PERBUATAN YANG DILARANG DALAM UU-ITE
Oleh BAMBANG PRATAMA (Juli 2019)
Pengaturan tentang penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) diatur secara jelas paska diundangkannya Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang kemudian diubah menjadi Undang-undang No. 19 Tahun 2016 (selanjutnya disingkat UU-ITE). Beberapa tahun sejak diundangkannya UU-ITE, problematika pemanfaatan TIK tidak menjadi perbincangan. Namun, seiring dengan meningkatnya penggunaa Internet di masyarakat, khususnya penggunaan media sosial, maka mulai marak juga kasus-kasus terkait informasi dan transaksi elektronik. Ledakan kasus terkait UU-ITE dimulai sejak tahun 2013-2014 khususnya ketika dimulainya pemilihan presiden RI. Kondisi ini juga menunjukkan tingginya kasus ITE umumnya didominasi oleh pasal-pasal langganan, diantaranya: pencemaran nama baik dan hoaxatau berita bohong. Meski demikian kasus terkait ITE juga bervariasi, tidak hanya terkait pencemaran nama baik atau hoax.
Tulisan singkat ini berusaha menjelaskan tentang apa saja perbuatan yang dilarang dalam UU-ITE. Dengan menggambarkan tentang perbuatan yang dilarang, maka diharapkan dapat memberikan gambaran secara lebih utuh tentang pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga dapat diketahui batasan-batasan dari tindakan terkait pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Namun demikian, selain gambaran tentang perbuatan yang dilarang, sejatinya suatu norma hukum pasti memiliki ruang untuk interpretasi baik untuk penyempitan makna atau perluasan makna. Dalam kaitannya tafsir di atas, tulisan ini tidak membahasnya secara lebih mendalam, akan tetapi lebih kepada bentuk perbuatan sebagaimana yang dirumuskan dalam norma UU-ITE.
Secara struktur undang-undang, perbuatan yang dilarang dalam UU-ITE diatur dalam pasal 27 sampai dengan pasal 37 UU-ITE. Namun demikian secara lebih spesifik, ketentuan tentang larangan hanya diatur dari pasal 27 sampai dengan pasal 35 UU-ITE. Ada dua pasal yang berkedudukan sebagai operator norma, yaitu kondisi ketika suatu tindak pidana dilakukan oleh orang asing terhadap sistem elektronik di wilayah Republik Indonesia (pasal 37 UU-ITE) dan tindakan yang merugikan orang lain (pasal 36 UU-ITE). Adapun ketentuan norma primer (larangan) yang diatur dalam UU-ITE bisa dijelaskan sebagai berikut:
Mengacu pada rumusan norma primer di atas, hal yang perlu diperhatikan adalah kedudukan operator norma pada pasal 36 UU-ITE, yang mengatur bahwa apabila tindakan pelanggaran terkait pasal 27 sampai dengan pasal 34 UU-ITE mengakibatkan kerugian bagi orang lain, maka pasal 36 bisa digunakan. Dengan adanya ketentuan kondisi atau syarat norma pada pasal 36 UU-ITE, maka larangan dalam UU-ITE bisa dibaca dengan dua bentuk, yaitu: pertama: larangan perbuatan yang tidak mensyaratkan akibat kerugian (formil), dan kedua: larangan perbuatan yang mensyaratkan akibat kerugian (materil) sebagaimana diatur dalam pasal 36 UU-ITE.
Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa dalam penerapan UU-ITE memiliki dua mekanisme dan bergantung pada peristiwa hukum yang terjadi. Hanya saja perdebatan yang kerap kali terjadi adalah penentuan unsur kerugian, apakah bentuk kerugian itu harus berupa materi atau bentuk kerugian bisa termasuk kerugian imateril. Dalam hal ini saya berpendapat bahwa bentuk kerugian haruslah nyata, namun demikian tidak harus material, bisa juga reputasi. Hal ini didasarkan pada argumentasi bahwa aturan hukum bentuknya kongkret yang digunakan untuk menjawab permasalahan kongkret. Oleh sebab itu ketika menentukan suatu jenis kerugian, maka kerugian tersebut haruslah kongkret, bukan hanya berdasarkan pada apa yang dirasakan olehnya secara subjektif.
Published at :