WACANA PENGALIHAN UANG PESANGON PHK MENJADI ASURANSI PHK (KAJIAN POLA PENALARAN BERDIMENSI ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS, DAN AKSIOLOGIS)
Oleh IRON SARIRA (Agustus 2019)
Isu yang menarik untuk dikaji terkait wacana pemerintah merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 (UUTK) salah satunya adalah pengaturan “uang pesangon,” yang mana pengaturannya banyak diperbincangkan. Hal ini tentu tidak terlepas dari adanya desakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dan Kamar Dangang dan Industri (KADIN) kepada Presiden Jokowi agar iklim investasi di Indonesia menjadi lebih memiliki daya tarik dan daya jual bagi para investor. Substansi terhadap Pasal 156 UUTK menjadi hal yang dimintakan untuk dihapus atau dikurangi, selain adanya beberapa substansi lainnya seperti perluasan sistem kerja kontrak outsourcing, pengupahan (upah murah), fleksibilitas jam kerja, serikat pekerja dan mogok kerja, serta tenaga kerja asing (TKA). Hal ini dapat diaminkan jika didasarkan dari adanya koordinasi Jurusan Hukum Bisnis Universitas Bina Nusantara yang secara inisiasi telah mengadakan pertemuan dengan salah seorang pejabat di Kementerian Tenaga Kerja Republik Indonesia (Kemnaker RI) pada bulan Juli 2019 dalam diskusi rencana pengadaan Forum Group Discussion (FGD) terkait pembahasan yang bertajuk Aksiologi Hukum Ketenagakerjaan. Dalam diskusi tersebut juga disampaikan oleh pihak Kemnaker RI termaksud terkait adanya rencana beberapa substansi perubahan, yang salah satunya adalah substansi terkait uang pesangon yang dalam hal ini kajiannya adalah terkait mekanisme pengaturan ke dalam bentuk asuransi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Terkait dengan pesangon ini, sebagaimana yang diusulkan oleh KADIN kepada Pemerintah bahwa sebaiknya diadakan semacam unemployment insurance yang memberikan kepada pengusaha mekanisme untuk mencicil uang pesangon, sehingga tidak membayar secara keseluruhan langsung saat terjadi PHK. Dengan demikian para pengusaha (investor) tidak akan terbebani biaya yang besar dalam suatu waktu.[1]
Menarik untuk mengkaji salah satu usulan rencana perubahan UUTK ini berdasarkan pola penafsiran yang berdimensi filosofis, dan untuk itu maka perlu disampaikan terkait tatanan teoretisnya, yakni skema seperempat lingkaran yang dibentuk dengan menarik garis sumbu vertikal (y) dan horisontal (x), dengan digambarkan oleh adanya garis yang saling ditarik oleh kedua garis tersebut, yakni garis antara (z).[2] Refleksi terhadap sumbu y menjelaskan aspek ontologis berupa idealisme, aspek epistemologis berupa institusionalisme, dan aspek aksiologis berupa keadilan; refleksi terhadap sumbu x menjelaskan aspek ontologis berupa materialisme, aspek epistemologis berupa empirisme, dan aspek aksiologis berupa kemanfaatan; dan, refleksi terhadap sumbu z (garis antara) menunjukan aspek ontologis berupa dualisme, aspek epistemologis berupa rasionalisme, dan aspek aksiologisnya berupa kepastian hukum. Pandangan ini menurut Shidarta dilandaskan kepada meletakan hukum positif sebagai adanya kepastian hukum, sebagaimana urutan dalam rangkaian kata “ponere – posui – positus” yang diartikan bahwa urusan keadilan dan kemanfaatan bergantung sebagaimana hukum yang telah diletakkan. Sekiranya tepatlah konsep di atas dalam mengkaji substansi uang pesangon berdasarkan konsep normatif (pasal-pasal) yang akan memberikan aspek keadilan dan kemanfaatan kepada para pihak yang berkepentingan. Penegakan hukum positif memerlukan rasionalitas untuk menjadikan hukum tersebut dihargai terhadap proses tarik menarik hukum yang “ideal” dan “faktual” yang hal ini didasarkan terhadap konsep lex plus laudatur quando ratione (the law is the more praised, when it is approved by reason).
