KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENYELENGGARAAN SISTEM JAMINAN SOSIAL DALAM PERSPEKTIF NEGARA KESEJAHTERAAN
Oleh IRON SARIRA (Juli 2019)
Negara kesejahteraan adalah suatu bentuk pemerintahan demokratis yang menegaskan bahwa negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat yang minimal, bahwa pemerintah harus mengatur pembagian kekayaan negara agar tidak ada rakyat yang kelaparan, tidak ada rakyat yang menemui ajalnya karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit, juga dapat dikatakan bahwa negara kesejahteraan mengandung unsur sosialisme, mementingkan kesetaraan di bidang politik maupun di bidang ekonomi. Dengan demikian, konsep negara kesejahteraan (welfare state) yang sebelumnya mengidealkan perluasan tanggungjawab negara ke dalam urusan-urusan masyarakat dan pasar, pada masa kini dituntut untuk melakukan liberalisasi dengan mengurangi peran untuk menjamin efisiensi dan efektifitas pelayanan umum yang lebih memenuhi harapan rakyat. Paham negara kesejahteraan adalah tanggung jawab sosial negara untuk mengurusi nasib orang miskin dan yang tak berpunya. Negara dituntut berperan lebih, sehingga format kelembagaan organisasi birokrasinya juga menjangkau kebutuhan yang lebih luas. Terhadap semakin luasnya bidang-bidang yang mesti ditangani oleh pemerintahan welfare state, maka dalam perkembangannya kemudian muncul sebutan intervensionist state.[1]
Kebijakan pemerintah untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial yang berlaku universal bagi seluruh warga negara Indonesia adalah konsekuensi dari amendemen kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang disetujui pada tanggal 18 Agustus 2000 terutama tentang Hak Asasi Manusia (“Setiap orang berhak atas jaminan sosial …,” vide Pasal 28H ayat 3)[2], dan amendemen keempat yang disetujui pada 10 Agustus 2002, khususnya revisi klausul kesejahteraan sosial, yang menyebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (pasal 34 ayat 2)[3] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952. Rumusan dasar ideologi welfare statetadi (“memajukan kesejahteraan umum” dan sila kelima Pancasila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”) kemudian dimanifestasikan ke dalam batang tubuh konstitusi negara Indonesia untuk dijadikan pedoman hidup berbangsa dan penyelenggaraan kenegaraan. Dalam Pasal 34 UUD 1945 pra amandemen, negara menyatakan bertanggung jawab untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar. Pasca amandemen keempat, tugas negara di bidang kesejahteraan sosial ini diperluas dengan tambahan tanggung jawab untuk mengembangkan sistem jaminan sosial dan memberdayakan kelompok masyarakat miskin, serta memberikan pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum bagi rakyatnya.[4]
Teori negara kesejahteraan mengandung asas kebebasan (liberty), asas kesetaraan hak (equality)maupun asas persahabatan (fraternity)atau kebersamaan (mutuality). Asas persahabatan atau kebersamaan dapat disamakan dengan asas kekeluargaan atau gotong royong.[5]Negara yang memiliki faham semakin demokratis dan berorientasi pasar, maka semakinlah negara itu harus mengurangi perannya dan membatasi diri untuk tidak mencampuri dinamika urusan masyarakat dan pasar yang mempunyai mekanisme kerjanya sendiri.Welfare state merupakan pemenuhan kebutuhan dasar, sehingga dianggap sebagai mekanisme pemerataan terhadap kesenjangan yang ditimbulkan oleh ekonomi pasar. Jaminan sosial, kesehatan, perumahan dan pendidikan adalah wilayah garapan utama dari kebijakan pemerintah yang menganut welfare state.[6]Program pengentasan kemiskinan dan sistem perpajakan juga dianggap sebagai aspek dari welfare state. Di negara-negara sosialis, welfarestatejuga meliputi jaminan pekerjaan dan administrasi harga barang dan jasapada level konsumen (consumer prices). Secara umum dijelaskan bahwa konsep welfare statedidasarkan pada prinsip persamaan kesempatan (equality ofopportunity), pemerataan pendapatan (equitable distribution of wealth), dantanggung jawab publik (public responsibility) terhadap mereka yang tidak mampu untuk menyediakan sendiri kebutuhan minimum untuk bisa hidup layak.[7]
Pengertianwelfare stateatau negara kesejahteraan tidak dapat dipisahkan dari konsep mengenai kesejahteraan (welfare) itu sendiri. Pengertian kesejahteraan sedikitnya mengandung 4 makna: sebagai kondisi sejahtera (wellbeing); sebagai pelayanan sosial; sebagai tunjangan sosial; dan sebagai proses terencana yang dilakukan oleh perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui pemberian pelayanan sosial dan tunjangan sosial.[8]Menurut sejarahnya, konsep welfare statemerupakan sebuah solusi kebijakan yang bersifat top-downterhadap permasalahan jaminan sosial dalam konteks sistem ekonomi kapitalis, dimana upah buruh dipengaruhi oleh kondisi pasar serta dihadapkan pada persoalan yang berada di luar kendali pekerja. Perubahan dari ekonomi perdesaan ke ekonomi berdasarkan upah buruh menciptakan ketidakamanan dalam hidup. Secara garis besar, negara kesejahteraan menunjuk pada sebuah model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya.[9]
Konsep negara kesejahteraan tidak hanya mencakup penjelasan mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan sosial (social services), melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya. Oleh karena itu negara kesejahteraan sangat erat kaitannya dengan kebijakan sosial (social policy) yang mencakup strategi dan upaya-upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan warganya, terutama melalui perlindungan sosial (socialprotection) yang berupa jaminan sosial (baik berbentuk bantuan sosial danasuransi sosial), maupun jaring pengaman sosial (social safety nets).[10]Disatu pihak, pembaruan hukum berarti suatu penetapan prioritas tujuan yang hendak dicapai dengan mempergunakan hukum sebagai sebuah sarana. Oleh karena hukum berasal dari masyarakat serta berproses dan hidup dalam masyarakat, maka yang harus dihadapai adalah kenyataan sosial. Sehubungan dengan itu maka perubahan yang direncanakan hendaknya direncanakan dan dilakukan secara menyeluruh.
