berkeadilan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai landasan ideologi bangsa Indonesia.[1]
Selanjutnya perlu diinformasikan bahwa posisi rencana perubahan UUTK ini telah masuk ke dalam long list prolegnas RUU 2014 – 2019, dengan telah ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia (Menaker RI) berdasarkan Kepmenaker Nomor 103 tahun 2017 tentang Tim Pembahasan Perubahan UU No. 13 Tahun 2003 dengan keanggotaan seluruh eselon I dan II, yang saat ini sedang dalam tahap penyusunan draft Naskah Akademis (NA). Naskah Akademis merupakan syarat wajib yang harus dipenuhi dalam penyusunan suatu RUU sebagai acuan penyusunan substansi RUU tersebut. Kajian dan telaahan yang komprehensif terhadap suatu substansi baru perlu dilandaskan kepada NA sebelum dirumuskan ke dalam pasal-pasal sebagai aspek dogmatiknya. Naskah Akademik sebagaimana dapat dipahami secara yuridis-filosofis merupakan aspek yang sebenarnya dapat dijadikan suatu landasan sebagai syarat dalam perumusan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Shidarta bahwa dalam setiap peraturan perundang-undangan biasanya selalu dipersyaratkan tiga keberlakuan (Geltung), yaitu keberlakuan filosofis (filosofissche Geltung), keberlakuan yuridis (juristische Geltung), dan keberlakuan sosiologis (soziologische Geltung). Untuk jenis peraturan perundang-undangan yang menempati hierarki lebih tinggi, tuntutan keberlakuan filosofisnya akan makin tinggi. Artinya, dalam peraturan perundang-undangan yang berjenjang tinggi itu termuat kandungan filosofis yang seyogianya juga lebih kental. Ini berarti, tatkala kita mencermati kandungan filosofis suatu produk hukum bernama undang-undang dasar, akan lebih mudah ditemukenali daripada undang-undang. Selanjutnya mencermati kandungan filosofis suatu undang-undang, akan lebih mudah ditemukenali daripada peraturan pemerintah. Demikian seterusnya.[2]
Kandungan filosofis terkait RUU – UUTK sekiranya dapat disampaikan kajian aksiologisnya berdasarkan dimensi-dimensi kearifan lokal bangsa Indonesia. Aksiologis diartikan sebagai aspek tujuan yang berharap bahwa UUTK ini memiliki dimenis idealisme-etis (aspek keadilan), teleologisme-etis (aspek kepastian), dan deontologisme-etis (aspek kemanfaatan). Hukum (dalam hal ini adalah UUTK) berdasarkan pembentukannya mengambil nilai-nilai dari sistem budaya, dengan hubungan sibernetis tersebut dalam konteks keindonesiaan akan terejawantah melalui konsep kearifan lokal dengan pentahapannya sebagai berikut, pertama dari pencapaian tujuan tersebut akan terkaji melalui analisis norma Ketenagakerjaan terhadap idealisme-etis (aspek keadilan – gerechttigkeit) dan teleologisme-etis (aspek kemanfaatan – zweckmäβigkeit). Pola penalarannya sebagai berikut:
Gambar 1 Perspektif Aksiologi dari Pola Penalaran Berbasis Keadilan dan Kemanfaatan
Tahap kedua dari pencapaian tujuan tersebut terkaji melalui analisis norma Ketenagakerjaan terhadap deontologisme-etis (kepastian – rechssicherheit). Pola penalarannya dikonstelasikan sebagai berikut:
Gambar 2 Perspektif Aksiologi dari Pola Penalaran Berbasis Kepastian
Dimensi aksiologi menekankan bahwa tindakan manusia adalah fungsi dari kepentingannya. Pemenuhan kepentingan tersebut merekatkan kepada pemahaman bahwa ada tidaknya kebebasan dalam kehendak manusia tersebut.[1] Terhadap ke tiga aspek dalam dimensi aksiologi yang telah terkonstelasi di atas (idealisme-etis, deontologisme-etis, dan teleologisme-etis), maka jelaslah bahwa hukum yang baik adalah hukum yang menyentuh aspek-aspek pergerakan yang besar atau luas, yang dimaksudkan memiliki eksistensinya terhadap aspek-aspek yang sangat intuisi tidak hanya empiris, namun sudah dipastikan memiliki kewajiban untuk ditaati secara fisik. Substansi hukum positif Ketenagakerjaan yang didasarkan kepada Kearifan Lokal Keindonesiaan dalam kajian teoretis di atas, selanjutnya perlu memasuki fase usulan rancangannya sebagai hasil dari pemenuhan aspek aksiologi dalam konteks pelaksanaan aspek-aspek ketenagakerjaan dalam perspektif pembentukan hukum guna mendapatkan struktur asas hukum terhadap rancangan hukum positif substansial dan prosedural dalam bentuk hukum yang dicita-citakan (ius constituendum). (***)
BAHAN BACAAN
[1] Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hal. 73.
[1] Iron Sarira, Konkretisasi Nilai Silih Asah, Silih Asuh, Silih Asih Dalam Penyelesaian Hukum Perseleisihan Hubungan Industrial, Ringkasan Disertasi, 1 Maret 2019. Mengambil dari konsep UUPPHI No. 2 Tahun 2004 pada bagian “menimbang” huruf a, bahwa hubungan industrial harus dilaksanakan secara harmonis, dinamis, dan berkeadilan.
[2] Shidarta, Sekilas Suatu Tawaran Metode Kajian (Penafsiran) Filosofis terhadap Undang-Undang, Rubrik Paculty Member, Agustus 2019. Dapat diakses dalam: http://business-law.binus.ac.id/2019/08/14/sekilas-suatu-tawaran-metode-kajian-penafsiran-filosofis-terhadap-undang-undang/
Published at :