PERGESERAN KONSEP DELIK PERS DI ERA MEDIA SOSIAL
Oleh VIDYA PRAHASSCITTA (Agustus 2019)
Dalam teori hukum pidana, dikenal adanya delik pers. Pengertian pers di sini meliputi dua pengertian. Pertama, pers yang diartikan sebagai lembaga pers sehingga menurut Loebby Loqman, delik pers diartikan sebagai suatu tindak pidana melalui alat cetak yang dilakukan oleh lembaga pers.[1] Kedua, pengertian delik pers menurut Van Hattum yang memuat tiga unsur yaitu (i) harus menggunakan barang-barang cetakan; (ii) perbuatan yang dipidanakan harus terdiri atas pernyataan pikiran atau perasaan seseorang; dan (iii) perumusan delik harus ternyata dengan suatu publikasi untuk dapat menimbulkan suatu kejahatan. Publikasi maksudnya dengan mengumumkan kepada publik atau kepada khalayak ramai. Bagi Van Hattum dan Oemar Seno Adji, syarat publikasi menjadi syarat mutlak dan menentukan suatu perbuatan merupakan delik pers atau tidak.[2] Oleh karenannya delik pers bukanlah delik propria karena tidak harus dilakukan oleh lembaga pers.
Dengan perubahan teknologi dan lahirnya media sosial, muncul pergeseran mengenai konsep delik pers tersebut. Pergeseran tersebut berkaitan dengan klasifikasi penyebaran berita bohong melalui media sosial sebagai bagian delik pers atau tidak. Pergeseran tersebut terutama pada unsur pertama dan ketiga dari delik pers yang dikemukakan oleh Van Hattum. Pada unsur pertama penggunaan barang-barang cetak dalam mempublikasikan pernyataan pikiran atau perasaan seseorang. Penggunaan media seperti koran dan majalah cetak merupakan pencerminan arti sempit dari pers; sedangkan penggunan media non-cetak seperti radio, televisi dan film dalam mempublikasikan pernyataan pikiran atau perasaan seseorang merupakan pencerminan pengertian pers dalam arti luas.[3] Pers dalam arti sempit merupakan manifestasi kebebasan pers (freedom of press) sedangkan pers dalam arti luas merupakan manifestasi dari kebebasan berbicara (freedom of speech) yang mana keduanya merupakan bagian dari kebebasan berekspresi (freedom of expression). [4] Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU No. 40 Tahun 1999) sendiri telah membuka pengertian pers yang tidak terbatas pada media cetak dan non cetak saja tetapi juga terhadap media elektornik.[5] Namun bagaimana dengan media sosial, apakah pemaknaan delik pers juga meliputi media sosial? Pertanyaan ini berkaitan dengan unsur ketiga dan unsur utama yaitu syarat publikasi. Teknologi media sosial memungkinkan semua penggunanya menjadi penerbit (publisher) atas konten yang dibuatnya[6] dan dapat menyebarkan konten tersebut hanya dengan menggunakan internet dan jari pengguna.
Pada akhirnya konsep delik pers hendaknya harus disesuaikan dengan perkembangan zaman terutama di era media sosial ini. Konsep delik pers tidak terbatas pada unsur penggunaan barang-barang cetak tetapi juga meliputi penggunaan media lainnya yang dapat dipergunakan untuk mempublikasikan pendapat dan ekspresi yang merugikan pihak lain dari pelakunya. (***)
REFERENSI:
[1] Indriyanto Seno Adji, Kebebasan Pers: Tuntutan Kebebasan Absolut? (Jakarta: Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Oemar Seno Adji, 2001). hlm. 56-57.
[2] Ibid. hlm. 58-60.
[3] Ibid. hlm 80-81.
[4] Oemar Senoadji, Mass Media dan Hukum, (Jakarta: Erlangga, 1977). hlm. 15-17.
[5] Indonesia, Undang-Undang tentang Pers, UU No. 40 Tahun 1999, TLN No. 3887. Psl. 1.
[6] Lon Safko dan David Brake, The Social Media Bible, Tacis, Tools and Strategies for Business Success, (New Jersey: John Wiley & Sons, Inc, 2009). hlm. 69.