People Innovation Excellence

KEMATIAN DEMOKRASI

Oleh SHIDARTA (Juli 2019)

Tulisan singkat ini menunjukkan betapa erat korelasi antara kemajuan teknologi di era digital dengan aktivitas yang masif dalam menambang data (data mining) tentang orang atau sekelompok orang lain, termasuk data yang tergolong personal tanpa seizin yang bersangkutan untuk berbagai alasan, baik untuk alasan politik, keamanan, bisnis, atau mungkin sekadar iseng. Manipulasi data ini membawa dampak yang sesat dan menyesatkan melalui klaim-klaim sepihak tanpa dukungan bukti empiris di lapangan. Klaim-klaim seperti ini tidak dibangun dengan fakta dan rasio melainkan dengan balutan emosi yang meluap. Emosi yang mengedepankan primordialisme dan eksklusivitas. Di sisi lain, masyarakat penerima pesan yang telah dibanjiri oleh limpahan data seperti itu cenderung menjadi makin tidak cerdas dan akan meresponsnya juga secara emosional. Pada akhirnya, ketika harus membuat pilihan-pilihan bersikap, masyarakat melakukan dengan sangat ceroboh, gegabah, dan tanpa perhitungan matang. Semua ini menurunkan kualitas demokrasi, bahkan tidak sedikit yang menyatakannya sebagai kematian demokrasi.


 

Pada bulan Oktober 2017, seorang buruh asal Palestina yang sedang bekerja di permukiman Beitar Ilit dekat kota Jerusalem, menyampaikan sebuah pesan sederhana melalui Facebook-nya. “Ysabechhum” tulisnya dalam aksara berbahasa Arab, yang bemakna “selamat pagi”. Pesan yang dilengkapi foto dirinya bersama dengan sebuah buldozer ini segera masuk dalam monitor system of surveillance dari petugas keamanan Israel dan dianalisis secara algoritmatik. Hasilnya sungguh mengejutkan! Pesan selamat pagi itu terolah menjadi  “Ydbachhum”  yang dalam bahasa Ibrani berarti “lukai mereka”. Alhasil pemuda ini segera dikepung dan ditahan dengan tuduhan serius, yaitu akan menyerang para pemukim Yahudi di Tepi Barat dengan buldozernya itu. Kejadian ini sekaligus membuktikan betapa setiap gerak gerik orang Palestina di wilayah Tepi Barat, tidak ada yang lepas dari pengintaian petugas keamanan Israel, melalui berbagai peralatan seperti kamera, drone, dan spy software.

Dalam skala yang mungkin lebih kecil, kita mengalami apa yang terjadi di Tepi Barat. Setiap individu dari kita semua adalah pribadi-pribadi yang sudah “telanjang” di hadapan system of surveilance itu. Sistem yang mengingatkan kita pada konsep penjara “panopticon” ala Bentham. Siapa kita sebenarnya adalah siapa kita menurut data yang ada di genggaman penguasa, baik itu berlabel pemerintah atau korporasi, dalam dan luar negeri. Dan, kita tidak berdaya menghadapi setiap pelabelan itu.

Jika saya hari ini beberapa kali mencari informasi tentang satu tempat wisata, misalnya melalui kanal Youtube, maka aksesibilitas itu akan terbaca sebagai usaha saya untuk pergi berwisata ke tempat itu dan dalam waktu singkat saya akan dibanjiri dengan tawaran-tawaran komersial untuk menggunakan jasa pemandu wisata ke sana. Sekali saya memutuskan untuk berinteraksi dengan penawar itu, maka label baru melekat pada saya karena pernah menjadi pengguna jasa mereka. Nama, alamat rumah, nomor kontak, nomor KTP, nama anggota keluarga, dan data lain-lain akan tersimpan dan dapat tersebar entah untuk keperluan apa lagi. Jejak aktivitas digital ini tentu bukan isu baru bagi para pengguna Internet. Bahkan, file protocol bernama Cookies saja, misalnya, sudah lama ikut dicurigai  membahayakan keamanan data pribadi pengguna Internet.

Terlepas bahwa file protocol seperti itu membantu memudahkan pengguna Internet dalam pencarian data/informasi, pada kenyataannya juga berperan menyisir mana saja pesan-pesan yang cenderung disukai dan menyingkirkan pesan-pesan yang tidak disukai. Para pengguna pada akhirnya hanya akan disuguhi oleh pesan-pesan seragam yang memang ia sukai dan tidak berminat terhadap pandangan-pandangan pihak lain yang berseberangan, yang boleh jadi justru lebih argumentatif.

