IMPLEMENTASI RATIFIKASI OPTIONAL PROTOKOL (OPSC) DI INDONESIA
Oleh AHMAD SOFIAN (Agustus 2019)
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak ini dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1996. Pada tanggal 24 September 2001, Indonesia turut serta menandatangani Protokol Opsional mengenai Perdagangan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak (yang selanjutnya disebut Protokol Opsional). Protokol Opsional merupakan bentuk komitmen negara kepada dunia internasional untuk melarang bentuk-bentuk eksploitasi seksual anak meliputi perdagangan anak, pelacuran anak dan pornografi anak. Meskipun pemerintah Indonesia telah menandatangani Protokol Opsional, perlu jeda 11 tahun bagi Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi protokol opsional tersebut melalui Undang-Undang No.12 tahun 2012. Indonesia menjadi negara ke 148 yang meratifikasi protokol opsional tersebut.
Sebagai konsekuensi dari diratifikasinya protokol opsional tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak, Pemerintah Indonesia harus segera mentransformasikan dan mengharmonisasi protokol opsional ini pada peraturan perundang-undangan nasional, khususnya untuk melakukan kriminalisasi terhadap pelaku, rehabilitasi terhadap korban, serta memiliki definisi dan unsur tindak pidana terhadap kasus penjualan anak, prostitusi anak dan pornografi anak di Indonesia. Hal ini penting dikarenakan Indonesia menganut prinsip non-self executing, artinya bahwa ratifikasi protokol opsional melalui undang-undang tidak secara otomatis mengimplementasikan Protokol opsional tersebut. Pemerintah masih memerlukan rumusan undang-undang khusus terkait pelaksanaan implementasi Protokol Opsional di Indonesia.
Konsekuensi lain yang harus segera dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah pembuatan state report6 kepada Komite Hak Anak PBB terkait implementasi Protokol Opsional. Hal ini dikarenakan di dalam Protokol Opsional pasal 12 ayat (1) disebutkan : “setiap Negara Pihak harus menyerahkan, dalam waktu dua tahun setelah berlakunya Protokol ini untuk Negara Pihak tersebut, laporan kepada Komite Hak-Hak Anak yang menyediakan informasi yang komprehensif mengenai tindakan-tindakan yang diambil untuk implementasi ketentuan dalam Protokol.”
Implementasi Protokol Opsional di Negara-negara ASEAN
No. | Negara | Ratifikasi | Pelaporan State Report | |||
1. | Thailand | 11 | Januari 2006 | 30 | Oktober 2009 | |
2. | Vietnam | 20 | Desember 2001 | 8 November 2005 | ||
3. | Filipina | 28 | Mei 2002 | 24 | Agustus 2009 | |
4. | Timur Leste | 16 | April 2003 | 1 Maret 2007 | ||
5. | Laos | 20 | September 2006 | 20 | Juni 2013 | |
6. | Kamboja | 30 | Mei 2002 | 23 | April 2014 | |
7. | Brunei Darussalam | 21 | November 2006 | – | ||
8. | Myanmar | 16 | Januari 2012 | – | ||
9. | Malaysia | 12 | April 2012 | – | ||
10. | Indonesia | 24 | September 2012 | – | ||
Sumber : United Nations Human Rights Office of The High Commisioner | ||||||
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa Indonesia berada pada posisi terbawah, baik dalam hal ratifikasi maupun pembuatan State Report sebagai tindak lanjut implementasi. Indonesia bersama dengan Negara Brunei Darussalam, Myanmar dan Malaysia belum membuat state report sebagai kewajiban negara setelah melakukan ratifikasi. Enam negara lainnya di ASEAN sudah lebih dahulu membuat state report dan telah dilaporkan kepada Komite Hak-hak Anak PBB.
Pembuatan state report dan pelaporan kepada Komite Hak-hak anak memiliki peranan penting. Kehadiran state report merupakan bentuk komitmen negara dalam melawan perdagangan anak, prostitusi anak dan pornografi anak. Salah satu contoh bentuk komitmen negara ini dapat kita lihat pada negara Thailand. Dalam publikasi resmi komite hak anak, pemerintah Thailand telah melakukan pelaporan awal terkait implementasi Protokol Opsional.
