PENEGAKAN HUKUM KEJAHATAN SEKSUAL ANAK ONLINE
Oleh AHMAD SOFIAN (Agustus 2019)
Kejahatan sexual online pada anak dalam terminologi global sering juga disebut dengan SECO (Sexual Exploitation of Children Online) yang dapat diartikan sebagai kejahatan yang ditujukan kepada anak-anak dengan memanfaatkan informasi dan teknologi sebagai media untuk mengkomunikasikan, mempertunjukkan, mempertontonkan, atau mendistribusikan material pornografi anak atau aktivitas seksual anak. Anak-anak dijadikan objek kekerasan seksual dan menjadi objek seks komersial (Catherine Beaulieu, 2011). SECO ini pun tidak sebatas pada pendistribusian atau mempertontonkan anak sebagai objek seks dan objek komersial, termasuk juga memiliki gambar-gambar porno, suara anak yang direkam yang mengandung konten erotisme, dan segala seuatu yang mengandung kontens seksual anak yang disimpan di dalam komputer karena memilki potensi untuk disebarluaskan.
Secara global ditemukan 5 bentuk kejahatan seksual anak Online yaitu child sexual abuse/exploitation material, Online grooming for sexual purposes, sexting, sexual extortion, live Online child sexual abuse. Bentuk-bentuk kejahatan seksual Online tersebut hampir ditemukan di seluruh dunia, sehingga ada kekhawatiran yang luar biasa untuk segera mengatasi masalah ini, dan salah satu cara yang paling efektif adalah dengan mengembangkan instrumen hukum dan melakukan langkah-langkah penegakan hukum di tingkat global.
Dalam tiga tahun terakhir, pelaku kejahatan seksual anak dengan difasilitasi oleh “teknologi” telah memunculkan trend baru kejahatan : Mereka saling share, saling diskusi berbagai hal tentang kejahatan ini. Dan platforms yang digunakan dalam mewujudkan kejahatan seksual online ini adalah social networks website, file/photo sharing, gaming devices dan mobile apps. Data dari The US National Centre for Missing and Exploited Children (NCMEC) yang di-release tahun 2014 menyatakan bahwa ada 78.964 laporan kejahatan seksual anak daring yang dilaporkan masyarakat dan sebanyak 1.027.126 kasus eksploitasi seksual anak dari yang berasal dari laporan penyedia layanan elektronik. Selain itu, NCMEC memproses 150 juta gambar korban anak. NCMEC juga menyatakan bahwa “darknet” dan teknik perangkat lunak terenkripsi lainnya memungkinkan pengguna untuk mengakses dan menyebarkan eksploitasi seksual anak Online secara anonim. Di Inggris diperkirakan 100.000 orang menyaksikan kejahatan seksual Online material. Namun demikian karena sifatnya yang tersembunyi, tidak mungkin untuk mengukur secara akurat tingkat aktivitas ilegal ini.
Secara umum kasus-kasus SECO sangat memprihatinkan tidak hanya di Indonesia tetapi juga di banyak negara. Bentuk SECO yang paling sering ditemukan di Indonesia adalah prostitusi anak online dan pornografi anak online yang banyak memanfaatkan fasilitas internet. Pemanfaatan anak-anak untuk tujuan seksual online melalui internet telah banyak ditemukan oleh penegak hukum. Beberapa kasus berhasil dibawa ke pengadilan namun sebagian besar kasus tidak berhasil menghukum pelaku karena sulitnya mengakses korban tindak pidana. Kasus-kasus kejahatan seksual online pada anak di masa depan diperkirakan mengalami peningkatan seiring dengan tingginya pengguna internet di Indonesia. Menurut Kementerian Informasi dan Komunikasi, pengguna internet di Indonesia pada tahun 2015 mencapai 93,4 juta dan pada tahun 2016 ini diperkirakan meningkat menjadi 102,8 dan pada pada tahun 2017 diperkirakan melonjak menjadi 112, 6 juta atau menjadi peringkat 5 dunia terbesar pengguna internet setelah China, Amerika Serikat, India dan Brazil. (https://kominfo.go.id/content/detail/4286/pengguna-internet-indonesia-nomor-enam-dunia/0/sorotan_media).
Tidak ada statistik resmi yang menunjukkan penyebaran kasus-kasus seksual anak online. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat pada kurun waktu 2015, ada 1.366 kasus pornografi dan kejahatan siber pada anak. Sayangnya, laporan ini tidak menunjukkan validitas data yang akurat, karena hanya didasarkan pada temuan media, dan yang didasarkan pada kasus-kasus yang dilapokan kepada komisi ini. Namun demikian, sekurang-kurangnya sudah ada statistik kasus yang berhasil dikumpulkan sehingga mendorong institusi lain untuk melakukan validitas atau bahkan pengumpulan data.
