DISKUSI HUKUM KONSTRUKSI DENGAN PROF. SARWONO HADJOMULJADI
Pada tanggal 2 Agustus 2019, bertempat di Kampus Kijang BINUS, Prof. Dr. Ir. Sarwono Hardjomuljadi (guru besar bidang manajemen konstruksi Universitas Mercu Buana, Jakarta) menyempatkan diri memenuhi undangan Jurusan Hukum Bisnis (Business Law) BINUS untuk berdiskusi dengan para mahasiswa Jurusan Hukum Bisnis BINUS mengenai perkembangan peraturan di bidang bisnis jasa konstruksi. Ikut hadir dalam diskusi ini beberapa dosen seperti Shidarta, Paulus Aluk Fajar Dwi Santo, dan Besar.
Dalam diskusi terbatas ini, Prof. Sarwono memaparkan ketentuan-ketentuan yang berlaku secara internasional dalam area bisnis ini, yang harus pula diikuti oleh Indonesia. Organisasi konsultan internasional, yaitu Federation Internationale des Ingenieurs Conseils (FIDIC) juga sudah membuat kontrak standar jasa konstruksi yang lazim dipakai di berbagai negara, termasuk Indonesia. Prof. Sarwono juga terlibat dalam pembaruan dan revisi perkembangan standar-standari ini, khususnya tatkala disesuaikan dengan kebutuhan pembuatan kontrak-kontrak jasa konstruksi di Indonesia.
Terlepas dari itu, Ia juga mengkritisi sejumlah inkonsistensi dalam hukum positif kita, yang terkadang membingungkan para pelaku usaha sektor konstruksi. Misalnya, ia memberi contoh pernah ada Peraturan Presiden 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pasal 51 ayat (1) huruf a dan f dari Perpres ini menyatakan bahwa di dalam kontrak lump sum pengadaan barang/jasa (atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu), jumlah harga adalah pasti dan tetap, serta tidak dimungkinkan penyesuaian harga. Untuk itu, tidak diperbolehkan adanya pekerjaan tambah/kurang. Namun, di sisi lain, peraturan yang sama, yaitu Pasal 87 ayat (1) menegaskan, “Dalam hal terdapat perbedaan antara kondisi lapangan pada saat pelaksanaan, dengan gambar dan/atau spesifikasi teknis yang ditentukan dalam Dokumen Kontrak, PPK bersama Penyedia Barang/Jasa dapat melakukan perubahan Kontrak yang meliputi: a.menambah atau mengurangi volume pekerjaan yang tercantum dalam Kontrak; b.menambah dan/atau mengurangi jenis pekerjaan; c.mengubah spesifikasi teknis pekerjaan sesuai dengankebutuhan lapangan; atau d.mengubah jadwal pelaksanaan.” Ayat (2)-nya menambahkan: “Pekerjaan tambah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan: a. tidak melebihi 10% (sepuluh perseratus) dari harga yang tercantum dalam perjanjian/kontrak awal; dan b. tersedianya anggaran.”
Hal ini ditanggapi oleh Shidarta, dosen dan Ketua Jurusan Hukum Bisnis BINUS, bahwa dalam hal terjadi konflik norma di dalam satu peraturan yang sama, maka yang dimenangkan harusnya adalah pasal atau ayat yang diletakkan lebih belakangan. Hal ini sejalan dengan asas lex posterior derogat legi prori. Selama ini, asas ini dipakai untuk dua undang-undang yang berbeda dengan mendahulukan undang-undang yang lebih terbaru, padahal sebenarnya dapat digunakan untuk satu undang-undang yang sama. Menurut Prof. Sarwono, institusi pemeriksa [keuangan] di daerah-daerah ternyata tidak mengikuti asas seperti itu, sehingga ketentuan Pasal 51 itulah yang dijadikan pegangan.
Ketentuan Pasal 87 Perpres No. 54 Tahun 2010 ini ternyata diikuti oleh Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang menggantikan dan mencabut Perpres tahun 2010 itu. Pasal 54 ayat (1) dari Perpres No. 16 Tahun 2018 menyatakan: “Dalam hal terdapat perbedaan antara kondisi lapangan pada saat pelaksanaan dengan gambar dan/atau spesifikasi teknis/KAK yang ditentukan dalam dokumen Kontrak, PPK bersama Penyedia dapat melakukan perubahan kontrak, yang meliputi: a. menambah atau mengurangi volume yang tercantum dalam Kontrak; b. menambah dan/atau mengurangi jenis kegiatan; c. mengubah spesifikasi teknis sesuai dengan kondisi lapangan; dan/ atau d. mengubah jadwal pelaksanaan.” Pasal 54 ayat (2) menyatakan: “Dalam hal perubahan kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan penambahan nilai kontrak, perubahan kontrak dilaksanakan dengan ketentuan penambahan nilai kontrak akhir tidak melebihi 10% (sepuluh persen) dari harga yang tercantum dalam kontrak awal.” (***)