DRAMA IKAN ASIN, SEBUAH PEMBELAJARAN BERSOSIAL MEDIA
Oleh AGUS RIYANTO (Juli 2019)
Di bulan juni menuju pasca ramadhan jagat media sosial digemparkan hebohnya drama ikan asin. Kasus ini bermula saat muncul vlog ‘ikan asin’ di channel Youtube ‘Rey Utami & Benua’ dalam kontem “Mulut Sampah”nya. Dalam vlog itu, Galih diwawancarai oleh Rey Utami soal hubungan masa lalunya dengan sang mantan istrinya, Fairuz A Rafiq. Obrolan itu kemudian menyerempet ke hal-hal privasi hingga hubungan seksual. Galih kemudian mengumpamakan Fairuz dengan ikan asin, sehingga membuat pihak Fairuz tersinggung dan melaporkannya kepada pihak kepolisian (https://hot.detik.com/celeb/d-4621327/galih-rey-utami-dan-pablo-akan-jalani-20-hari-masa-tahanan). Setelah itu media sosial (Internet) di dalam ruang-ruang gosipnya menjadikan kejadian yang menyedihkan sebagai menu utama pembahasannya. Tsunami informasi telah menempatkan ikan asin sebagai trending topic karenanya, namun yang tidak kalah seharusnya terlupakan adalah mengapa hal itu dapat terjadi (mengetahui latar belakangnya) dan pembelajaran apa yang dapat dipetik dari keseluruhan polemik ikan asin tersebut.
Kejadian di atas telah menunjukkan catatan bahwa teknologi internet membukakan ruang memperoleh tambahan ekonomi dan bukan tidak mungkin menjadi ladang kehidupan dan memperkaya diri sepanjang para kreator (Youtuber) dapat memanfaatkannya. Berangkat dari hal ini, maka patutlah disadarai bahwa drama ikan asin juga tidak dapat dilepaskan begitu saja dari dorongan ekonomi telah menjadi akar penyebabnya. Para pembuat konten Youtube berusaha dengan segenap tenaganya untuk mendapatkan viewers (pemirsa) atau subscribe (berlangganan) sebanyak mungkin, sehingga tanpa disadarinya telah melakukan tindakan dengan segala cara untuk itu. Termasuk membuat konten yang dilarang, seperti kekerasan, pornografi, kebohongan (hoax), kepalsuan dan lain-lain yang dapat merugikan pihak terkena akibat konten yang dibuatnya. Akibatnya, sangat terbuka kemungkinan Youtuber dilaporkan kepada pihak yang berwajib apabila ada pihak yang merasa dirugikan terhadap kontennya tersebut. Meskipun harus diakui juga banyak Youtuber yang memuat kontennya dengan menjaga etika, hukum, budaya dan aturan yang berlaku sehingga tidak mengalami permasalahan dengan hasil kontennya. Yang jelas adalah dorongan dan motif ekonomi yang tanpa batasan (berlebihan) dan tidak berpegang kepada etika dan hukum materinya berpotensi negatif (berurusan dengan hukum) terhadap para pelakunya. Hal ini karena semakin banyak viewers dan subscribe mengunjungi vlognya, maka pendapatan dari padanya menjadi semakin banyak. Kembali ke titik ekonomi sesungguhnya latar belakang yang menyebabkannya. Sebuah realitas yang telah hadir dan tanpa disadarinya menjadi bagian implikasi negatif tehnologi apabila salah menggunakannya.
