MENGAPA PEMEGANG SAHAM MINORITAS HARUS DILINDUNGI ?
Oleh AGUS RIYANTO (Juli 2019)
Hidup adalah pilihan. Demikian juga halnya dengan pemegang saham minoritas. Menjadi minoritas bukanlah diberikan begitu saja, tetapi memang sudah pilihannya. Dengan itu, maka semenjak didirikannya perseroan pemegang saham minoritas telah mengakui dan menerima kedudukannya. Artinya, pemegang saham minoritas mengakui kedudukannya memang tidaklah sekuatdibandingkan dengan pemegang saham mayoritas. Seharusnya, secara sadar dan tahu juga bahwa mayoritas pemegang saham memiliki kekuatan untuk mengontrol dan menguasai perseroan karena besaran kepemilikan sahamnya yang lebih dari pemegang saham minoritas. Dengan konfigurasial keberbedaan yang tidak seimbang ini, maka potensi terjadinya penyalahgunaan dan pemaksaan kehendak sangat mungkin terjadi dan dilakukan oleh pemegang saham mayoritas. Berangkat dari titik inilah tumbuh pertanyaan mengapa dan harus pemegang saham minoritas dilindungi karena kedudukan yang lemah dan rentan itu ? Untuk dapat menjawabnya masalah di atas, terlebih dahulu, terdapat dua pertanyaanyangdapat diajukanyaitupertama, mengapa pemegang saham minoritas harus dilindungi? kedua, mengapapemegang saham minoritas harus memiliki hakkhusus ? Kedua pertanyaan ini tidak mudah menjawabnya, tetapi dapat diketahuinyadari tiga pertanda indikasi, berikut di bawah ini, sebagai realitas kedudukan pemegang saham minoritasyanglemah menghadapi pemilik saham mayoritas.
Pertama, prinsip persetujuan majoritas (majority voting rule) yang berlakudidalam RUPS. Prinsip ini menjadikan pemegang saham minoritas lemah kedudukannya. Hal ini karena pemegang saham minoritas besar kemungkinan akan kalahpemungutan suara di dalam RUPS. Dengan kondisi ini, pemegang saham mayoritas akan lebih banyak menentukan arah dan kebijakannya, termasuk memaksakan kehendaknya. Berbeda halnya dengan pemegang saham minoritas yang hanya dapat menerima saja keputusan RUPS (karena kalah suara) dan tidak mempunyai kewenangan mengurus perusahaan dan tidak berhak menunjuk Direksi atau Komisaris, sehingga terpaksalah menerima usulan-usulan dalam RUPS.Konsekuensinya, keputusan RUPS cenderung lebih berpihak kepada kepentingan pemegang saham mayoritas. Hal itu dapat dilakukan dengan intervensipemegang saham mayoritas terhadap pemegang saham minoritas dengan memaksakan kehendaknya untuk kepentingannya dan tidak untuk kepentingan perusahaan secara keseluruhan. Kesemua ini terjadi bermula dari besaran jumlah kepemilikan saham yang lebih banyak dimiliki pemegang saham mayoritas, sehingga kontrol terhadap perusahaan lebih besar berada ditangannya, dibandingkan dengan pemegang saham minoritas yang kepemilikan saham yang terbatas. Realitas yang berat sebelah ini diperburuk dengan berlakunya prinsip dari persetujuan majoritas, menjadikan pemegang saham minoritas yang berada kepada posisi yang kurang menguntungkan atau rentan.
Kedua,berlakunya prinsip tidak boleh(tidak dibenarkan)mencampuri urusan internalnyamanajemen perusahaan. Prinsip ini timbul sebagai hasil dari konsep “separate legal entity”(entitas yang terpisah) yangpada intinyamenyatakanbahwabadan usahaadalah sebagai institusi hukumyangterpisah dari pemiliknya atau pemegang saham. Konsep ini dapatmempengaruhi lemahnya kedudukan pemegang saham minoritas, karena dengan prinsip ini maka pemegang saham minoritas tidak berhak terlibat langsung di dalam operasional sehari-hari dan kebijakan-kebijakanmanajemen perusahaan. Sebagai konsekuensi logis, maka pemegang saham minoritas tidakdapat mengontrol arah kebijakan perusahaan, dan apabila terdapat kebijakan yang akan merugikan kepentingan pemegang saham minoritas, maka satu-satunya jalankeluaradalahdenganmengajukan keberatan hanyalahmelalui RUPS, karena RUPS adalah instrumenpemegangsaham tertinggi yang memiliki mandat dan kewenangan tertinggididalam perusahaan. Dikembalikanpenyelesainnya inikepadaRUPS berarti sama sajapemegang saham minoritas akanmenghadapi dominasidengan potensi terjadinya pemaksaan kehendakpemegang saham mayoritas terhadap pemegang saham minoritas.Artinya, prinsip ini telah menunjukkan betapa tidak mudah pemegang saham minoritas melindungi dirinya sendiri dan penyelesaian akhirnya bagaikan sebuah lingkaran putaran yang tetap pada akhirnya pemegang saham mayoritas yang akan dan selalu diuntungkan dengan prinsip perhitungan suaranya dalam RUPS.