Pemetaan yang dilakukan oleh sebuah NGO nasional yaitu ECPAT Indonesia (Ending Sexual Exploitation of Children) tentang tindak ini tahun 2017 menunjukkan bahwa ditemukan sejumlah fakta terjadinya SECO di beberapa wilayah Indonesia. Pemetaan ini dilakukan di tiga kota, yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung dan menemukan bahwa karakteristik anak yang menjadi korban tindak pidana SECO adalah anak-anak yang menggunakan media sosial dan anak-anak lain yang dijadikan korban. Ditemukan fakta, media sosial menjadi alat untuk mempromosikan anak-anak kepada konsumen, sejumlah forum online terbentuk dalam rangka mengeksploitasi anak-anak, tukar-menukar gambar dan video yang dilakukan oleh para kelompok sebaya, dan ditemukannya sejumlah jaringan anonymous yang terlibat dalam eksploitasi seks ini, sulit mengakses dan menemukan korban sehingga minim sekali kasus SECO yang dibawa ke ranah penegakan hukum. Pelaku kejahatan seksual anak online ini tidak melakukan kontak fisik dengan anak, mereka mengeksploitasi gambar dan video anak-anak tersebut dengan memproduksi, menyaksikannya, lalu mendistribusikannya, bahkan menggandakannya. Berbagai saluran digunakan untuk mengeksploitasi gambar dan video anak tersebut, seperti web, social media, networks group. Para pelaku tidak hanya datang dari satu negara tetapi juga dari berbagai negara. Batas-batas negara dalam kejahatan ini tidak terlihat lagi. Tiga kota yang menjadi target pemetaan menemukan kasus-kasus SECO yang memiliki karakreristik berbeda. Sebuah NGO lokal di Surabaya dalam kurun waktu 2013 menemukan enam kasus SECO, anak-anak yang menjadi korban ini dieksploitasi melalui media sosial. Lima orang anak korban SECO di Bandung berhasil diwawancarai. Sebagian dari mereka “dijual” oleh germo melalui sebuah web khusus. Web ini mempromosikan sejumlah gadis belia kepada para pelanggan. Anak-anak juga “dipasarkan” melalui sejumlah media sosial dan pesan singkat. Sejumlah anak-anak pun secara voluntary mendistribusikan gambar-gambar porno kepada pembeli seks anak dan kepada rekan-rekan sebaya mereka. Sebuah informasi mengejutkan dari anak, ditemukan pengalaman seorang anak melakukan hubungan seksual online dengan video streaming kepada seorang pelaku kejahatan seksual anak dari negara lain. Sementara itu, di Jakarta sejumlah anonymous networkgroups berkembang, group-group ini mendistribusikan gambar-gambar dan video porno anak. Anggota networksgroup menyebar di seluruh Indonesia.
Penegakan Hukum
Dalam upaya menekan terjadinya eksploitasi seksual anak online, maka penegakan hukum menjadi kunci yang terbaik. Indonesia telah melakukan dua kali revisi terhadap Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu revisi melalui UU No. 35 Tahun 2014 dan Revisi melalui UU No. 16 Tahun 2017. Ini menunjukkan kemauan pembentuk undang-undang untuk mengeliminasi masalah ini sudah cukup tinggi. Namun sayang, situasi ini tidak diikuti oleh kemampuan aparat penegak hukum yang handal dalam mengantisipasi dan mengatasi masalah ini.
Sebagai perbandingan, Amerika Serikat, Prancis dan Australia dianggap tiga negara yang terbaik dalam memberikan perlindungan terhadap anak-anak dari kekerasan seksual dari para child sex offender baik diranah offline maupun online. Ketiga negara ini memiliki database yang sangat baik terhadap pelaku-pelaku kejahatan seksual anak yang pernah dihukum. Database yang dimiliki dimanfaatkan oleh penegak hukum untuk mendeteksi para mantan terpidana ini kemana pun mereka pergi, termasuk ketika bepergian ke negara-negara dunia ketiga untuk berwisata. Pihak otoritas setempat akan memberikan informasi kepada otoritas negara tujuan, bahwa mantan terpidana pelaku kejahatan seksual anak akan memasuki satu negara, dan negara tersebut diharap menolak masuk orang tersebut. Jika saja kepolisian Indonesia memiliki database pelaku kejahatan seksual anak yang pernah dihukum, maka langkah penyelamatan anak-anak dari praktek kekerasan dan ekploitasi seksual anak akan semakin baik.
