REGULASI GLOBAL DAN NASIONAL TENTANG SECO
Oleh AHMAD SOFIAN (Agustus 2019)
Regulasi di Tingkat Global
Paling tidak ada 4 sumber hukum di tingkat global/ regional yang bisa dipergunakan untuk merespon kejahatan seksual anak online (SECO : Sexual Exploitation Children Online) ini yaitu : (1) The Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography (OPSC), 2000; (2) The Council of Europe Convention on the Protection of Children against Sexual Exploitation and Sexual Abuse, 2007; (3) ILO Convention, 182 : Converning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour; (4) African Union (AU) Convention on the Cyber Security and Personal Data Protection, 2014.
Namun dalam prakteknya keempat sumber hukum tersebut tidak mudah diterapkan dalam konteks hukum nasional masing-masing negara. Beberapa tantangan yang berhasil diidentifikasi ketika ketentuan hukum global tersebut akan diintegrasikan dalam hukum nasional adalah (1) sistem hukum di masing-masing negara memiliki keragaman, (2) konten dan substansi hukum yang belum bisa menerima bentuk-bentuk kejahatan tersebut, (3) hukum formal atau hukum acara yang bersifat umum serta (4) penegakan hukum. Terkait dengan sistem hukum (legal system), ditemukan paling tidak ada 6 sistem hukum yang berbeda di negara-nagara Asia, yaitu civil law, common law, socialist law, communist law, Islamic law, hybrid legal system. Ini menunjukkan keragaman dalam banyak hal mulai dari substansi hukumnya, sumber hukumnya dan hukum acaranya, sehingga tidak mudah memasukan kejahatan baru dalam sistem-sistem hukum ini termasuk kejahatan seksual anak di ranah daring.
No. | Sistem Hukum | Beberapa Contoh |
1. | Civil Law | Indonesia, Thailand (influezed common law), South Korea |
2. | Common Law | the Phillipines, Singapore |
3. | Socialist Law | Azerbaijan, China (china legal tradition) |
4. | Communist | Vietnam |
5. | Islamic Law | Afganistan, Bahrain, Brunei, Iran, Jordan |
6. | Hybrid Legal System | India (civil and common), Malaysia |
Terkait dengan substansi hukum, beragamnya pengaturan masalah Online child sexual abuse/exploitation, atau masalah ini tidak diatur, atau ketika masalah ini diatur dalam hukum nasionalnya namun menggunakan terminilogi dan unsur-unsur yang berbeda. Sementara itu, hukum formilnya memiliki beberapa aspek yang perlu diperpejelas: mekanisme investigasi memerlukan cara-cara khusus, namun hukum acara belum memberikan panduan yang clear tentang hal ini. Aspek lain adalah hukum pembuktian: kejahatan Online child sexual abuse/exploitation memerlukan beban pembuktian yang tidak mudah, karena itu banyak kasus gagal dibawa ke pengadilan karena minimnya alat bukti.
Sistem peradilan yang berbeda-beda termasuk persfektif hakim dalam menilai atau menghukum pelaku kejahatan ini. Potret tentang lembaga penegak hukum terutama kepolisian yang belum semuanya memiliki cyber unit. Beberapa negara telah memilikinya, namun belum memfokuskan pada kejahatan Online child sexual abuse/ exploitation tetapi pada kejahatan-kejahatan tertentu (terorism, people smuggling/traficking in persons). Aspek lainnya adalah keahlian yang tidak merata antara penegak hukum dan tingginya rotasi/mutasi (turn over) yang menyebabkan penegak hukum tidak focus dalam menangani masalah ini.
Perundang-undangan Nasional tentang SECO
Perundang-undangan nasional tentang perlindungan anak mengatur sejumlah tindak pidana yang ditujukan pada anak diantaranya : kekerasan, penelantaran, eksploitasi, perlakuan salah dan diskriminasi terhadap anak. Tindak pidana tersebut jelas-jelas dilarang dan diancam pidana. Pengaturan terhadap tindak pidana tersebut tertuang dalam beberapa pasal dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 dan secara khusus untuk tindak pidana seksual pada anak diatur dalam UU No. 17 Tahun 2016. Namun undang-undang ini tidak memberikan definisi yang memuaskan terhadap tindak pidana kekerasan, eksploitasi, penelantaran, diskirminasi dan perlakuan salah pada anak. Undang-undang nasional cenderung memberikan ancaman hukuman kepada siapa saja yang melakukan tindak pidana tersebut dengan ancaman hukuman yang sangat bervariasi dan cenderung menggunakan pendekatan retributif (balas dendam), meski dalam beberapa pasal juga memberikan ancaman hukuman berupa denda, ganti kerugian dan rehabilitatif, tetapi pendekatan retributif lebih menonjol dalam undang-undang nasional.