Di arena politik praktis, para politisi sudah pula tergiur untuk memanfaatkan data/informasi tentang pola-pola aktivitas masyarakat di dunia maya. Kecenderungan ini mereka analisis dan kemudian dimanipulasi untuk kepentingan mereka. Aktivitas informasi di dunia maya itu sangat bervariasi, namun satu hal yang pasti adalah sangat cepat terdistribusi. Kecepatan berkomunikasi dalam revolusi digital ini berkorelasi dengan kedangkalan kognisi. Orang-orang terkontaminasi dengan banyak informasi, tetapi sebenarnya tidak benar-benar tahu atau peduli tentang kualitas informasi itu. Kita hidup dalam era “Knowing more, understanding less.” Kecepatan penyebatan informasi tanpa kedalaman substantif itu membuat masyarakat gampang terpolarisasi. Dasar dari polarisasi yang termudah dibangun adalah atas dasar kesamaan emosi, termasuk di dalamnya sentimen keagamaan, etnisitas, kesukuan, kedaerahan, dan hal-hal primordial lainnya.

Pengguna telepon genggam di Indonesia menurut data dari Hootsuite (Indonesia Digital Report 2019) mencapai angka 344,5 juta. Angka ini melebihi jumlah penduduk Indonesia! Di antara mereka, yang aktif menggunakan Internet dan media sosial mencapai 150 juta. Dari para pemakai ini, mayoritas adalah lulusan SMP, MTs., atau Paket B. Data dari Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017 menunjukkan porsinya mencapai 48,53 persen. Kemudian lulusan SD sebanyak 10 persen, dan tidak lulus sekolah (formal) sebanyak 5,45 persen. Sisanya adalah lulusan SLTA ke atas. Seandainya tingkat pendidikan ini dipakai sebagai variabel utama dalam menentukan literasi bangsa Indonesia berkomunikasi di era digital, maka ilustrasinya bakal sangat mengkhawatirkan.

Para politisi tanpa kompetensi akan senang memanfaatkan ini semua. Mereka mengeksploitasi lahan empuk tersebut dengan sentimen-sentimen primordial atau lazim disebut sebagai politik identitas. “Pilihlah saya karena kamu punya kesamaan agama, etnis, suku, atau daerah dengan saya,” demikian pesan yang ingin disampaikan. “Kesamaan itu menjamin perjuangan kita sama. Jaminan bahwa saya tidak akan mengkhianatimu.” Mereka tidak akan senang diajak berdiskusi tentang bagaimana cara perjuangan itu harus dilakukan. Seorang calon gubernur dalam debat jelang pilkada di media televisi, pernah dengan sangat ringan merespons argumentasi lawan debatnya, bahwa ia tidak perlu ditanya apa program kerjanya untuk mengatasi soal banjir tanpa harus melakukan penertiban permukiman liar di sepanjang sungai. “Jangan khawatir, saya yakin, nanti juga akan ketemu jalan keluarnya!” ujarnya tanpa beban. Hebatnya, para pemilih tidak peduli dengan model jawaban dangkal seperti ini dan calon inipun terbukti akhirnya memenangi pilkada itu.

Itulah wajah demokrasi yang bakal menghiasi peradaban kita saat ini. Demokrasi kita akan makin bernuansa emosional daripada rasional. Emosi itu muncul karena forum berinteraksi ala media sosial telah meniadakan atau mereduksi secara sangat signifikan unsur ini, sehingga gampang mengalami deviasi. Pemberi pesan (komunikator) tentu saja tidak mungkin menyertakan emosinya secara utuh ke dalam format pesannya. Persis sama kejadiannya dengan pesan yang disampaikan oleh pemuda Palestina yang menuliskan kata “selamat pagi”. Pesan orisinalnya pasti ditulis dengan campuran emosi untuk berbagi kedamaian dan kebahagiaan, tetapi mesin penyadap tidak dapat meangkap emosi yang tulus ini. Tatakala pesan itu diproses, pesan tadi berubah makna. Penerima pesan memang secara bebas memberi atribut baru atas pesan itu, sehingga tidak heran apabila “selamat pagi” bisa berubah makna secara kontradiktif menjadi “lukai mereka”. Ketika akhirnya diketahui bahwa pesan aslinya adalah “selamat pagi” tetap saja masyarakat punya alasan untuk memberi pembenaran atas kekeliruan tadi. Hal ini terjadi karena para pembaca yang menangkap pesan itu juga sudah terlanjur memiliki persepsi tersendiri atas informasi yang diterimanya. Tidak akan mudah membuat klarifikasi atas keyakinan emosional dengan hanya mengandalkan argumentasi-argumentasi rasional. Para politisi kita, khususnya yang tidak siap dengan argumentasi program, tapi merasa memiliki keunggulan secara emosional (misal karena punya kesamaan basis primordial) justru akan senang dan rajin mengaksentuasi hal ini dan terus mengeksploitasinya sebagai keuntungan.