Di samping ekonomi juga lemahnya proses editing sebelum upload konten Youtube dapat menjadi pemicu latar belakang permasalahan drama ini. Terkecualikan di dalam bentuk yang langsung (live), maka keharusan untuk melakukan pengecekan ulang adalah langkah yang terbaik untuk menghindari terdapatnya materi konten yang dapat menyinggung atau merugikan pihak lain, yang langsung atau tidak langsung, terkena dampak dari informasi yang akan dan telah ditayangkan. Hal ini penting, karena sebagaimana media cetak atau elektronik lain yang dengan sendirinya ada bagian editor khusus yang akan melakukan penyuntingan atau pengeditan material informasi you tuber tersebut, lalu dari segi tata bahasa, ejaan, struktur kalimat, termasuk di dalamnya akan memperhitungkan dampak (khususnya yang negatif) setelah di-uploadnya di media sosial. Lebih baik mencegah dan menghitung untung dan ruginya kesemuanya sehingga kemungkinan gugatan atau laporan kepada lembaga yang berwenang dapat dicegah dan dihindari. Tentu saja editor tidak sebesar layaknya media cetak atau elektronik sekeas Kompas atau detik.com, tetapi tetaplah editor dibutuhkan di dalam rangka menangkal kemungkinan ekses negatif dari pemberitaan informasinya tersebut. Setelah melalui editing, maka komunikasikan dengan narasumber yang menjadi objek wawancara untuk melihat dan mempelajarinya sekali lagi apakah ada keberatan dan tidak berkenannya atas rencana upload informasi itu. Artinya, terjadi pengecekan ulang untuk kedua kalinya dan apabila telah mendapatkan persetujuannya, maka barulah dilakukan upload ke dunia maya. Dalam drama Ikan Asin layak untuk dipertanyakan kembali apakah proses editing dan konfirmasi ulang dari pihak yang diwawancarainya, sebelum upload telah dilakukan kedua hal itu telah dilakukanlah atau tidak? Apabila sudah, maka tidak seharusnya seperti yang terjadi sekarang, namun apabila tidak dilakukannya, maka masalah ini dapat dikatakan sebagai sumber terjadinya permasalahan silang pendapat dan berakhir dengan pelaporan kepada kepolisian oleh yang merasa dirugikannya. Yang kesemuanya itu dapatlah dikatakan diluar dugaan dan prakiraan sebelumnya. Idealnya berpikir dahulu sebelum klik masuk ke alam dunia maya yang penuh tanda tanya dan persepsi yang tidak selalu sama dan terkadang bertentangan dalam memahami dan melihat suatu permasalahan.
Lalu, melihat semua yang telah terjadi pembelajaran apa seharusnya? Dalam kerangka ini menjadi pentingnya belajarlah dan mengerti literasi digital (khususnya UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE) dan plus net-etik. Hal ini menjadi penting dan urgen, namun terkadang dipandanglah sebelah mata oleh pengguna internet. Bahkan dapat saja terjadi pengguna media sosial (termasuk you tuber) tidak menyadari pentingnya kedua hal tersebut. Harus diakui hingga saat ini belumlah ada survei yang mencoba mengetahui apakah pengguna media sosial tahu akan adanya UU ITE, namun tahu atau tidak tentang UU ITE sepanjang telah diundangkan, maka semua warga negara Indonesia tanpa terkecuali dianggap tahu aturan tersebut. Artinya, tidak dapat dibenarkan apabila warga yang merasa dan berpendapat bahwa tidak mengetahui adanya UU ITE. Kehadiran UU ITE dalam kerangka lebih besar dalam berinternet adalah untuk mengatur dan menata interaksi di antara pengguna media sosial tersebut. Tidak dapat dibayangkan bagaimana apabila tidak ada UUITE sementara ketentuan yang mengaturnya tidak sejalan dengan perkembangan tehnologi maka yang terjadi adalah ketidakteraturan dan berlakulah hukum rimba. Dengan ini, maka terlepas dari kekuarangan UU ITE (jikalah memang ada) sudah waktunya untuk lebih memahami dan mempelajari arti yang terdapat di dalam perbuatan yang dilarang oleh UU ITE, khususnya pasal 27 