KEJAHATAN SIBER SEBAGAI KEJAHATAN EKONOMI DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Juni 2019)
Industri global saat ini menghadapi apa yang kami sebut revolusi industri 4.0. Terminologi ini disajikan sebagai bagian dari empat revolusi industri. Revolusi industri pertama dimulai dengan mekanisasi dan pembangkit tenaga mekanik. Kemudian, revolusi dipicu oleh elektrifikasi yang memungkinkan industrialisasi dan produksi massal. Fase berikutnya ditandai dengan digitalisasi dengan pengenalan mikroelektronika dan otomatisasi. Revolusi empat dipicu oleh pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi, yang didasarkan pada otomatisasi pintar dari sistem siber-fisik dengan kontrol terdesentralisasi dan konektivitas canggih [1]. Konsep industri 4.0, pertama kali diperkenalkan pada tahun 2011 di Jerman dan sejak itu konsep tersebut telah tersebar di seluruh dunia.
Revolusi industri 4.0 juga menyebabkan dampak sosial negatif. Teknologi pengembangan baru diikuti oleh kejahatan baru. Kejahatan dalam industri 4.0 terkait dengan kejahatan dunia maya sebagai tindakan yang menargetkan atau menggunakan internet, komputer, dan teknologi terkait untuk melakukan kejahatan tersebut [2]. Selanjutnya, dalam industri keamanan siber (cybersecurity) 4.0 sebagai proses untuk melindungi jaringan komputer dan informasi yang dikandungnya dari penetrasi dan dari kerusakan atau gangguan berbahaya [3], menjadi peran penting untuk melindungi proses industri dan bisnis. Akibatnya, industri 4.0 terkait dengan keamanan siber (cybersecurity) [4] dan kejahatan siber.
Kejahatan siber telah menciptakan biaya finansial yang besar. Menurut Cybersecurity Ventura yang beroperasi di seluruh Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada, Laporan Kejahatan Siber Tahunan 2019 Herjavec Group pada bulan Agustus 2016, prediksi kejahatan siber akan menelan biaya USD 6 triliun per tahun pada tahun 2021 di dunia. Ini meningkat dari USD 3 triliun pada tahun 2015 [12]. Sayangnya, Indonesia tidak memiliki data resmi mengenai biaya atau kerugian aktual yang disebabkan oleh kejahatan dunia maya. Menurut Kepolisian Republik Indonesia, kejahatan dunia maya yang dilakukan oleh peretas telah menyebabkan kerugian sebesar Rp33,29 miliar per Agustus 2015 [4]. Revolusi industri 4.0 dapat menjadi faktor yang berkontribusi pada peningkatan biaya.
Kejahatan dalam revolusi industri 4.0 akan dianggap sebagai kejahatan ekonomi atau bisnis. Terminologi revolusi industri 4.0 terkait erat dengan aktivitas produksi bisnis. Oleh karena itu, kejahatan akan menciptakan kerugian yang menyebabkan kerugian ekonomi atau keuangan bagi para korban. Kerugian ekonomi atau keuangan tersebut harus nyata dan dapat dihitung. Para korban adalah perusahaan yang melakukan kegiatan bisnis dan produksi.
Kejahatan siber adalah kejahatan ekonomi atau bisnis. Kekhawatiran awal terkait dengan akses tidak sah ke informasi pribadi diperluas menjadi kekhawatiran bahwa komputer juga dapat digunakan untuk kejahatan ekonomi [5]. Informasi adalah kunci dalam era informasi saat ini, semua perintah berbeda yang diketik oleh seorang programmer perangkat lunak yang memerintahkan komputer untuk melakukannya adalah instruksi yang memungkinkan era informasi [6]. Kehilangan informasi dapat mengganggu atau menghentikan operasi bisnis dan produksi yang menyebabkan hilangnya manfaat. Informasi ini harus dianggap sebagai objek nilai ekonomi.
Niat pelaku kejahatan siber tidak selalu didasarkan pada motivasi ekonomi. Tidak semua penjahat siber mencari untung, ada yang berniat menyebabkan kerusakan dan menghancurkan jaringan komputer karena alasan jahat. Menciptakan vandalisme teknologi tinggi berkontribusi terhadap motivasi [7]. Beberapa penjahat dunia maya yang melakukan kejahatan sebagai bagian dari keberadaan mereka, kemampuan dan pernyataan politik [8]. Terlepas dari motivasi di balik kejahatan tersebut, kejahatan dunia maya diklasifikasikan sebagai kejahatan ekonomi selama menyebabkan kerugian ekonomi atau finansial bagi korporasi sebagai korban mereka.