Itulah sebabnya, dalam kasus di atas Perdana Menteri Israel, misalnya, tidak merasa perlu harus minta maaf atas kejadian di Tepi Barat tadi. Pemenang Nobel Perdamaian dari Myanmar Aung San Suu Kyi juga tidak merasa perlu secara eksplisit membela hak-hak etnis Rohingya. Secara emosional orang-orang minoritas dan termargintalkan seperti itu tidak menarik untuk dibela, minimal dalam konteks saat ini. Para politisi kita juga kerap bersikap sama. Mereka tidak ragu-ragu untuk bersikap rasis, misalnya, apabila hal itu memang menguntungkan karena dipandang bakal cepat mendapat dukungan emosional dari ceruk komunitas pemilih tertentu. Namun, beberapa minggu kemudian, apabila angin bertiup dari arah berbeda, ia bisa dengan tanpa malu-malu dan sangat bersemangat berbicara tentang pentingnya kemajemukan dibangun oleh bangsa ini.

Sampai di sini kita melihat ada paradoks, bahwa kendati jejak digital tidak mudah untuk terhapuskan, bahwa seseorang pernah berbicara tentang apa pada suatu masa dan kemudian ia berbicara tentang hal yang sama tapi berbeda substansi pada masa berikutnya, tidaklah membuat orang perlu kehilangan muka. Mereka tidak merasa perlu membangun integritas dan menjaga konsistensi bersikap karena mereka menganggap sah-sah saja memiliki banyak label dan setiap label bisa ditonjolkan sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan. Di era kebergelimpangan data saat ini, kekuatan memori (retensi daya ingat) publik juga telah jauh melemah. Lagi pula, tokh yang dimainkan adalah emosi massa. Dan, emosi cenderung sesat dan tidak pernah stabil.

Untuk itu, kebenaran bisa terus mengalah pada pembenaran. Alhasil, demi pelabelan baru, klaim-klaim tanpa evidence bisa dengan gampang diproduksi tanpa perlu ditunjukkan buktinya. Sementara belum sempat dipersoalkan mana buktinya, klaim tadi harus cepat direproduksi (diulang-ulang) agar membekas di alam alam bawah sadar sebanyak mungkin orang. Produksi dan reproduksi ini dipercepat dengan fantastis dengan mesin digital. Ketika hoaks seperti itu sudah terlanjur masuk di alam bawah sadar dan dikunci dengan emosi, maka [untuk sementara] tidak akan mudah untuk membongkarnya kembali. Sampai kemudian akan muncul hoaks baru yang boleh jadi isinya sangat bertolak belakang, terlepas masih tentang orang yang sama. Kalau dulu ia seorang oposan yang berapi-api dan sarkastis, misalnya, kali ini bisa saja menjadi pembela yang sama militannya, atau sebaliknya!

Apakah fenomena di atas adalah gambaran khas di Indonesia? Ternyata tidak! Ancaman terhadap kematian demokrasi juga melanda negara-negara dengan penduduk bertingkat literasi dan kekritisan terhadap media yang jauh melebihi kondisi di Indonesia. Orang dapat menunjuk contoh kemenangan Donald Trump dan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) sebagai segelintir bukti dari eksploitasi emosi berlebihan yang sesat dan menyesatkan. Hanya saja, fenomena global dan revolusi digital tidak boleh menjadikannya sebagai alasan pembenar agar kita tidak perlu was-was terhadap kematian demokrasi di Indonesia yang baru bertunas seumur jagung ini. Mudah-mudahan, seperti yang ditulis oleh David Runciman (How Democracy Ends, 2018: 218), “This is not, after all, the ends of democracy. But this is how democracy ends.” (***)



Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close