UU ANTI-HOAKS SINGAPURA
Oleh REZA ZAKI (Juli 2019)
Singapura memperlakukan Undang-undang kontroversial tentang hoaks. Undang-undang tentang hoaks ini melarang penyebaran pernyataan palsu yang menurut pemerintah bertentangan dengan kepentingan umum. Pelanggar Undang-undang ini bisa didenda hingga Rp 10,5 miliar atau hukuman penjara hingga 5 tahun. Singapura meloloskan Undang-undang kontroversial tentang hoaks yang memberi kekuasaan kepada pihak berwenang untuk mengawasi mimbar daring dan kelompok percakapan privat melalui aplikasi. Pemerintah Singapura kini bisa memerintahkan mimbar daring untuk membuang materi yang dianggap palsu dan “bertentangan dengan kepentingan publik” serta mengedarkan koreksi terhadap materi tersebut. Menurut pihak berwenang, Undang-undang ini dibuat untuk melindungi warga negara dari hoaks atau berita bohong. Namun Undang-undang ini dikritik sebagai ancaman serius terhadap kebebasan sipil.
Pemerintah menekankan bahwa UU ini tak akan diarahkan untuk membatasi kebebasan berpendapat, hanya terbatas pada kebohongan yang terbukti merugikan. Undang-undang ini melarang penyebaran pernyataan palsu yang menurut pemerintah bertentangan dengan kepentingan umum.
Orang yang ditemukan bersalah melakukan hal ini bisa didenda dengan jumlah maksimum satu juta dolar Singapura (Rp10,5 miliar) atau dihukum penjara maksimal lima tahun. Undang-undang ini juga melarang penggunaan akun palsu dan bot untuk menyebarkan berita bohong. Penerapannya juga dilakukan ke berbagai mimbar, mulai dari media sosial, situs berita hingga ke aplikasi untuk percakapan terenskripsi.
Penerapan Undang-undang ini terhadap mimbar tertutup seperti aplikasi percakapan dan grup media sosial adalah hal yang kontroversial. Ini berarti aplikasi seperti WhatsApp dan Telegram, yang populer di Singapura, bakal turut terkena dampaknya. WhatsApp merupakan salah satu aplikasi percakapan paling populer di Singapura. Pihak berwenang belum menyatakan seperti apa mereka akan mendapat akses ke aplikasi dengan enskripsi. Perusahaan aplikasi yang terenskripsi telah menolak upaya pengawasan terhadap mereka, misalnya yang terjadi dengan WhatsApp di India.
Namun Edwin Tong menyatakan Singapura bisa mengeluarkan “perintah koreksi umum”. Ini berarti berbagai mimbar dan aplikasi bisa diperintahkan untuk menyebarkan koreksi atas berita palsu kepada para penggunanya. Wakil direktur Human Rights Watch divisi Asia menyatakan ide pemerintah Singapura ini “gila”. “Ini mengarah pada gaya pengendalian totaliter dan penyensoran,” katanya kepada BBC. “Ini ancaman langsung terhadap kebebasan berekspresi dan seluruh dunia harus khawatir terhadap kecenderungan ini.”
Juru bicara WhatsApp menyatakan kepada BBC, “Masyarakat secara umum mengenali beda antara bentuk komunikasi pribadi dan publik, dan kami mengerjakan bagian kami untuk mengurangi penyebaran informasi bohong seraya mempertahankan sifat pribadi dari layanan kami.” Singapura kini bergabung dengan negara-negara seperti Rusia, Prancis, dan Jerman yang telah meloloskan Undang-undang yang keras terhadap berita bohong dan ujaran kebencian.
Sementara itu di Indonesia, penegakan hukum terhadap pelaku berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian (hatespeech) oleh aparat masih kurang tegas. Sistem penangkal hoax juga masih lemah. ancaman di dunia siber sebenarnya tidak hanya hoax namun juga peretasan dan perilaku negatif para netizen yang dapat memancing perpecahan. Dia kemudian menyebut sistem pemerintah menangkal peretasan masih lemah. masalah kejahatan siber seperti hoax, peretasan dan hatespeech tak hanya dialami Indonesia. Tetapi, juga dialamin negara Adidaya seperti Amerika tak mampu membendungnya. Amerika saja habis-habisan diserang. Kemudian Inggris, dia bekerjasama dengan facebook, dia akan mencharge 1.500 poundsterling kalau ada berita hoax. Artinya tidak bisa difiltering.
Di Indonesia, Tahun 2019 merupakan tahun penuh polemik dan drama. Pemilu yang akan dilaksanakan pada 17 April 2019 sudah memiliki banyak kasus tentang penyebaran hoax dari masing-masing tim pendukung. Hal ini disebabkan oleh keegoisan beberapa pihak yang tidak dewasa.
Memang dalam praktek Pasal 28 ayat (2) Jo. 45A ayat (2) UU ITE untuk perbuatan ujaran kebencian yang dilakukan melalui medium internet (siber) karena dianggap sebagai lex specialis dari Pasal 156, 156a dan 157 KUHP yang dipergunakan untuk menyebarkan ujaran kebencian melalui medium non internet (siber); sedangkan Pasal 4 Jo. 16 UU Penghapusan Diskriminasi jarang dipergunakan, padahal ketentuan dalam UU Penghapusan Diskriminasi lebih merefleksikan pengertian akan perbuatan ujaran kebencian sebagaiamana dimaksud dalam ICERD ketimbang KUHP maupun UU ITE. (***)
Published at :