People Innovation Excellence

KRIMINALISASI PEMBERITAAN BOHONG DI INDONESIA

Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Agustus 2019)

Hukum pidana Indonesia telah mengatur mengenai larangan penyebaran berita bohong yang menyebabkan keributan dalam masyarakat. Larangan tersebut diatur dalam Pasal XIV dan Pasal XV Undang-Undang tentang Peraturan Hukum Pidana (UU No. 1 Tahun 1946) dengan rumusan sebagai berikut:

Pasal XIV

 (1)    Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.

(2)     Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.

Pasal XV

Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun.

Pasal XIV dan Pasal XV UU No. 1 Tahun 1946 merupakan pencabutan dan penambahan atas ketentuan dalam Pasal 171 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan bagian dari bab V mengenai ketertiban umum dalam buku II KUHP mengenai kejahatan. Pada mulanya hanya terdapat satu ayat dalam Pasal 171 KUHP yang berbunyi “Barang siapa yang menyiarkan kabar bohong, dengan sengaja meneribitkan keonaran di kalangan rakyat diancam dengan pidana penjara setinggi-tinginya satu tahun dan denda paling banyak Rp. 300,-“ Rumusan ini masih dipertahankan namun dengan perubahan ancaman pidana saja. Sedangkan ayat (2) Pasal XIV UU No. 1 Tahun 1946 berasal dari rumusan dari Verdodening Militair Gezag yang diberlakukan pada tanggal 21 Mei 1940 dengan perubahan beberapa redaksi dan unsur. Rumusan Verdodening Militair Gezag tersebut “ Barang siapa dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan yang sesat dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.” Sedangkan rumusan Pasal XV UU No. 1 Tahun 1946 merupakan rumusan baru.[1]

Tujuan dari Pasal 171 KUHP adalah untuk menghapuskan kegelisahan dalam masyarakat yang mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan. Yang menarik bahwa pasal tersebut hanya diberlakukan khusus di Hindia Belanda saja. Dalam Memorie van Toelichting dijelaskan bahwa rakyat masih sangat mudah dipengaruhi dan sangat percaya suatu termasuk berita yang tidak benar maka penyiaran berita yang bagaimana mustahilnya sekalipun dapat menimbulkan kegelisalahan yang mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan.[2] Keberadaan pasal tersebut merupakan bagian dari upaya pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk mempertahankan ketertiban umum dari berita yang dipandang bohong termasuk juga berita yang dihembuskan oleh pihak yang menginginkan kemerdekaan.

Rumusan Pasal XIV ayat (1) dan (2) dan Pasal XV UU No. 1 Tahun 1946 mensyaratkan adanya tiga unsur. Ketiga unsur tersebut adalah unsur menyiarkan atau menyebarkan, unsur berita bohong atau kabar angin atau kabar yang disiarkan dengan tambahan atau dikurangan, dan unsur keonaran. Penerapan Pasal XIV ayat (1) UU No. 1  Tahun 1946 dalam era media sosial adalah dalam Perkara No. 203/Pid.sus/2019/PN.JKT.SEL atas nama terdakwa Ratna Sarumpaet.

Dalam Rancangan KUHP, kriminalisasi terhadap penyiaran berita bohong diatur dalam bab mengenai tindak pidana terhadap ketertiban umum. Terdapat dua rumusan tindak pidana penyebaran berita bohong dalam bab Keteriban Umum dan keduanya rumusan dalam Pasal 272 ayat (1) dan (2) Rancangan KUHP. Kedua rumusan tersebut dirumuskan secara materil dengan rumusan sebagai berikut:

Pasal 272:

  • Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong yang mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V.

  • Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong yang dapat mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori ”[3]

Lebih lanjut tindak pidana penyebaran berita bohong di media sosial juga bersinggungan dengan pasal dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No. 11 Tahun 2008) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No. 19 Tahun 2016). Hal ini menyangkut penggunaan media sosial sebagai alat penyebaran berita bohong. Dalam UU No. 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 hanya melarang menyebaran berita bohong yang mengakibatkan kerugian konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45A ayat (1) UU No. 19 Tahun 2016, sedangkan penyebaran berita bohong yang mengganggu ketertiban umum tidak diatur. Akan tetapi ketentuan mengenai penyebaran ujaran kebencian terhadap suku agama ras dan antar golongan (SARA) Pasal 45A ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 kerap kali dipergunakan untuk perbuatan penyebaran suatu berita bohong yang meninggung SARA. Ketentuan Pasal 45A ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 adalah sebagai berikut:

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Putusan Pengadilan Negeri Ungaran No. 30/Pid.Sus/2018/PN. UNR. dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 1105/Pid.Sus/ 2017/PN Jkt.Utr merupakan putusan yang menggunakan Pasal 45A ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 untuk memidana berita bohong yang mengandung SARA.

Selain pasal dalam UU No. 11 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016, tindak pidana penyebaran berita bohong juga bersinggungan dengan pasal-pasal dalam Bab V mengenai Ketertiban Umum dalam Buku II mengenai Kejahatan pada KUHP. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Ungaran No. 30/Pid.Sus/2018/PN. UNR dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 1105/Pid.Sus/ 2017/PN Jkt.Utr, jaksa penuntut umum mendakwa masing-masing terdakwa dengan dakwaan berlapis, dakwaan primair Pasal 45A ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 dan dakwaan subsider Pasal 156 KUHP.

Ketentuan pidana mengenai penyebaran berita bohong berbeda namun berkaitan dengan pasal-pasal hatzai artikelen, yaitu pasal-pasal yang isinya memuat ancaman pidana bagi seseorang yang menyatakan penghinaan, kebencian, permusuhan kepada pemerintah, golongan–golongan tertentu, baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Pasal-pasal tersebut meliputi Pasal 154, 155, 156, 156a dan 157 KUHP yang merupakan bagian dari bab tentang ketertiban umum. [4] Berita bohong mengenai politik, pemerintahan atau pun teorisme kadang kala dikemas ataupun berkaitan dengan hasutan untuk membenci atau pun memusuhi pemerintah yang sah ataupun golongan serta kelompok masyarakat tertentu di Indonesia. Keberadaan pasal-pasal hatzai artikelen tersebut dipandang menggekang kebebasan pers.[5] Kemudian di era media sosial ini patut dikritisi apakah keberadaan pasal-pasal hatzai artikelen tersebut juga menggekang terhadap kebebasan berekspresi warga negara. (***)


REFERENSI:

[1] Moeljatno, Kejahatan-Kejahatan terhadap Ketertiban Umum (Open Bare Orde), (Jakarta: Bina Aksara, 1984). hlm. 132.

[2] Ibid.

[3] Draft Rancangan KUHP bulan Juni 2019.

[4]  Rudy Satrio Mukantardjo, “Hatzai Artikelen dan Fungsi Kritik dari Pres,” Jurnal Hukum dan Pembangunan, Nomor 3 Tahun XXVI (1996). hlm. 183.

[5] Herlambang Perdana Wirawan, “Press Freedom, Law And Politics In Indonesia : A Socio-Legal Study” Disertasi Universitas Leiden  Tahun 2014, hlm. 141.



Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close