DISKUSI FILSAFAT HUKUM PEMILU
Program Pascasarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta bekerja sama dengan Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) Yogyakarta, pada Sabtu, 27 Juli 2019 menyelenggarkan diskusi regional tentang pemilu dalam ruang filsafat hukum. Bertindak sebagai salah satu narasumber adalah Shidarta, Ketua Jurusan Hukum Bisnis (Business Law) BINUS. Dalam kesempatan itu beliau menyampaikan pandangannya tentang penalaran hukum dan hukum penalaran pemilu. Acara diskusi ini dibuka oleh Direktur Pascasarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Dr. Ir. A. M. Ade Lisantono, M.Eng., didampingi Kaprodi Magister Ilmu Hukum Dr. Hyronimus Rhiti, S.H., LL.M. yang sekaligus memandu acara.
Kehadiran Ketua Jurusan Hukum Bisnis BINUS dalam acara ini, selain untuk menjadi pembicara diskusi regional, juga dalam rangka menjalin kerja sama antara kedua lembaga, mengingat BINUS dan Atma Jaya Yogyakarta adalah sama-sama anggota dari Nationwide University Network in Indonesia (NUNI). Selama ini kedua universitas, khususnya antar-prodi hukum sudah berlangsung banyak kerja sama yang memperat hubungan kedua lembaga.
Menurut Shidarta, di dalam paparannya saat diskusi regional berlangsung, pemilu merupakan aktivitas rutin dalam setiap negara yang mengklaim dirinya demokratis. Oleh sebab itu, pemilu sangat kental dengan nuansa politik praktis. Sementara itu, politik merupakan energi bagi terciptanya norma hukum. Iklim perpolitikan yang tidak sehat, yang diwarnai perilaku kaum demagog, akan serta merta menurunkan kualitas hukum yang dihasilkan. Dari sisi sebaliknya, hukum dapat memberi nilai-nilai kepada penalaran politik. Dengan demikian, suatu norma positif sangat perlu untuk dimaknai secara lebih sehat.
Sedemikian dekatnya hubungan antara subsistem politik dan hukum itu, maka tidak mengherankan apaibla kesesatan bernalar (fallacies) yang dibawa oleh politik, akan diterima sebagai kebenaran di dalam hukum. Shidarta memberi contoh kesesatan seperti argumentum ad populum, argumentum ad hominem, post hoc ergo propter hoc, dan lain-lain, yang sebenarnya merupakan kesesatan bernalar, oleh hukum telah diadopsi dan kemudian diterjemahkan dalam berbagai asas hukum. Hanya saja, sebagai ilmu praktis yang normologis otoritatif, hukum akan mengambil alih penalaran itu dengan mengedepankan akal sehat. Kesesatan bernalar itu kemudian diisi dengan tujuan-tujuan hukum. Sebagai contoh, “lex superior derogat legi inferiori” adalah sebuah asas hukum, yang sebenarnya mencerminkan kesesatan bernalar karena mendahulukan otoritas penerima kewenangan lebih tinggi (superior) sebagai penentu keabsahan (kebenaran) hukum. “Tetapi, demi kepastian hukum, hal itu harus diterima,” ujarnya. Demikian juga halnya dengan penerimaan terhadap fiksi-fiksi hukum.
Narasumber lain adalah Dr. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum. mantan hakim konstitusi (2010-2015) yang sekarang menjabat Ketua Pengadilan Tinggi Agama di NTB, yang bertindak memberikan keynote speech. Selain itu juga tampil pembicara utama lain Dr. Hyronimus Rhiti (Universitas Atma Jaya Yogyakarta) dan Muhamad Rusdi (FH Universitas Widya Mataram, Yogyakarta).(***)
Published at :