MEMBACA ARAH POLITIK HUKUM PENGATURAN RUANG SIBER NASIONAL
Oleh BAMBANG PRATAMA (Agustus 2019)
Tingginya penetrasi pengguna Internet di Indonesia di satu sisi sangatlah menguntungkan bagi masyarakat. Tidak dipungkiri lagi bahwa Internet saat ini telah menjadi kebutuhan, bahkan telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Di sisi lain, tingkat literasi digital di masyarakat terasa timpang. Pasalnya, bahasa umum yang digunakan dalam media Internet mayoritas tidak menggunakan Bahasa Ibu, yaitu bahasa Indonesia. Akibatnya, tingkat literasi digital di masyarakat Indonesia yang tidak merata kemampuannya.
Masalah literasi digital menjadi penting untuk dicermati, karena akibat rendahnya literasi digital, berbagai masalah muncul di masyarakat, antara lain: masalah disinformasi dan masalah keamanan digital. Dalam kaitannya masalah keamanan, agaknya pemberitaan yang beredar lebih cenderung mengesankan bahwa aspek kerentanan keamanan begitu marak terjadi, berbagai pemberitaan serangan siber ke negara-negara maju seperti hal yang lumrah terjadi. Kondisi ini memunculkan pertanyaan, apakah tidak ada ancaman keamanan siber bagi negara berkembang seperti Indonesia? Secara logis pertanyaan di atas bisa dijawab: bahwa ancaman keamanan siber tetap terjadi di Indonesia, hanya saja boleh jadi jumlahnya tidak setinggi seperti di negara-negara maju.
Keamanan siber merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat yang jumlah pengguna Internetnya tinggi atau penetrasinya tinggi, seperti di Indonesia. Dalam kaitannya Lembaga yang berwenang dalam mengawasi keamanan siber, berdasarkan Perpres No. 133 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2017 tentang Badan Siber dan Sandi Negara (PP-BSSN) ditunjuklah Badan Sandi Negara sebagai penjaga keamanan siber nasional. Dalam perspektif politik hukum, terlihat bahwa pemerintah menunjuk Lembaga Sandi sebagai badan yang berwenang untuk menjaga keamanan, dari yang sebelumnya dipegang oleh Kementerian Kominfo.
Secara normatif ruang lingkup informasi dan transaksi elektronik dipegang oleh Kementerian Kominfo. Akan tetapi paska diundangkannya PP-BSSN seolah-olah ada sebagian kewenangan yang diserahkan dari Kementerian Kominfo kepada BSSN. Namun demikian, secara hirarti peraturan perundang-undangan, kedudukan BSSN tidaklah setingkat dengan kewenangan Kementerian Kominfo. Alasannya kerena level kewenangan yang dimiliki oleh Kementerian Kominfo tertulis di level undang-undang. Sedangkan BSSN hanya diatur pada level Peraturan Presiden.
Di tengah kurang kuatnya posisi hirarki peraturan tentang BSSN, dengan didorongnya Rancangan Undang-Undang Ketahanan dan Keamanan Siber (RUU-Kamsiber) yang diantaranya mengatur tentang kewenangan BSSN, maka posisi BSSN akan menjadi setara dengan Kementerian Kominfo kelak, jika RUU-Kamsiber diundangkan. Hal ini tentunya akan membuat peta kebijakan siber menjadi berbeda, karena akan ada dua Lembaga yang bertugas mengawasi dan mengatur ruang siber. Akan tetapi pertanyaan inti yang perlu dicermati adalah: apakah pengaturan ruang siber nasional akan mampu menjaga keamanan nasional dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi digital? Untuk menjawab pertanyaan di atas, tidaklah mudah, karena kebijakan ekonomi digital haruslah dipandang secara holistik dan komprehensif. Alasannya, karena tiap-tiap komponen kebijakan pemerintah memiliki andil dalam menjawab pertanyaan tentang kebijakan ekonomi. Semoga saja arah kebijakan siber nasional akan mampu menjawab tantangan pertumbuhan ekonomi digital nasional.
Published at :