Penyebutan Pasal 156 ayat (1) UUTK dijelaskan bahwa “dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon, dan atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”. Pada kata “diwajibkan” dalam ayat di atas, telah jelas memiliki maksud “perintah” berdasarkan diagram relasi terhadap adanya sifat norma. Sehingga hal ini menjadi beban yang dirasakan oleh kaum pengusaha sebagaimana desakan mereka kepada pemerintah untuk direvisi atau dihilangkan. Kata yang sama juga tersirat dalam ayat 2 (dua) dalam pasal tersebut, yakni “perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut: …”. Kata “paling sedikit” jika dibawa kepada diagram relasi terhadap sifat normanya, menunjukan suatu “larangan” terhadap pengusaha untuk melakukan di bawah yang telah diatur dalam ayat 2 (dua) tersebut. Dengan demikian, kaum pengusaha merasakan ketiadaan manfaat dari pasal-pasal di atas dalam UUTK dan menjadikan pasal tersebut tidak adil untuk mereka.
Jika kita mengacu kepada aspek kepastian hukum (sebagai dimensi aksiologis dari sumbu z), maka bagaimanakah seharusnya dimensi rasionalisme dan dualisme dapat terpenuhi dalam pasal-pasal tersebut. Dalam hal ini pengusaha mengusulkan adanya mekanisme unemployment insurance yang diyakini dapat memberikan nilai jual untuk hadirnya investasi di Indonesia. Bahwa hukum jangan selalu berpijak kepada ranah aksiologis semata, perlu menjadi kajian yang membawa kepada dimensi epistemologis dalam arti pasal-pasal tersebut perlu diatur kembali dengan maknisme yang berbeda tanpa mengurangi nilai yang seharusnya diterima terhadap besaran dari uang pesangon kalau pun diperkenankan untuk lebih besar diaturnya (rasional); bahwa terhadap dimensi ontologis dalam arti pasal-pasal di atas maka idealisme (kepentingan) dan materialisme (hak) harus dilihat sebagai sebuah sistem (systeeemdenken) yang harus terus menerus dicarikan kepastiannya, karena hukum tersebut merupakan proses pencarian terhadap makna hakikinya (her recht is er, doch het moet worden govenden). Aspek ontologis ini memberikan pesan kepada para pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk dapat duduk bersama mencari hal-hal keadilan dan kemanfaatan terhadap adanya rencana perubahan UUTK ini agar semakin lebih memiliki kepastian hukumnya. Hak untuk mendatangkan investasi sebagaimana yang disuarakan oleh kaum pengusaha merupakan kepentingan yang mungkin dilihat dalam perspektif makro, dan hak memiliki uang pesangon yang dibayarkan seketika sekaligus saat terjadi PHK juga merupakan kepentingan yang dimiliki pekerja sebagai tabungan hari tuanya, untuk itu kiranya menempatkan pemetaan terkait dimensi kepentingan ini tidak saja berdasarkan kajian sibenetika semata namun perlu terkaji secara kasuistis dalam keilmuan socio legal.[3]
BAHAN BACAAN
[1] Kahar S. Cahyono, Pesangon Bakal Ditiadakan – ini kata Pengusaha hingga Menteri, Koran Perjoeangan – Suara Kaum Buruh, Juni 2019. Dapat diakses dalam: https://www.koranperdjoeangan.com/pesangon-bakal-ditiadakan-ini-kata-pengusaha-hingga-menteri/
[2] Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, Maret, 2013, Cet.I, hlm. 185-188.
[3] Referensi ini merupakan konsep yang diusulkan penulis dalam upaya menjadikan rencana revisi UUTK ini menjadi lebih berkeadilan dan memiliki kemanfaatan, berdasarkan kajian penelitian disertasi penulis dalam konteks PPHI yang dinamis, harmonis, dan berkeadilan.
Published at :