SEKILAS SUATU TAWARAN METODE KAJIAN (PENAFSIRAN) FILOSOFIS TERHADAP UNDANG-UNDANG
Oleh SHIDARTA (Agustus 2019)
Dalam setiap peraturan perundang-undangan biasanya selalu dipersyaratkan tiga keberlakuan (Geltung), yaitu keberlakuan filosofis (filosofissche Geltung), keberlakuan yuridis (juristische Geltung), dan keberlakuan sosiologis (soziologische Geltung). Untuk jenis peraturan perundang-undangan yang menempati hierarki lebih tinggi, tuntutan keberlakuan filosofisnya akan makin tinggi. Artinya, dalam peraturan perundang-undangan yang berjenjang tinggi itu termuat kandungan filosofis yang seyogianya juga lebih kental. Ini berarti, tatkala kita mencermati kandungan filosofis suatu produk hukum bernama undang-undang dasar, akan lebih mudah ditemukenali daripada undang-undang. Selanjutnya mencermati kandungan filosofis suatu undang-undang, akan lebih mudah ditemukenali daripada peraturan pemerintah. Demikian seterusnya.
Undang-undang dalam arti formal adalah jenis peraturan perundang-undangan yang sudah dialihwujudkan dalam bentuk teks-teks tertulis. Teks tersebut merupakan tanda-tanda makna yang dapat dikomunikasikan secara intersubjektif. Teks ini bersifat normatif, yang dibentuk dan dipublikasikan oleh negara kepada masyarakat. Harapannya tentu saja masyarakat dapat memahami isi norma itu persis seperti yang diinginkan oleh penguasa negara yang membentuk norma. Oleh karena teks-teks normatif ini harus dikomunikasikan dengan menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh subjek-subjek hukum yang menjadi sasaran norma tersebut, maka teks-teks normatif ini juga tunduk pada batas-batas yang bisa ditolerir oleh kaidah-kaidah bahasa. Bahasa hukum, dengan demikian, harus juga tunduk pada hukum bahasa.
Keterbatasan inilah yang membuat bahasa hukum tidak sepenuhnya mampu menyampaikan pesan yang diinginkan secara tuntas. Hal-hal yang tidak tersampaikan melalui tanda-tanda tekstual bahasa itu, harus ditafsirkan. Pesan-pesan ini biasanya tidak diformulasikan secara tertulis, melainkan tersembunyi di balik rumusan pasal-pasal. Pesan-pesan inilah yang lazim dikenal dengan asas-asas hukum. Setiap asas hukum memiliki nilai-nilai kebaikan jika dilaksanakan, dan sebaliknya merupakan keburukan jika diabaikan. Jika diilustrasikan, nilai-nilai itu ibarat uap hujan yang ada di awan, yang kemudian mulai berbentuk dalam wujud titik-titik air hujan. Air ini ditampung dalam wadah-wadah normatif. Salah satu wadah ini adalah undang-undang. Kandung nilai dan asas ada tiap-tiap undang tidak selalu sama, seperti halnya kandungan air pada tiap-tiap wadah itu.
Dalam penafsiran filosofis, sangat penting bagi penafsir untuk memastikan setiap rumusan tertulis yang telah diformulasikan di dalam pasal dan ayat, mengandung pesan di dalam asas-asas hukum. Tugas ini tidak mudah karena terkadang rumusan pasal atau ayat itu terlalu teknis untuk dihubungkan dengan asas tertentu. Jika disepakati bahwa jalan (metode) penafsiran filosofis ini menggunakan pintu akses ke identifikasi asas-asas hukum, maka berarti sangat penting untuk memastikan bagaimana asas-asas itu dapat tersistematisasi dalam suatu undang-undang.
