KORUPSI DI SEKTOR KEHUTANAN DAN DOKTRIN KAUSALITAS
Oleh AHMAD SOFIAN (Agustus 2019)
Korupsi yang terjadi pada sektor kehutanan ini, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Forest Goverment Integrity (FGI) termasuk kategori kejahatan lingkungan berantai yang menimbulkan kerugian pada berbagai hal (Transparency Internasional, 2010). Dalam rumusan peraturan perundang-undangan tentang Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2 dan 3 menjelaskan bahwa korupsi merupakan suatu tindak pidana yang dapat merugikan negara keuangan. Pada kedua pasal tersebut terkandung kata “yang menimbulkan”, hal ini menunjukan bahwa pasal ini termasuk dalam delik materil meskipun penjelasan pasal tersebut menyatakan sebagai delik formil. Delik materiil adalah suatu tindak pidana yang perumusannya ditujukan pada munculnya akibat yang dilarang, dimana akibat yang dilarang ini telah ditentukan dalam rumusan pasal itu sendiri (Ahmad Sofian, 2018).
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang sangat rumit dan berat, sehingga pembuat undang-undang tindak pidana korupsi merumuskannya dalam undang-undang khusus yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana korupsi terjadi pada siapapun dan dalam keadaan apapun, oleh sebab itu tindak pidana korupsi memiliki sifat yang kejahatan terselubung dan terorganisir yang merugikan keuangan negara. Dalam kejahatan di sektor kehutanan tidak menutup kemungkinan korupsi akan terjadi, sebab sektor kehutanan masih memiliki banyak celah yang rawan akan terjadinya tindak pidana korupsi baik dari kelompok pejabat tata usaha negara paling bawah hingga teratas. Ada tiga undang-undang yang dapat dipergunakan untuk mempidana pelaku tindak pidana di sektor kehutanan. Namun ketiga undang-undang ini tidak secara khusus menyebutkan soal anasir tindak pidana korupsi di sektor kehutanan. Ketiga undang-undang tersebut adalah:
- UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi;
- UU Nomor 41 Tahun 1999 Jo UU Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Kehutanan ;
- UU Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Tindak pidana korupsi di sektor kehutanan merupakan suatu tindak pidana meteriil yang membutuhkan ajaran kausalitas, sebab perbuatan tersebut memiliki unsur sebab dan akibat yang saling berhubungan terhadap timbulnya kerusakan hutan. Berdasarkan ajaran kausalitas maka rangkaian perbuatan tersebut berpengaruh terhadap timbulnya kerusakan hutan.
Dalam undang-undang pidana, ajaran kausalitas memang tidak disebutkan, tetapi ajaran kausalitas ditemukan dari model rumusan yang ditemukan dalam undang-undang pidana. Dalam menyelesaikan suatu permasalahan tindak pidana korupsi di sektor kehutanan, maka penegak hukum dapat menggunakan salah satu ajaran kausalitas yang dikembangkan para ilmuwan hukum pidana. Ajaran ini sangat beragam dan dapat dipilih salah satu yang sesuai dengan konteks tindak pidana di sektor kehutanan. Dengan demikian pilihan ajaran kausalitas harus disesuaikan dengan konteks kasusnya yang sangat heterogen.
Maka untuk mencari sebab dalam tindak pidana korupsi di sektor kehutanan, dapat memakai ajaran kausalitas yang meliputi ajaran kausalitas conditio sine qua non, generalisasi, invididualisasi, maupun relevansi. Ajaran kausalitas generalisasi adequate objektif yang dimaksud merupakan sebuah upaya dalam mencari suatu perbuatan dari sebuah peristiwa pidana yang dilihat berdasarkan akibat yang ditimbulkan. Sebab tindak pidana korupsi di sektor kehutanan merupakan tindak pidana materiil yang memerlukan ajaran kausalitas dalam mencari perbuatan pelaku tindak pidana, sebab dasar dipidananya pelaku yang terletak pada akibat dari perbuatan pelaku. Akibat perbuatan yang dimaksud dalam putusan pengadilan adalah mengakibatkan timbulnya kerusakan hutan, sebagai sebab dasar pemidanaannya yang diperbuat oleh subjek hukum karena telah memberikan izin pemanfaatan hutan tanpa memiliki hak dan atau kewenangan.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya tindak pidana korupsi di sektor kehutanan khususnya yang terkait untuk mendapatkan perizinan pemanfaatan hutan berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi. Ketika terjadi tindak pidana korupsi, maka ajaran kausalitas diperlukan, sebab tindak pidana ini merupakan jenis tindak pidana materiil. Tindak pidana materiil yang dimaksud adalah tindak pidana korupsi yang menimbulkan adanya kerugian pada keuangan negara, sebagaimana yang telah dirumuskan dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU 30 Tahun 1999 Jo UU 20 Tahun 2001.
Ajaran kausalitas dipergunakan untuk menemukan perbuatan-perbuatan yang menimbulkan akibat kerugian pada keuangan negara, dalam perizinan pemanfaatan hutan. Dalam artikel ini dicontohkan penggunaan ajaran kausalitas relevansi untuk menentukan sebab yang didasari pada rumusan yang ada dalam undang-undang. Perumus undang-undang telah menentukan sebab-sebab yang menimbulkan akibat yang dilarang tersebut melalui perbuatan-perbuatan sebagai berikut:
Berdasarkan UU 31 Tahun 1999 Jo UU 20 Tahun 2001 perbuatan yang menjadi sebab telah dirumuskan seperti skema di atas, perbuatan-perbuatan di atas dirumuskan oleh perumus undang-undang sebagai sebab dari tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian pada keuangan negara. Atas uraian perbuatan sebagaimana disebutkan di atas, ajaran kausalitas relevansi akan menentukan hubungan yang paling berpengaruh berdasarkan akibat yang dilarang sebagaimana yang dimaksud dalam UU 31 Tahun 1999 Jo UU 20 Tahun 2001. (***)
Published at :