KRITIK SIMESTER DAN VON HIRSCH TERHADAP HARM PRINCIPLES
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Agustus 2019)
Harm principles merupakan salah satu prinsip yang dipergunakan dalam kriminalisasi. Akan tetapi tidak semua sarjana setuju dengan penggunaan harm principles tersebut. Di antaranya A.P. Simester dan Andreas von Hirsch yang berpendapat bahwa harm principles tidak bisa berdiri sendiri sebagai prinsip utama untuk keputusan tentang kriminalisasi,[1] tetapi offence principles juga diperlukan untuk menjawab permasalahan terhadap kriminalisasi yang tidak merujuk pada bahaya bagi orang lain.
Simester dan von Hirsch mengkritik harm principles. Pertama, kritik disampaikan atas adanya perluasan konsep bahaya yang meliputi adanya remote primary harm dan reactive harm/secondary harm,[2] dimana kriminalissi dengan menggunakan harm principles sulit untuk menjangkau kedua bentuk ini. Kedua, Simester dan von Hirsch berpandangan bahwa ada bahaya saja tidak cukup untuk mengkriminalisasi jika tidak ada hak negara untuk melindungi kepentingan tertentu.[3] Terdapat ketidakmampuan negara dalam melakukan intervensi untuk mengatur perilaku tidak bermoral dimana pelaku memiliki kesalahan akan tetapi perbuatannya tidak mempengaruhi kehidupan orang lain. Contoh yang dikemukan adalah perilaku menghina ras. Penghinaan terhadap kelompok tertentu tidak menghadirkan bahaya yang nyata kepada anggota kelompok ras tertentu tetapi mencederai mereka untuk menjalani kehidupan yang baik live good lives, seperti kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Melalui contoh ini pula terlihat kelemahan harm principle terhadap kepentingan kolektif.[4] Argumen yang dikemukanan oleh Simester dan von Hirsch merujuk pada konstitusi mengenai ada kebebasan dan kewajiban warga negara[5] yang memungkinkan peran utama negara untuk memfasilitasi koeksistensi yang damai di antara warga negara, dan untuk melindungi sarana dasar yang digunakan warga negara untuk menjalani kehidupan yang baik (live good lives).[6] Harm principles tidak dapat menjangkau hal-hal ini.
Terdapat dua syarat dalam prinsip pelanggaran. Pertama, perilaku ofensif tersebut harus merupakan perbuatan yang salah, dan kedua perilaku tersebut harus mengarah pada adanya bahaya (harm).[7] Titik berat pandangan keduanya adanya moralitas dalam unsur kesalahan (wrongfulness). Hukum pidana harus melarang perilaku yang salah,[8] sehingga perilaku yang tidak bercela tidak boleh dikenai hukuman dan norma hukum pidana harus dirumuskan untuk menangkap orang yang perilaku salah.[9] Akan tetapi Simester dan von Hirsch kemudian berpandangan bahwa adanya kesalahan (wrongfulness) saja tidak menjadikan dasar untuk memperluas kriminalisasi.[10] Oleh karenanya kesalahan (wrongfulness) merupakan titik awal yang menyebabkan terjadinya bahaya.
Terkait dengan syarat yang pertama, kriminalisasi dilakukan karena adanya perilaku ofensif yang memiliki unsur kesalahan berupa perilaku ekspresif yang tidak menghormati atau sesuai dengan orang lain. Tindak pidana terjadi karena adanya pelanggaran dalam mengkomunikasikan sikap moral dasar berupa perilaku yang tidak sopan, tidak hormat, tidak toleran, dan tidak peduli.[11] Simester dan von Hirsch mengilustrasikan hal ini melalui beberapa perbuatan seperti menghina (insulting conduct) dan eksibisionis. Berbeda dengan Feinberg yang mengkaitkan perilaku yang sangat kurang rasa hormat ini dengan ruang publik sehingga perilaku tersebut tidak disukai oleh masyarakat secara luas, Simester dan von Hirsch pertimbangan akan perilaku yang tidak hormat, tidak sopan, tidak toleran, dan tidak peduli ini merupakan kesalahan (wrongfulness) karena berpotensi menyerang[12] dan berisiko menimbulkan bahaya yang sebenarnya.[13]
Terkait syarat yang kedua, Simester dan von Hirsch menerima pandangan Feinberg yang membedakan offence principles dengan harm principles. Akan tetapi keduanya tidak sependapat dengan Feinberg yang menyatakan bahwa pelanggaran (offence) berbeda dari bahaya (harm). Hal tersebut dikarena adanya pelanggaran (offence) tidak serta merta mengurangi kepentingan seseorang.[14] Sebaliknya keberadaan pelanggaran (offence) dapat dipisahkan dengan bahaya (harm), harus dipahami sebagai hubungan antara kesalahan (wrongfulness) dan perbuatan yang membahayakan (harming). Kriminalisasi atas perilaku yang ofensif dilakukan karena adanya karena rangkaian konsekuensi yang ditimbulkannya, yang pada akhirnya berisiko menimbulkan bahaya yang sebenarnya.[15] Dengan demikian kriminalisasi dengan menggunakan offence principles tetap membutuhkan unsur bahaya (harm). (***)
REFERENSI:
[1] Tatjana Hornle [1], ‘Right to Others’ in Criminalization Theory”, dalam Liberal Criminal Theory Essays for Andreas von Hirsch, diedit oleh AP Simester, Antje du Bois-Pedain dan Ulfrid Neumann, (Oxford dan Portland: Hart Publising, 2014). hlm. 172.
[2] Tatjana Hornle [2], “Theories of Criminalization: Comments on A.P. Simester/Andreas von Hirsch: Crimes, Harms and Wrongs. On the Principles of Criminalization,” Criminal Law and Philosophy, 10(2). hlm. 302 dan 305 dan Hornle [1], Op. Cit. hlm. 174-175.
[3] A.P. Simester dan Andreas von Hirsch [1], Crimes, Harms and Wrongs on the Principles of Criminalization (Oxford: Hart Publishing Ltd , 2011). hlm. 39.
[4] Hornle [1], Op. Cit. hlm. 174-175.
[5] Simester dan von Hirsch [2], Op. cit. hlm. 68; dan Hornle [1], Op.cit. hlm. 174-175
[6] Hornle [2], Op.cit. hlm. 304
[7] Simester dan von Hirsch [2], Op. cit. hlm. 269.
[8] Simester dan von Hirsch [1], Op.cit., hlm. 22.
[9].Hornel [2], Op.cit. hlm. 33.
[10] Ibid.
[11] Simester dan von Hirsch [2], Op. cit. hlm. 100-102.
[12] Ibid. hlm. 107.
[13] A.P. Simester dan Andreas von Hirsch [3], “Penalising Offensive Behaviour: Constitutive and Mediating Principles” dalam Incivilities: Regulating Offensive Behaviour diedit oleh Andrew Von Hirsch dan AP Simester (Oxford: Hart Publishing Ltd , 2006). hlm. 118.
[14] Ibid.
[15] Ibid. hlm. 116-117.
Published at :