Selain masalah database, kelemahan lain yang dimiliki penegak hukum adalah, komitmen dan skill yang rendah. Skill dalam penyidikan terhadap kejahatan seksual anak wajib dimiliki, bahkan spesialisasi dalam bidang penyidikan kejahatan seksual anak sudah harus diterapkan oleh para petinggi kepolisian di Indonesia termasuk pemberian sertifikasi, sehingga para penyidik memiliki kemampuan yang handal dan spesifik. Selama ini para penyidik sering di-rolling di berbagai unit, karenanya mereka memiliki pengetahuan yang banyak tetapi tidak spesifik dan mendalam.
Isu lainnya adalah insentif, masalah ini penting, karena biaya untuk melakukan penyidikan masalah-masalah kejahatan seksual anak apalagi yang dilakukan oleh wisatawan membutuhkan anggaran khusus. Mereka akan banyak melakukan investigasi dan pengamanan destinasi wisata dari pelaku kejahatan seksual anak. Mereka tidak hanya duduk dan menunggu laporan di kantor tetapi perlu memasang telinga lebar-lebar dan mencari informasi seakurat mungkin dari berbagai informan di destinasi wisata. Oleh karena itu, bagi penyidik yang memilih bidang ini harus diberikan insentif khusus, agar mereka bisa fokus menyelamatkan destinasi wisata negeri ini dari para child sex offender.
Di Indonesia belum tersedia focal point yang secara khusus menangani soal SECO. Telah terbentuk gugus tugas pencegahan dan penanganan pornografi sebagai konsekuensi disahkannya undang-undang No. 44/2008. Namun ketua gugus berada Kementerian Agama, sehingga tindak pidana pornografi (yang merupakan dari SECO) dinilai sebagai kejahatan moral bukan sebagai kejahatan yang menggunakan perangkat tehnologi informasi. Gugus tugas ini tidak mampu menangani masalah tindak pidana pornografi anak, karena konseptualisasi tindak pidana pornografi yang didefinisikan terlalu luas sehingga menimbulkan over-criminalization.
Saat ini ada inisiatif dari pemerintah dalam menyusun peta jalan perlindungan anak di internet. Penyusunan peta ini dimaksudkan untuk melindungi anak dari kejahatan siber, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya. Diharapkan dengan adanya peta jalan pelindungan anak di internet ini, kita akan dapat lebih mensinergikan program yang sudah ada, sehingga dapat dilaksanakan secara serentak dan mengakomodasi seluruh sasaran. Peta jalan ini akan menjadi rujukan dalam menyusun kebijakan maupun regulasi pelindungan anak di internet. Sayangnya, program ini belum berhasil mengungkap dan memetakan modus operandi kejahatan ini, belum juga melakukan langkah-langkah penegakan hukum kepada pelaku dan akses perlindungan kepada korban.
Kementerian Informasi dan Komunikasi giat melakukan pembatasan konten internet yang mengandung unsur pornografi dengan filtering, sehingga anak-anak tidak terpapar konten pornografi dan anak-anak tidak dijadikan target pornografi. Program ini belum menyasar secara khusus tentang SECO, masih sebatas pada muatan internet yang mengandung pornografi baik pornografi dewasa maupun pornografi anak. Tentu saja program ini tidak sepenuhnya mampu menanggulangi SECO karena SECO bukan saja sebatas pada pornografi anak. Karena itu diperlukan langkah-langkah strategis dan penguatan kapasitas institusi ini dalam menanggulangi SECO.
Markas Besar Kepolisian RI telah membentuk subdirektorat untuk pemberantasan cybercrime dan salah satu yang menjadi perhatian unit ini adalah kejahatan seksual online. Namun, karena keterbatasn sumber daya manusia maupun sumber dana maka kasus-kasus SECO yang berhasil ditangani juga sangat sedikit sekali. Unit ini hanya ada di Markas Besar Kepolisian RI dan ditambah dengan tiga Kepolisian Daerah di Indonesia. Oleh karena itu, kasus-kasus SECO yang masuk dalam pengadilan juga sangat minim. Praktis tidak banyak kasus yang diproses penegak hukum Indonesia. Kesulitan yang dihadapi adalah ruang lingkup SECO yang luas sehingga memerlukan keahlian khusus dari penegak hukum. (***)