Kata ‘negara’ pada ‘negara kesejahteraan’ tidak berarti bahwa sistem ini hanya melibatkan negara saja. Sebagaimana dipraktekkan di banyak negara, sistem ini juga melibatkan civil society, organisasi-organisasi sukarela dan perusahaan swasta. Konsep welfare pluralismseperti ini, jenis-jenis pelayanan dan bahkan sistem pengorganisasiannya bisa dilakukan secara terdesentralisasi sesuai dengan karakteristik dan keperluan masyarakat setempat. Yang terpenting,frameworkdan substansi dari pendekatan itu tetap sejalan dengan ruh negara kesejahteraan yang menekankan pentingnya perlindungan sosial sebagai hak warga negara.41 Salah satu contoh berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, perselisihan perburuhan dilaksanakan melalui musyawarah dan mufakat sebagai realisasi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, kemudian karean berkembangnya pemahaman masyarakat dalam hal ini buruh atas kondisi yang ada saat ini dan ketidakpuasan atas produk-produk hukum tersebut maka ketika di perbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan dapat dilihat perubahannya ketika ada perselisihan sengketa perburuhan dapat dilaksanakan dengan cara protes (demonstrasi, mogok), sebagai akibat dari adanya hak serikat buruh. Cerminan bahwa pembangunan politik berpengaruh atas produk hukum yang dihasilkan sebagaimana pembangunan yang berlangsung.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadi perubahan hukum dalam suatu negara dapat berasal dariinternalsehingga mempengaruhi seluruh sistem hukum yang sedang berjalan, dapat pula dari externalyang mempengaruhi sistem hukum nasional yakni adanya keharusan suatu negara menyesuaikan hukum nasionalnya dengan hukum Internasional. Dalam konteks perubahan dan pembaharuan hukum di Indonesia, kedua faktor tersebut secara bersamaan telah mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada dan sebagai konsekuensinya Indonesia harus melakukan harmonisasi terhadap hukum nasional yang ada.[11]
Kebijakan Pemerintah di bidang sosial sangat erat kaitannya dengan konsep negara kesejahteraaan yang dapat diartikan baik sebagai teori ataupun pendekatan. Kebijakan sosial diwujudkan dalam berbagai program pemerintah melalui skema perlindungan melalui skema perlindungan sosial (sosial protection) yang mencakup jaminan sosial (baik berbentuk bantuan sosial dan asuransi sosial) maupun jaring pengaman sosial (social safety nets).[12]Konsepsi negara kesejahteraan pada esensinya adalah memberi perlindungan atas kepentingan dasar yang memang telah melekat pada diri warga negara. Artinya ideologi negara kesejahteraan yang dianut oleh Indonesia menjadi panduan terselenggaranya pemerintahan sebagiamana diamanatkan dalam UUD 1945. Negara kesejahteraan pada prinsipnya mengintegrasikan sistem sumber dan jaringan pelayanan sosial agar dapat memelihara dan meningkatkan kesejahteraan (well-being) warga negara secara adil dan berkelanjutan. Negara kesejahteraan adalah model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya sebagai pondasi utama kebijakan sosial walaupun negara kesejahteraaan bukanlah sekedar kumpulan kebijakan sosial, artinya meskipun negara kesejahteraan selalu membutuhkan kebijakan sosial untuk mewujudkannya, suatu negara dapat menerapkan beberapa kebijakan sosial tanpa menganut negara kesejahteraan secara utuh.[13]
BAHAN BACAAN
[1] Jimly Asshiddiqie, Hubungan Antar Lembaga Negara Pasca Perubahan UUD 1945, www.jimly.com, diakses 15 Agustus 2016.
[2] Pasal 27 ayat (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 28 H ayat (3) Undang-UndangDasar 1945: ”Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkanpengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat.
[3] Pasal 34 ayat (2) Undang-UndangDasar1945: ”Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabatkemanusiaan.”
[4] Ibid,hlm 458.
[5] R. M. A. B. Kusuma, 2006, Negara Kesejahteraan Dan Jaminan Sosial, Jurnal Konstitusi,Volume 3, Nomor 1, Mahkamah Konstitusi, hlm 160.
[6] Alfitri, Volume 9 Nomor 3, September 2012, “Ideologi Welfare Statedalam Dasar Negara Indonesia Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Sistem Jaminan Sosial Nasional”, Jurnal Mahkamah Konstitusi, hlm 461.
[7] Ibid,hlm 454.
[8] Edi Suharto, 2006, Negara Kesejahteraan Dan Reinventing Depsos, Makalah Seminar UGM, www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/ReinventingDepsos, hlm 5.
[9] Ibid, hlm 6.
[10]Ainur Rofieq, 2011, Pelayanan Publik Dan Welfare State, Jurnal Governance, Vol. 2, No. 1, Jakarta, Universitas Islam “45”, Bekasi, hlm. 105. Diakses pada tanggal 21 Mei 2016.
[11]Edi Suharto, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik,Alfabeta, Bandung, 2013, hlm 10.
[12]Ibid, hlm 56.
[13]Ibid, hlm 57.
Published at :