hingga 37 UU ITE. Terutama sekali fokuskanlah kepada pasal 27, 28 dan 29 UU ITE, karena di dalam ketentuan ini masalah-masalah akan muncul apabila dilanggarnya. Termasuk juga dalam drama ikan asin meski masih terdapat pro dan kontra, tetapi dugaan terjadinya pelanggaran pasal 27 ayat 1 dan 3 sebagaimana yang di lansir oleh media masa, sebaiknya, hal ini menjadi catatan dan pelajaran yang berharga untuknya. Hal lain yang juga dapat mencegah terjadinya pelanggaran terhadap UU ITE adalah urgensi pengguna para media sosial untuk mengetahui adanya net-etik atau etika berinternet yang dapat dijadikan panduan dan juga pedoman dalam melangkah dan menggunakan media sosial. Dengan berpegang kepada net-etik, maka perlindungan awal kemungkinan dilaporkan pihak-pihak yang merasa dirugikan dapat dicegah. Net-etik itu, pada dasarnya, memiliki fungsi yang sama dengan etika yang berada di dalam lingkungan sosial manusia (dunia yang nyata), yaitu merupakan tata krama atau sopan santun yang harus juga diperhatikan dalam pergaulan agar hubungan selalu baik. Untuk itu, para Youtubers juga berpeganglah kepada Net-etik di dalam menggagas dan mengemukan ide-ide kreatifnya di media sosial ini. Artinya, Net-etik menjadi filter ataupun saringan pertama untuk dapat mengerem dari kemungkinan kebablasannya konten yang akan dipublikasikannya.
Dengan mengetahui kedua latar belakang tersebut dan pembelajaran dari berlakunya UU ITE, maka dapat menjadi catatan bahwa pengguna media sosial juga untuk berpegang kepada kehati-hatian, tanggung-jawab sosial dan bijaksanalah dalam bersosial medianya. Ketiga itu adalah perwujudan langkah pembelajaran untuk memenuhi ketentuan UU ITE sebagai warga dunia internet (netizen). Dengan hati-hati, maka kesalahan dan kelalaian dalam menghandirkan ide-ide kreatif di dunia maya akan dapat dihindari dengan selalu berpegang kepada norma-norma aturan yang berlaku dan etika berinternet sebagai dasar dan pedomannya. Dunia maya itu bukanlah wilayah daratan yang tidak bertuan dengan aturan, namun untuk kepentingan bersama akan selalu hadir negara untuk mengaturanya. Hal ini, untuk mengatur tata langkah warganya dalam menjalankan aktivitas berinternet dengan kesehariannya dalam menghindari sengketa di antara mereka. Juga harus diingat bahwa bersosial media harus memiliki tanggung-jawab sosial terhadap masyarakat. Tidak pada tempatnya menghasilkan konten-konten di Youtube tetapi di dalamnya mengandung materi yang akan melukai, mencederai, membohongi dan bahkan mencemari nama baik orang lain. Memang, di internet tidaklah ada lembaga sensor (seperti di dalam film), tetapi bersifat self-censorship (sensor diri) adalah bukti tanggung-jawabnya pengguna media sosial terhadap masyarakat luas. Kedua hal itu akan menjadi lebih baik apabila diakhiri dengan sikap bijaksana dalam berinteraksi dan berkomunikasi di internet. Bijaksana dimulai dari pribadi pengguna media sosial itu sendiri. Menahan diri adalah pilihan bijaksana dengan puasa berkomentar terhadap konten-konten negatif yang akan memancing emosi untuk terlibat dalam perdebatan yang belum tentu faham masalah sebenarnya. Dalam keadaan labil dan emosional sebaiknya menahan diri adalah resep terbaik menghadapi kehidupan informasi yang melimpah di dunia maya yang penuh dengan tanda tanya kebenarannya. Untuk itu, bijaksanalah. Bersabarlah dan berpikirlah sebelum bertindak adalah pilihan terbaik untuk kesemuanya di dunia maya. Belajarlah dari apa yang terjadi dan petiklah intisari masalahnya dan janganlah bertindak salah untuk drama-drama yang sama itu dan teirnfus di denyutnya kehidupan maya yang sesungguhnya tidaklah seaman sebagaimana yang diduga. Menjadi tidak aman apabila salah dalam memilih dan memilahnya. (***)
Published at :