PANDANGAN POSITIVISME HUKUM
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Agustus 2019)
Pandangan positivisme hukum memberikan landasan penelitian hukum normatif. Secara garis besar pandangan positivisme hukum memaknai hakikat hukum sebagai norma-norma positif dalam sistem peraturan perundang-undangan. Terdapat tiga landasan pandangan positivisme hukum. Landasan pertama bahwa hukum adalah perintah manusia yang memisahkan hukum dengan moral. Kedua penelitian dilakukan terhadap hukum dipisahkan dari unsur-unsur di luar hukum seperti sejarah, sosiologis dan politik. Ketiga sistem hukum adalah sistem logis tertutup di mana keputusan yang benar dapat dideduksi dari aturan hukum yang telah ditentukan dengan maksud logis semata. Kekuatan dari pandangan positivisme hukum adalah argumentasi yang didasarkan pada penerapan struktur norma positif ke dalam kasus-kasus konkret. Pola penalaran yang dipergunakan adalah top to down dengan pola deduktif.
Kata “positif” diturunkan dari Bahasa latin ponere-posui-positus yang berarti meletakkan yaitu sesuatu yang sudah tersaji (given). Dalam area hukum, sesuatu yang tersaji itu adalah sumber hukum positif, yang sudah diletakkan oleh penguasa politik. Pandangan positivisme hukum telah ada sejak lama tepatnya sejak Comte. Akan tetapi positivism hukum modern baru memperoleh akar secara akademis melalui pemikiran dari John Austin, Hans Kelsen dan H.L.A Hart. Pandangan tersebut yang melahirkan landasan dalam paham positivisme modern.
Austin dan Kelsen menolak hukum kodrat yang abstrak. Menurut mereka hukum adalah perintah yang merupakan buatan manusia namun dengan cara pandang yang berbeda. Austin menyatakan bahwa suatu perintah baru dapat dikatakan sebagai hukum hanya apabila perintah tersebut berasala dari suatu kedaulatan penuh (berkuasa penuh) yaitu negara. Hukum positif dimaknai sebagai aturan yang dibuat oleh negara sebagai yang memangan kedaulatan penuh. Kelsen setuju dengan pendapat Kelsen yang menyatakan bahwa hukum dipisahkan dengan moral namun Kelsen tidak sependapat bahwa hukum adalah suatu perintah karena perintah mensyaratkan adanya unsur psikologis. Kelsen berpendapat bahwa hukum merupakan norma murni yang berasal dari sumber yang terbatas yang membuat suatu gagasan mengenai seseorang harus berperilaku tertentu. Kelsen tegas memisahkan norma-norma hukum dengan lainnya. Pandangan ini membuat positivsme hukum memiliki tujuan kepastian hukum dan menolak aktivitas positivis yang dipergunakan untuk menyelesaikan masalah konkret dengan menggunakan logika dimana hanya norma hukum saja yang dapat diuji dengan mengguna norma hukum lainnya. Tanpa mempertanyakan validitas dari hukum buatan manusia tersebut, apakah hukum tersebut sesuai dengan moral atau tidak. Norma positif akan diterima sebagai doktrin sepanjang sesuai dengan aturan sistematis logika ilmu hukum (the rule systematizing logic of legal science). Pandangan terakhir ini membuat lahirnya struktur norma tersebut membentuk hirarki berdasarkan tingkatan abstraksi norma dimana abstraksi yang paling dasar berada diposisi yang paling tinggi yang merupakan perbatasan antara hukum dengan moral. Perbatasan ini terjadi karena ketidakmampuan hukum untuk memurnikan diri pada posisi yang paling tinggi yang tidak lepas dari pemikiran Kelsen tentang Grundnorm. Oleh karenanya pola kekerasan argumentasi dan ketertutupan sistem logika positivisme hukum tergoyahkan pada bagian puncak dan menerima adanya kaitan antara hukum dengan moral tersebut. Hal ini menjadi kekurangan dari pandangan Kelsen.
Pemikiran Austin dan Kelsen didorong oleh keinginan menjadikan hukum sebagai ilmu hukum yang diakui oleh komunitas ilmiah. Oleh karenanya metoda yang diarahkan menjadi ilmu dogmatika hukum yang mengedepankan pendekatan ilmu-ilmu pasti dan hal ini sejalan dengan konsep berpikir penganut positivisme hukum. Diskusi tentang hukum dalam perspektif positivisme hukum akan menggiring ke arah hukum positif yang berarti hukum yang berlaku pada saat dan wilayah tertentu. Oleh sebab itu, hukum positif sering diistilahkan dengan sebutan ius contitutum. Hal ini juga menjadi kelemahan positivisme hukum yang tidak dapat menjangkau pada aspek penegakan hukum. Postivisme hukum menititikberatkan pada pembentukan hukum saja sebagaimana dalam pemikiran Austin.
Hart mengartikan positivsme hukum dengan mengabungkan kedua pandangan Austin dan Kelsen namun dengan modifikasi. Hart menyatakan bahwa hukum merupakan perintah manusia yang memiliki kekuasaan dan wajib dituruti bukan karena adanya sanksi tetapi karena perliaku. Hart membagi peraturan menjadi dua jenis yaitu peraturan primer (primary rules) dan peraturan sekunder (secondary rules). Peraturan primer berisi mengenai hak dan kewajiban dimana hanya dapat diterapakan pada masyrakat yang sederhana. Kemudian peraturan sekunder yang berhubungan dengan penafsiran, penerapan, peraturan dan perubahan atas peraturan primer. Peraturan sekunder didasari pada peraturan primer. Hart menyatakan norma hukum yang tertinggi bukan Grundnorm tetapi the ultimare rule of recognition yang merupakan suatu kenyataan atau realitas. Hart juga mengkoreksi pendapat Austin bahwa hukum merupakan perintah dan sanksi yang merupakan paksaan hukum dengan mencontohkan perintah dari kelompok yang bersenjata bukanlah suatu perintah dalam hukum. (***)
REFERENSI:
- Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, (Yogyakarta: Genta Publising, 2013). hlm. 197-204.
- Widodo Dwi Putro, “Mengritisi Positivisme Hukum: Langkah Awal Memasuki Diskursus Metodologis dalam Penelitian Hukum” dalam Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Eds, Sulistyowati Irianto dan Shidarta, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013), hlm. 8-23.
- Shidarta, Positivisme Hukum, (Jakarta: UPT Penerbitan Universitas Tarumanegara, 2007). hlm. 27-36.
- Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia, 2013). hlm. 84-93.
Published at :