Indonesia sendiri telah memiliki sejumlah undang-undang yang melindungi anak-anak dari kejahatan seksual online yaitu Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23/2002 jo UU No. 35/2014), Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No. 11/2008) dan Undang-Undang Pornografi (UU No. 44/2008). Ketiga undang-undang ini secara substansi memberikan porsi terbatas dalam melindungi anak dari tindak pidana seksual online. Undang-undang ini belum dapat mengakomodasi SECO secara komprehensif dan masih bersifat parsial. Ketiga undang-undang ini tidak mendefinisikan kejahatan seksual anak online. Undang-Undang Perlindungan Anak misalnya hanya mengatur tentang sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan seksual anak yang meliputi persetubuhan dan pencabulan.
Tidak ada aturan khusus tentang kejahatan seksual anak online dalam undang-undang ini. Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tidak menyebutkan permasalahan SECO sebagai bagian dari dari tindak pidana eksploitasi seksual anak tetapi malah mengkategorikannya sebagai bagian dari tindak pidana kesusilaan. Sementara itu, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi telah mengatur semua hal terkait kejahatan pornografi pada umumnya tetapi penyusun undang-undang tidak mengatur secara khusus tentang tindak pidana pornografi anak termasuk definisi dan unsur-unsur tindak pidana ini. Dapat dikatakan bahwa pengaturan SECO dalam perundang-undangan di Indonesia masih belum sejalan dengan standard internastional terutama sebagaimana diatur dalam Opsional Protokol tentang Penjualan Anak, Pelacuran Anak dan Pornografi Anak. Pemerintah Indonesia sudah meratifikasi opsional protokol ini melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2012.
Namun undang-undang tersebut tidak memberikan definisi yang memuaskan terhadap tindak pidana kekerasan, eksploitasi, penelantaran, diskirminasi dan perlakuan salah pada anak. Undang-undang nasional cenderung memberikan ancaman hukuman kepada siapa saja yang melakukan tindak pidana tersebut dengan ancaman hukuman yang sangat bervariasi dan cenderung menggunakan pendekatan retributive (balas dendam). Meski dalam beberapa pasal juga memberikan ancaman hukuman berupa denda, ganti kerugian dan rehabilitatif, tetapi pendekatan retributif lebih menonjol dalam undang-undang nasional.
Secara umum undang-undang nasional tidak memberikan definisi yang memuaskan terhadap SECO. Bahkan jenis tidak pidana tersebut tidak didefinisikan sehingga sulit untuk menakar perbuatan pidana yang ditujukan kepada anak, karena lemahnya unsur-unsur dalam rumusan delik tersebut. Pentingnya mencantumkan unsur-unsur tindak pidana pada anak adalah untuk kepentingan pembuktian di pengadilan. Dalam konteks hukum pidana unsur tindak pidana (bestandelen delick) menjadi hal yang sangat krusial untuk memasikan pelaku tindak pidana telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pada anak.
Sebagaimana disebutkan di atas, secara khusus tidak ada satu pun pasal dalam hukum nasional Indonesia yang mengatur tentang tindak pidana eksploitasi seksual online. Sehingga dapat dikatakan terdapat kekosongan hukum tentang masalah ini. Namun demikian beberapa pasal dalam beberapa perundang-undangan telah menyinggung pengaturan masalah ini. Tindak pidana eksploitasi seksual anak online merupakan satu konsep yang belum banyak dibahas dalam hukum pidana Indonesia. Undang-undang Perlindungan Anak (UU No. 23/2002) hanya ada menyebut satu pasal yaitu pasal 88 tentang larangan melakukan eksploitasi seksual dan ekonomi pada anak dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun dan atau denda maksimal 100 juta. Namun sayangnya undang-undang ini tidak memberikan penjelasan yang terperinci tentang eksploitasi seksual yang dimaksud. (***)