Hingga saat ini, report kepada PBB tentang implementasi protokol opsional tidak kunjung dilakukan. Pihak Kementerian Luar Negeri menyatakan bahwa yang memiliki kewenangan dalam persiapan penulisan State Report ini adalah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama dengan Kementerian Hukum dan HAM. Dalam proses pengumpulan data, Pihak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak justru baru akan menindaklanjuti terkait belum dilaporkannya state report ini kepada PBB. Artinya, persiapan untuk penulisan laporan ini memang belum dilakukan. Dari sembilan aspek yang menjadi fokus dari protokol opsional yaitu (1) pelarangan perdagangan anak, prostitusis anak, pelacuran anak, (2) ekstradisi (3) penyitaan asset (4) pemenuhan hak korban (5) pencegahan (6) rehabilitasi dan reintegrasi (7) kerjasama internasional (8) monitoring dan evaluasi (9) state report ke PBB tidak ada satupun aspek yang sudah terimplementasi dengan baik di Indonesia. Tujuh dari sembilan aspek ternyata masih terimplementasi sebagian. Dua aspek protokol opsional, yaitu berkaitan dengan upaya monitoring dan evaluasi serta state report kepada PBB belum dilakukan sama sekali oleh pemerintah. Secara garis besar beberapa permasalahan yang teridentifikasi menjadi kendala dalam implementasi ini adalah sebagai berikut:
Belum Tegasnya Aturan Hukum Nasional terhadap Pelarangan Prostitusi Anak Pemerintah belum melakukan harmonisasi regulasi dengan protokol opsional yang telah ada saat ini. Salah satu yang paling krusial adalah berkaitan dengan definisi prostitusi anak yang masih belum tercantum di dalam aturan hukum nasional. Kondisi ini menimbulkan kendala dalam penegakan hukum berkaitan dengan kasus prostitusi anak. Tidak adanya Aturan Hukum Nasional untuk Memberikan Sanksi Pidana terhadap Pembeli Prostitusi Anak. Salah satu unsur tindak pidana di dalam protokol opsional yang kemudian dihapuskan di dalam ratifikasi protokol opsional adalah berkaitan dengan membeli prostitusi anak. Hal ini juga tercermin di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang belum memberikan sanksi pidana kepada pembeli prostitusi anak. Sanksi pidana selalu dibebankan kepada mucikari atau germo. Kondisi ini menyebabkan predator seks anak hingga saat ini masih dapat leluasa bergerak di Indonesia.
Belum Tegasnya Pemerintah untuk Melakukan Penyitaan Aset terhadap Tempat yang Memfasilitasi Pelanggaran.Meskipun regulasi penyitaan aset sudah terdapat di dalam aturan hukum nasional, tetapi implementasi penyitaan aset terhadap tempat-tempat yang memfasilitasi pelanggaran ini belum pernah dilakukan oleh penegak hukum di Indonesia. Hal ini menyebabkan sektor privat yang memfasilitasi perdagangan anak, prostitusi anak dan pornografi anak masih dapat terus menjalankan aktivitas bisnisnya.
Pola Penanganan Hukum di Kepolisian terkait Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak Belum Seluruhnya Ditangani oleh Unit PPA. Pola penanganan hukum yang masih terpisah-pisah terkait penanganan kasus perdagangan anak, prostitusi anak dan pornografi anak menyebabkan anak tidak mendapatkan jaminan perlindungan saat proses hukum. Untuk kasus perdagangan anak dan pornografi anak, anak-anak yang menjadi korban tidak dipisahkan dari orang dewasa. Hal ini tentunya berbahaya bagi keselamatan dan perlindungan terhadap korban yang sedang menjalani proses hukum.
Belum Adanya Mekanisme Pendataan Terintegrasi berkaitan dengan kasus dan jumlah korban Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak. Upaya pendataan terhadap kasus dan korban perdagangan anak, prostitusi anak dan pornografi anak belum dilakukan oleh pemerintah. Padahal akses-akses sumber daya untuk melakukan pendataan sudah tersedia, misalnya melalui P2TP2A, kepolisian, dinas sosial di masing-masing daerah, dan pihak terkait. Upaya pendataan terintegrasi ini penting agar pemerintah memiliki gambaran tentang situasi perdagangan anak, prostitusi anak dan pornografi anak.
Tidak Adanya Upaya Monitoring dan Evaluasi dalam Proses Reintegrasi Korban Permasalahan berkaitan dengan reintegrasi korban adalah pihak Kementerian Sosial Republik Indonesia tidak melakukan monitoring dan evaluasi terhadap korban-korban yang telah direintegrasi. Hal ini menyebabkan tidak terpantaunya korban perdagangan anak, prostitusi anak dan pornografi anak yang telah direhabilitasi dan reintegrasi, apakah sudah benar-benar pulih dan terintegrasi dengan masyarakat atau malah kembali terjebak dalam praktik perdagangan anak, prostitusi anak dan pornografi anak. (***)