Paul Scholten memang pernah mengajarkan tentang lima asas universal yang selalu muncul dalam setiap sistem hukum, yaitu pemisahan baik-buruk, persamaan, kepribadian, persekutuan (kolektif), dan kewibawaan. Lain halnya dengan Meuwissen, yang membagi asas-asas hukum dalam dua kategori, yaitu asas-asas hukum material dan formal. Asas-asas material dibedakannya menjadi lima macam asas dan saling berkaitan. Pertama adalah asas penghormatan (respek) terhadap kepribadian manusia, yang jika dilaksanakan akan memunculkan asas penghormatan terhadap aspek kerohanian dan kejasmanian sebagai pribadi. Jika asas ini dilaksanakan, memunculkan asas ketiga, yaitu kepercayaan. Asas ini memunculkan lagi asas pertanggungjawaban, dan kemudian terakhir asas keadilan. Untuk asas-asas hukum formal, Meuwissen menyebutkan tiga asas, yakni asas konsistensi logis, kepastian, dan persamaan. Demikianlah, ada begitu banyak cara pengklasifikasian asas-asas hukum, sehingga sangat penting untuk membuat model pembagian asas yang aplikatif untuk keperluan peneliti (penafsir) melakukan identifikasi.
Gabriel Hallevy dalam bukunya berjudul “A Modern Treatise on the Principle of Legality in Criminal Law” (2010) membuat skema yang cukup membantu untuk membantu kita melakukan identifikasi asas hukum. Ia membedakan empat tataran asas, seperti terlihat pada ragaan-ragaan di bawah ini.
Model analisis yang ditawarkan oleh Hallevy ini terbilang baru, namun layak dijadikan panduan dalam menelaah dimensi filosofis suatu undang-undang. Sekalipun Hallevy menggunakan contoh penelaahan di ranah hukum pidana, langkah-langkah yang dijelaskannya dapat juga diterapkan untuk semua bidang hukum.
Untuk itu, jika dideskripsikan langkah-langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
- Cermati apakah suatu undang-undang ada dalam ranah publik, privat, atau kombinasi di antara keduanya. Perbedaan ini penting terkait dengan adanya perbedaan filosofi hukum publik dan hukum privat.
- Lakukan penelaahan bahwa berangkat dari isu-isu yang menjadi latar belakang pembentukan suatu undang-undang, apa filosofi (baca: pesan moral) yang ingin diperjuangkan di dalam undang-undang tersebut. Hasil rumusan atas filosofi keberadaan undang-undang ini ditempatkan sebagai supra-principle yang menjiwai keseluruhan undang-undang itu. Ada baiknya untuk membuat analisis atas asas supra ini terhadap nilai-nilai yang ada dalam cita hukum.
- Selanjutnya kaji apakah undang-undang ini didukung oleh fundamental-principles. Untuk undang-undang di bidang hukum pidana, sebagai contoh, dikenal ada empat asas fundamental, yakni principle of legality, principle of conduct, principle of culpability, dan principle of personal liability. Sangat penting untuk memberi deskripsi yang memadai atas asas-asas yang berhasil diidentifikasi ini, khususnya jika terjadi pertentangan anar-asas. Dalam ranah hukum perdata dan hukum administrasi negara, asas-asas fundamentalnya dipastikan akan berbeda dengan asas-asas hukum pidana. Dalam segi-segi tertentu pengaruh keluarga sistem hukum juga memiliki pengaruh atas ketersediaan asas-asas hukum ini dalam konteks sebuah sistem hukum positif suatu negara.
- Derivasi masing-masing asas fundamental itu ke dalam asas-asas sekunder. Contohnya, dalam hukum pidana ada empat asas fundamental, maka tiap asas fundamental itu akan terhubung dengan empat asas sekunder berkaitan dengan sumber hukum, keberlakuan sesuai waktu, keberlakuan sesuai tempat, dan metode interpretasi yang diusung. Derivasi seperti ini dapat juga dilakukan untuk area hukum lainnya.
- Kaitkan alur pikir yang terhubung antara nomor 1 sampai nomor 4 di atas dengan pasal-pasal (atau bahkan ayat-ayat) yang merepresentasikan asas-asas tadi (dalam undang-undang yang dikaji), yang dalam tulisan Hallevy disebut tahapan “the specific legal provision”.
Patut dicatat bahwa secara metodis, semua kajian filosofis pasti lebih bernuansa spekulatif daripada kajian yuridis dan sosiologis. Kendati demikian, tidak berarti bahwa kajian filosofis tidak bisa diberikan panduannya bagi para peminat yang ingin mencoba menelusurinya. (***)