Professor Jeniffer Hill(University of Sydney, Law School, Australia)didalam atikelnya mengemukakan sebuah penghalang yang menunjang dua prinsip yang telah disebutkan sebelumnya. Prinsip ketigaini lahirkarenadiabaikannya hak pemegang saham minoritas dalam kasus Foss v Harbottle (1843) 2 Hare 462. Hal ini berakibat pemegang saham minoritas tidak dapatmelakukan gugatan terhadap kebijakan manajemen perusahaan yangdapatmerugikan pemegang saham mayoritas, karena berlakunya “proper plaintiff rule”.Prinsip ini menentukan bahwayang paling berhak dan tepat untuk menggugat adalah perusahaan itu sendiri dan bukanlah pemegang sahan, dalam hal dimaksud adalah pemegang saham minoritas. Di dalam kasus terjadinya kerugian perusahaan, maka yang dapat mengambil tindakan menggugat adalah perusahaan itu sendiri yangpalingberhak dan tidak ada hak pemegang saham minoritas untuk menggugat. Dengan prinsip inijelastelah membatasi pemegang saham minoritas untuk mengawasi dari kemungkinan terjadinyatindakan yangtidak menguntungkan perusahaan yang diambil pihakmanajemen.Prinsip ini dengan jelas telah menunjukkan ketidak-berpihakannyakepada pemegang saham minoritas dancenderung menguntungkan Direksi, karena Direksi sesungguhnya yang berhak mewakili perusahaan untuk dapat menggugat perusahaan, termasuk dalam hal ini kepentingannya pemegang saham mayoritas juga. Dengan keadaan ini, maka bertambah sempitnya ruang gerak pemegang saham minoritas untuk menggugat perusahaan sehingga menjadi tambah tersudutkannya kedudukan pemegang saham minoritas di dalam perusahaan.
Berdasarkan pada tiga prinsip tersebut di atas dapat dilihat bagaimana lemahnya kedudukan pemegang saham minoritas. Sebagai akibatnya pemegang saham minoritas berada dalam situasi yang mengharuskan diberikan hak khusus dengan mengaturnya dalam perundang- undangan untuk melindungi kepentingan pemegang saham minoritas dari kemungkinan dirugikan dengan dilakukan tindakan pemegang saham mayoritas. Perumusan ketentuan dapat mengurangi efeknegatifyangakanmerugikan apabila terjadimelaluipemaksaan kehedaknyapemegang saham mayoritas terhadap pemegang saham minoritas,danhal ini dapat dilakukan dengan membuat kedudukandi antaramereka menjadi setara dimata hukum dalam cara yang transparan dan dapat diterima umum. Ketidaksetaran itulah yang menjadikan akar permasalahan terjadinyaketidakadilan perlakuandan menjadikanbertambah sulitnyakedudukan pemegang saham minoritas menghadapi pemegang saham mayoritas apabila pengaturan khusus yang lebih komprehensif dan lengkapyang tidaklahdiaturnya sebagaimana yang terjadi di Indonesia, maka pemegang saham minoritas hanya menjadikan dirinya sebagai pelengkap untuk menggenapkan jumlahnya yang harus dua pemegang saham, tetapi tidak dapat memperjuangkan hak-haknya. Dengan dasar inilah, maka jelas bahwa pemegang saham berhakdan harusuntuk dilindungi, karena kebutuhan memperkuat kedudukan pemegang saham minoritas itu, sesungguhnya,bukanlah tanpa sebabdan rasionalitas di dalamnya seharusnya ada serta tidak seperti yang sekarang diatur UUPT yang setengah hati melindunginya dan sekedar ada diaturnya. Tidak ada kejelasan konsep dan kerangka sejarah melindungi pemegang saham minoritas.
LITERATUR:
- Roman Tomasic, and Stephen Bottomley, Corporations Law in Australia, The Federation Press, Sydney, 1995.
- Jeniffer Hill, Protecting Minority Shareholders and Reasonable Expectations, (1992) 10 Companies and Securities Law Journal & SLJ
Published at :
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...