Sehubungan dengan kejahatan dunia maya berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagai amandemen dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), terdapat dua jenis kejahatan siber . Pertama, kejahatan yang menargetkan internet, komputer, dan teknologi terkait. Di bawah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, ada tujuh jenis kejahatan yaitu meretas (hacking), Intersepsi illegal, mengotori (Defacing), pencurian elektonik, Interference, Memfasilitasi tindak pidana terlarang dan Pencuri Identitas Identitas. Kedua adalah konten ilegal dengan menggunakan internet, komputer dan teknologi terkait untuk melakukan kejahatan, seperti pornografi, judi, firnah, ujaran bencian dan lainnya. Terkait hal ini pelanggaran konten ilegal tidak akan dianggap sebagai kejahatan ekonomi atau bisnis. Pelanggaran-pelanggaran tersebut adalah bagian dari kejahatan yang terkait dengan kebebasan berekspresi. Dalam doktrin Indonesia yang sempurna, menurut Oemar Seno Adji dan Van Hattum jenis kejahatan tersebut diklasifikasikan sebagai pelanggaran pers. Pelanggaran ini terdiri dari pernyataan pikiran atau perasaan yang dipublikasikan ke publik menggunakan semua jenis media [9]. Oleh karena itu, dalam hal kejahatan dunia maya dalam revolusi industri 4.0 berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik hanya terbatas pada kejahatan dunia maya yang menargetkan internet, komputer, dan teknologi terkait. Kejahatan kontemporer ini termasuk peretasan, intersepsi ilegal, pencemaran nama baik, pencuri elektronik, Interferensi, fasilitasi tindakan kriminal terlarang, pencuri identitas penipuan identitas.
Di bawah UU ITE, kejahatan dunia maya tidak memerlukan kerugian ekonomi atau finansial. Pelaku kejahatan siber dapat dihukum jika serangan itu menyebabkan kerusakan di komputer atau jaringan internet bahkan sulit, kerusakan tidak menyebabkan kerugian ekonomi atau finansial. Ketika serangan itu menyebabkan kerusakan pada jaringan komputer atau internet dan juga membuat kerugian ekonomi atau finansial, maka hukuman untuk kejahatan dunia maya lebih parah. Ketentuan ini diatur dalam pasal 36 dan 51 Informasi dan UU ITE. Dalam hal revolusi industri 4.0, hanya diperlukan serangan komputer atau korporasi jaringan internet yang menyebabkan kerusakan yang mengganggu produksi atau proses bisnis.
Pada akhirnya, Konsep kejahatan siber erdasarkan UU ITE lebih luas dari konsep asli kejahatan siber. Ini termasuk pelanggaran konten ilegal yang merupakan bagian dari pelanggaran kebebasan berekspresi. Jenis pelanggaran ini harus diklasifikasikan sebagai pelanggaran pers. Pada akhirnya, konsep yang lebih luas dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak sepenuhnya cocok dengan kejahatan dunia maya dalam revolusi industri 4.0 yang mengklasifikasikan kejahatan dunia maya sebagai bagian dari kejahatan ekonomi dan bisnis. Oleh karena itu, konsep tersebut akan direvisi pada amandemen Informasi dan UU Transaksi Elektronik berikutnya.
Di masa depan, diperlukan penelitian yang lebih empiris tentang kejahatan dunia maya di Indonesia. Tujuannya adalah untuk memahami jenis, motivasi dan pengembangan kejahatan dunia maya di Indonesia, sehingga negara dan pemerintah dapat membuat dan merencanakan pencegahan kejahatan dunia maya. (***)
REFERENSI:
[1] Rojko, Andreja (2017). Industry 4.0 Concept: Background and Overview. International Journal of Interactive Mobile Technologies, 11(2). 77-90
[2] Maras, M.-H. (2016). Cybercriminology. Oxford, United Kingdom: Oxford University Press.
[3] Craigen, Dan, Diakun-Thibault, Nadia, and Purse, Randy (2014). Defining Cybersecurity. Technology Innovation Management Review 4 (10). 13-21.
[4] Thames, Lane and Schaefer Dirk. (2017). Cybersecurity for Industry 4.0: Analysis for Design and Manufacturing. Switzerland: Springer International Publishing AG.
[5] Clough, Jonathan. (2010). Principles of Crybercrime. Cambridge, UK: Cambridge Univeristy Press.
[6] Jordan, Tim. (1999). Cyberpower. London, UK: Routledge.
[7] Siegel, Larry J. (2011). Criminology the Core. Belmont, USA: Wadworth Cengege Lerning.
[8] Grispos, George. (2019). Criminals: Cybercriminals. L. R. Shapiro, M-H. Maras (eds.), Encyclopedia of Security and Emergency Management. Switzerland: Springer International Publishing AG.
[9] Adji, Indriyanto Seno. (2008). Hukum dan Kebebasan Pers. Jakarta, Indonesia: Diadit Media.