SAATNYA INDONESIA MEMILIKI KETENTUAN ANGKUTAN MULTIMODA YANG KOMPREHENSIF
Oleh: NIRMALA MASILAMANI (Agustus 2019)
Angkutan multimoda menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Multimoda adalah angkutan barang dengan menggunakan paling sedikit 2 (dua) moda angkutan yang berbeda atas dasar 1 (satu) kontrak sebagai dokumen angkutan multimoda dari satu tempat diterimanya barang oleh badan usaha angkutan multimoda ke suatu tempat yang ditentukan untuk penyerahan barang kepada penerima barang angkutan multimoda.
Angkutan multimoda tidak hanya mencakup pengangkutan, namun beberapa kegiatan selain pengangkutan, seperti jasa pergudangan, konsolidasi muatan, penyediaan ruang muat, dan/atau kepabeanan untuk angkutan multimoda ke luar negeri dan ke dalam negeri.
Angkutan multimoda di Indonesia saat ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP), yaitu PP No. 8 Tahun 2011 tentang Angkutan Multimoda yang merupakan pelaksana dari 4 UU angkutan, yaitu: UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (UU LLAJR), UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (UU Perkeretaapian), UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (UU Pelayaran) dan UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (UU Penerbangan) yang masing-masing di dalam UU-nya menyinggung tentang penyelenggaraan dan pengusahaan angkutan multimoda.
Masing-masing UU tersebut mengatur beberapa pasal mengenai angkutan multimoda. UU LLAJR mengatur 1 pasal, yaitu Pasal 165 dengan 4 ayat. UU Perkeretaapian mengatur 2 pasal, yaitu Pasal 147 dan 148. UU Pelayaran mengaturnya khusus dalam suatu bagian yang terdiri dari 5 pasal, yaitu Pasal 50 – 55. Demikian pula halnya dengan UU Penerbangan, angkutan multimoda diatur dalam suatu bagian tersendiri tentang angkutan multimoda yang terdiri dari 5 pasal, yaitu Pasal 187-191. Selanjutnya, secara tegas masing-masing UU tersebut menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda akan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).
Sebagai tindak lanjut dan pelaksaan keempat UU tersebut, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2011 tentang Angkutan Multimoda (PP Angkutan Multimoda). PP ini mengatur tentang beberapa hal menyangkut angkutan multimodal, seperti kegiatan multimoda, dokumen Badan Usaha Angkutan Multimoda (BUAM), Asosiasi Badan Usaha Angkutan Multimoda (Asosiasi BUAM), pengguna jasa, penerima barang, batas tanggung jawab, asuransi, tarif. Pasal 30 PP ini menyebutkan bahwa lebih lanjut pembinaan angkutan multimoda diatur dengan peraturan menteri, dalam hal ini tentunya Peraturan Menteri Perhubungan.
Pada tanggal 26 Januari 2012, Kementerian Perhubungan mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor PM 8 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Multimoda (PM 8/2012). Sebagai peraturan pelaksana dari PP, maka PM ini mengatur implementasi angkutan multimoda.
PM ini membedakan 2 bentuk Badan Usaha, yaitu BUAM Nasional dan BUAM Asing. BUAM Nasional dapat berupa BUMN, BUMD dan Badan Hukum Indonesia (BHI), yang masing-masing memiliki persyaratan yang berbeda. PM ini membagi pengaturan antara penyelenggaraan dan pengusahaan kegiatan angkutan multimoda. Penyelenggaraan mengatur tentang pendaftaran BUAM Nasional dan Asing serta pelaksanaanya, Dokumen Angkutan Multimoda, Standar Trading Conditions (STC) serta tata cara pemberian rekomendasi STC.
Pengusahaan angkutan multimoda mengatur tentang persyaratan izin usaha angkutan multimoda, Sumber Daya Manusia (SDM), tata cara pengajuan permohonan izin usaha angkutan multimoda, kewajiban, hak dan tanggung jawab BUAM, sanksi administratif serta pembinaan BUAM.
Kegiatan angkutan multimoda, selain menyangkut pengangkutan, juga mencakup kegiatan pergudangan, konsolidasi muatan, penyediaan ruang muat, sortasi, pengepakan, penanganan barang berbahaya dan beracun (B3), penandaan, pengukuran, penimbangan, pengurusan penyelesaian dokumen, penerbitan dokumen angkutan multimoda, perhitungan biaya angkutan, klaim, asuransi, penyediaan sistem informasi dan komunikasi, kepabeanan serta layanan logistik lainnya.
Sebagai perbandingan dengan negara lain, di Belanda angkutan multimoda diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetbook), tepatnya dalam Chapter 2, Section 40-50. Section 40 menyebutkan defenisinya sebagai berikut: “the contract for combined transport of goods whereby the carrier (combined operator) binds himself towards the consignor in one and the same contract, to the effect that carriage will take place in part by sea, inland waterways, road, rail, air, pipeline or by means o f any other mode o f transport”. Jika Belanda menganut total multimodal, yaitu mencakup semua jenis pengangkutan baik angkutan jalan, kereta api, laut/sungai/danau dan udara, namun tidak demikian halnya dengan Jerman. Jerman mengecualikan pengangkutan laut dalam angkutan multimodal-nya. Hal ini diatur dalam German Transport Reform Act1988.
Ketentuan angkutan multimoda dapat diatur dalam UU tersendiri sebagaimana yang berlaku di Thailand dan India. Thailand mengatur angkutan multimoda dalam suatu UU tersendiri pada tahun 2005. Demikian halnya dengan India yang mengaturnya dalam Multimodal Transport of Goodstahun 1993 (Law No. 28/1993).
Berbeda halnya dengan Cina yang mengaturnya dalam dua UU, yaitu Maritime Lawdan Contract Law.Jika kontrak tersebut adalah angkutan multimoda internasional, maka yang berlaku adalah Maritime Law. Hal ini tercantum dalam Section 8 Chapter 4. Namun, jika menyangkut kontrak multimoda domestik/nasional, maka yang berlaku adalah Contract Law.
Terkait sistem tanggung jawab pengangkut multimoda, Cina mengadopsi hukum internasional sekaligus memberlakukan hukum nasionalnya. Hal ini diatur dalam Pasal 105 Maritime Law dan Pasal 321 Contract Law. Jika kehilangan/kerusakan barang terjadi pada saat salah satu moda, maka ketentuan moda transportasi tersebut yang berlaku. Sebagai contoh, jika terjadi di laut, maka yang berlaku adalah Hague-Visby Rules, jika terjadi pada saat pengangkutan jalan, maka yang beraku Convention for the International Carriage of Goods by Road (CMR), untuk angkutan kereta api yang berlaku the Convention Concerning International Carriage by Rail(COTIF) dan udara berlaku the Warsaw Convention. Sedangkan jika angkutan multimoda tersebut bersifat domestik/nasional, maka yang berlaku the Waterway Carriage Administrative Law, the Road Carriage Law, the Railroad Lawandthe Civil Aviation Law.
Bagaimana dengan Indonesia? Perlukah ketentuan angkutan multimodal diatur dalam UU tersendiri atau cukup dengan PP sebagaiaman yang berlaku saat ini? Menurut penulis, pengangkutan merupakan persoalan yang cukup rumit, terutama terkait pertanggungjawaban pengangkut, terlebih jika pengangkutan multimoda, yang merupakan multi-disiplin, melibatkan antar departemen, sehingga sebaiknya angkutan multimodal diatur oleh sebuah UU tersendiri agar dapat diatur secara lebih komprehensif.
Published at :
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...